Share

PART 3

Queen menggigit bibir bawahnya, lantas memalingkan wajah. Sebenarnya, Joshua pernah melakukan hal semanis ini, tetapi Queen merasa itu biasa. Akan tetapi, ketika pria asing bernama Rafael melakukan hal yang sama, Queen justru merasakan efek besar di dalam dirinya.

Terlebih saat Rafael mengatakan kalimat terakhir. Ada perasaan membuncah di dalam hati Queen, lantas berefek pada kedua pipi yang memanas. Ah, sebesar itukah daya tarik yang dimiliki Rafael?

Tidak! Queen tidak boleh terpengaruh. Pria mesum seperti Rafael sangat berbahaya. Ingat kalimat pertama yang terlontar dari mulut pria itu saat bertemu dengan Queen? Hem ... typical pria mesum yang senang bergonta-ganti pasangan.

"Kau semakin terlihat cantik dengan pipi merona seperti itu."

Queen memalingkan wajah, lalu melanjutkan langkah yang tertunda. Ucapan-ucapan Rafael semakin membuat Queen melambung tinggi. Terdengar manis seperti madu, tapi Queen yakin jika sebenarnya pria itu sudah mencampurkan racun di dalam madunya. Semanis apa pun, Queen akan tetap kalah dan mati jika terus meminumnya.

"Ngomong-ngomong, kau teman kuliah Joshua?" Rafael menyejajarkan langkahnya dengan Queen.

"Ya."

"Artinya kau belum lama lulus. Sudah bekerja?"

"Saya membantu Mama mengurus toko kue."

"Jika mau, kau bisa melamar ke perusahaan kami. Kebetulan sekretarisku dua bulan lagi akan resign. Kau bisa menggantikannya."

Modus! Queen bergidik ngeri. Menjadi sekretaris pribadi Rafael? Bagi gadis lain, tawaran itu sangat menggiurkan. Siapa yang mampu menolak berdekatan dengan pria tampan setiap hari? Tidak. Bagi Queen, berdekatan dengan Rafael tak ubahnya seperti seekor kelinci yang berani masuk ke kandang singa. Rafael berbahaya, titik.

"Maaf, saya tidak suka melamar pekerjaan menggunakan koneksi."

"Oke, tapi setidaknya bisakah kau berhenti bicara formal padaku?"

"Bisakah Anda berhenti sok akrab dengan saya?"

"Aku ingin kita berteman."

Lagi-lagi, Queen menghentikan langkah. Bukan karena pertemanan yang ditawarkan Rafael, melainkan karena mereka sudah tiba di gerbang kompleks perumahan.

"Jangan mengharapkan apa pun pada saya. Jadi, tolong tinggalkan saya sekarang."

"Berapa kali juga harus kukatakan, aku tidak terbiasa meninggalkan seorang gadis di tengah jalan."

"Saya sudah sampai di kompleks perumahan."

"Tapi bukan di depan rumah."

Astaga, pria ini! Joshua lelaki yang baik, kenapa dia memiliki kakak semenyebalkan Rafael? Joshua pernah bercerita pada Queen, ia sering bertengkar dengan kakaknya. Jadi, inikah yang membuat mereka sering bertengkar? Hanya karena Rafael orang yang keras kepala dan tidak pernah mau mengalah?

Tanpa menoleh pada Rafael, Queen berjalan cepat memasuki kompleks perumahan. Tepat seperti dugaannya, Rafael mengikutinya. Beberapa menit kemudian, mereka sampai di sebuah rumah minimalis tetapi tertata dengan rapi. Gerbang berwarna silver, dengan taman kecil yang membuat rumah terlihat asri.

"Sudah sampai, tunggu apa lagi?" protes Queen.

"Aku harus memastikan kau memasuki pintu rumah dengan selamat."

"Pergilah, Tuan." Sebisa mungkin, Queen melirihkan suara. Tidak ingin membuat gaduh dan membangunkan tetangga. Atau lebih parah, ibunya yang memergoki kedatangan Queen bersama seorang lelaki.

Rafael mengangkat bahu. "Sekalipun kau mengusirku menggunakan bom, aku akan tetap berdiri di sini sebelum kau masuk ke rumah."

"Lain kali saya akan memasang ranjau di sepanjang jalan menuju ke rumah saya." Queen membuka pintu gerbang, lalu menutup dan menguncinya setelah berada di dalam.

"Good night. See you next time, Dear!"

"Saya harap kita tidak akan pernah bertemu lagi."

Queen melihat Rafael melambaikan tangan, senyum mengembang di bibir sensualnya. Oke, Queen harap ini untuk pertama dan terakhir kalinya ia bertemu dengan Rafael. Semoga saja Mama sudah tidur, atau setidaknya sibuk menonton TV sehingga tidak memergoki kepulangannya selarut ini.

Lampu ruang tamu sudah padam, Queen menghela napas lega. Pelan-pelan, ia membuka pintu. Sepertinya Mama lupa menguncinya, ah ... keberuntungan Queen yang kedua. Setelah menguncinya, Queen mengendap-endap melewati anak tangga menuju kamar.

"Mama pikir kau lupa pulang."

Queen mematung. Terdengar suara sarkas Maura, ibunya. Wanita setengah baya itu berdiri tepat di dekat jendela. Tirainya sedikit terbuka, tempat yang strategis untuk mengintai ke luar rumah. Astaga, Maura melihat kelakuan putrinya beberapa saat lalu!

"Maaf, Ma," lirih Queen. "Aku lupa memberitahu Mama, sepulang dari toko aku bertemu dengan teman-teman untuk berdiskusi ke mana kami akan melamar pekerjaan."

"Teman laki-laki?"

"Perempuan, Ma. Mobil temanku mogok di dekat gerbang kompleks. Karenanya aku jalan kaki dari depan."

"Kau tidak pandai berbohong, Queen." Maura menekan sakelar lampu, seketika ruangan berubah terang. "Siapa laki-laki yang mengantarmu sampai ke gerbang rumah?"

Queen mencengkeram teralis tangga. "Eh ... aku tidak mengenalnya, Ma. Dia ... sedang tersesat, karenanya dia berjalan membuntutiku. Dia−"

"Lelaki asing yang sedang tersesat dan menyelimutkan jas hitamnya ke punggungmu."

Sial! Mata Queen melebar menatap jas hitam Rafael yang masih tersampir di kedua pundaknya. Ia tidak bisa berkilah lagi. "Maaf, Ma."

"Hanya karena sudah lulus kuliah, bukan berarti Mama mengizinkanmu bebas berteman dengan lelaki. Berapa kali Mama bilang, seorang gadis harus selektif dalam bergaul. Menjadi seorang gadis itu tidak mudah, Queen! Kau harus pandai-pandai menjaga diri."

Queen menunduk. "Iya, Ma."

"Mama tidak ingin kejadian ini terulang untuk kedua kalinya. Mengerti?"

"Oke, Ma. Aku mengerti."

Setelah memberikan tatapan tajam pada putrinya, Maura beranjak meninggalkan ruang tamu. Queen menghela napas. Ini baru permulaan. Esok pagi saat sarapan, Queen yakin ruang makan akan didominasi oleh ceramah Maura mulai dari A sampai Z. Semenjak Papa meninggal lima tahun yang lalu, Maura berusaha menjadi ibu sekaligus ayah bagi Queen.

Queen sangat mengagumi dan menghormati ibunya. Wanita itu mendidik putrinya dengan kelembutan yang berpadu dengan ketegasan.

Queen melemparkan jas hitam Rafael ke atas ranjang. Mengacak rambut dengan kasar, kepalanya terasa pusing. Kenapa ada pria sejenis Rafael yang hidup di muka bumi? Ah, lupakan!

Setelah mencuci muka dan berganti pakaian, Queen mengempaskan tubuh ke atas ranjang. Samar-samar, ia mencium aroma musk, aroma yang sama dengan tubuh Rafael. Nampaknya, aroma itu berasal dari jas Rafael.

Queen meraih jas hitam itu, lantas menciumnya. Matanya terpejam, meresapi aroma yang memabukkan. Sontak, bayangan tubuh atletis dengan perut six pack itu berkelebat di benaknya. Pria itu pasti rajin melakukan fitness dan menjaga pola hidup sehat.

Ah ... tatapan tajam serta senyum manis yang mematikan itu!

Dering ponsel di atas nakas menginterupsi Queen. Jadi, apa yang baru saja ia lakukan? Memikirkan pria menyebalkan itu? Oh, pasti ada yang salah dengan otaknya.

Queen menatap nomor tak dikenal di layar ponsel. Dahinya berkerut, siapa yang selarut ini menelepon?

"Halo," sapa Queen.

"Hai, Sweety! Sedang memikirkanku?"

Queen membelalakkan mata. Suara yang tidak asing itu! "Dari mana Anda mendapat nomor ponsel saya?"

Rafael tertawa sejenak. "Jangankan nomor ponsel, untuk mendapatkan informasi pribadi lainnya pun bukan hal yang sulit."

"Apa Anda memang semengerikan itu?"

"Tenang saja, aku tidak menakutkan seperti yang ada di dalam bayanganmu. Setelah mengenalku, aku yakin kau akan merasa nyaman berada di dekatku."

"Jangan bermimpi. Saya bahkan tidak sudi lagi mengingat Anda."

"Kau yakin? Lalu apa yang beberapa saat lalu kau pikirkan?"

"Saya ... tidak memikirkan apa pun."

"Bagaimana dengan menghirup aroma yang tertinggal di jasku dan membayangkan tubuhku?"

"Itu sama sekali tidak benar!"

"Tanpa kau sadari kau juga tertarik padaku."

"Tidak!"

"Tidak ada seorang gadis pun yang bisa menolak pesonaku, termasuk dirimu."

"Jadi apa tujuan Anda menelepon saya selarut ini?"

"Aku merindukanmu."

Queen menelan saliva. Bagaimana mungkin seseorang yang baru pertama kali bertemu bisa merasa rindu? Mustahil!

"Maaf, Tuan. Jika ingin merayu, maka saya bukan gadis yang suka dirayu. Jadi tolong, berhenti mengganggu saya."

Lagi-lagi Rafael terkekeh. "Oke, kita lihat saja nanti. Suatu saat nanti kau tidak akan bisa tidur sebelum mendengar rayuanku."

"Omong kosong."

"Good night, Queen. Tidurlah, dan jangan lupa memimpikanku. Sama halnya aku yang akan memimpikanmu."

Sambungan terputus, tetapi Queen masih meletakkan ponsel di dekat telinganya. Ucapan terakhir Rafael membuatnya merinding. Sekali lagi, ia menghirup aroma musk khas tubuh Rafael, lantas memejamkan mata.

Sekarang Queen merasakan seolah Rafael tengah berbaring di sisinya. Tangan kokohnya membelai puncak kepala Queen sembari berbisik lembut, "Good night, Queen. Tidurlah, dan jangan lupa memimpikanku. Sama halnya aku yang akan memimpikanmu."

Queen membuka mata. Napasnya memburu, ia mencengkeram jas hitam di tangannya kuat-kuat. Kenapa ucapan Rafael begitu berpengaruh pada diri Queen? Seolah setiap kalimat yang keluar dari mulut pria itu mengandung daya magis tersendiri. Hingga menyihir Queen untuk takluk di dalam kuasanya. Oh, no!

***


Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status