Ketika kepergian meninggalkan luka yang menganga, bertaburkan rasa perih saat tak mampu lagi bersama.
"Hanya satu yang akan memisahkan kita, kematian"
—Gavin Pradipta—
Terdengar tepukan dan sorakan membahana, memenuhi ballroom gedung setelah sambutan pendiri ST Entertaiment berakhir. Pria tampan bersetelan jas warna hitam dengan rambut klimis yang tertata rapi menuruni tangga sembari mengukir senyum menawan di bibirnya dan melambaikan tangannya menyapa para tamu undangan yang hadir di acara itu.
Siapa lagi kalau bukan Reynaldi Stronghold.
Pemilik sekaligus pendiri ST Entertaiment yang kini juga menjabat sebagai CEO Stronghold Group. Perusahaan raksasa yang memiliki banyak anak cabang perusahaan dari berbagai bidang. Seperti media, properti dan juga kesehatan. Stronghold Group sendiri merupakan perusahaan keluarga Stronghold.
Tak heran jika di umurnya yang menginjak kepala empat, Rey sudah menjadi pebisnis yang paling disegani. Banyak dari kalangan pebisnis yang mendekati untuk menjalin kerjasama, tapi juga banyak yang ingin menjatuhkannya oleh para pesaingnya.
Semakin malam, acara ulang tahun ST Entertaiment semakin meriah. Acara bertabur bintang papan atas dari agensi ST Entertaiment sendiri.
Rey berjalan menghampiri istrinya yang sedang berdiri di sudut ruangan dengan ponsel di sebelah telinganya. Terlihat jelas kekesalan di raut wajah istrinya, tapi wanita itu justru terlihat semakin cantik.
Meski Ana sudah berusia tiga puluh sembilan tahun, paras cantiknya tak luntur sedikit pun. Ana justru semakin menawan dengan wajah yang terlihat lebih dewasa tapi masih meninggalkan kesan imut saat Ana merengek atau pun merajuk.
"Halo! Reya!! Reya!!" Ana menghela napas panjang, menatap layar ponselnya yang menyala. Sambungan teleponnya baru saja diputus secara sepihak. Ana berdecak, kembali menghubungi namun justru suara operator yang menyambutnya. "Isssh, anak itu!"
"Ada apa?" tanya Rey ketika tiba di depan Ana.
Ana menoleh, ia menatap sendu Rey. "Biasa, Reya kabur dari rumah mama," adu Ana.
"Kok bisa? Ke mana?" Rey seketika panik, tentu saja Rey panik jika semua menyangkut putri semata wayangnya.
Ana menggeleng, ia tak tahu di mana Reya sekarang. "Tadi aku telepon, gak begitu kedengaran suaranya. Soalnya bising banget, kaya suara knalpot yang digeber-geber gitu," terang Ana.
Rey mengusap wajahnya dengan kasar. Tentu saja bayangan Rey cuma satu.
Balap liar!
Rey segera menghubungi orang suruhannya, menyuruhnya mencari Reya sekarang juga.
"Kamu tenang aja, aku udah suruh Anton cari Reya sekarang." Ana mengangguk, lalu Rey merengkuh bahu Ana membawanya kembali ke tempat duduk.
Baru beberapa langkah, tiba-tiba ponselnya berdering, Rey berhenti mengambil ponselnya di saku celana. Ia segera mengangkatnya saat melihat nama yang tertera di layar ponselnya.
"Halo, Dip ada apa?"
Hening, Rey mengernyitkan dahinya. Ia melihat layar ponselnya, memastikan jika yang menelepon benar Pradipta, pengacara pribadinya.
"Halo, Dipta. Ada apa?" ulang Rey saat tak mendapat sahutan, kembali hening hanya terdengar suara napas yang tersendat diiringi suara tangis tertahan.
Rey jelas bingung, ia jadi cemas. Rey takut terjadi apa-apa pada Dipta. Mau bagaimanapun Dipta bukan hanya pengacara, dia juga sahabat Rey semenjak kuliah dulu.
Suara isakan terdengar, Rey menoleh pada Ana. Istrinya itu melemparkan tatapan penuh tanya, seolah dari sorot matanya bertanya 'ada apa?'.
"Halo, halo." Rey kembali bersuara.
Hening sejenak, hingga suara lirih menyahut.
"Om Rey." Suaranya bergetar. "Papa Om ... papa sama mama ...."
"Dipta kenapa?" Ekspresi Rey berubah panik saat suara di telepon memberikan kabar buruk.
"Ada apa?" tanya Ana.
"Kita ke Bekasi sekarang," ucap Rey.
"Tapi acaranya————"
"Ini jauh lebih penting Ana, ini soal Dipta." Ana yang mengerti lantas mengangguk, menggenggam erat tangan Rey. Keduanya bergegas menuju parkiran.
Satu jam perjalanan, akhirnya Rey dan Ana tiba di rumah sakit. Setelah bertanya pada resepsionis, keduanya langsung ke ruang operasi. Di sana di depan ruang operasi, seorang bocah laki-laki tertunduk lesu menyembunyikan kepalanya di atas lutut.
"Gavin," panggil Rey. Ia berjalan mendekatinya.
Bocah yang dipanggil Gavin itu mendongak, matanya sembab, bibirnya bergetar menahan isakan. "Om, papa ...." Gavin tak kuasa berbicara, ia justru kembali menangis.
Rey berjongkok di depannya, meraih bahu Gavin, mendekapnya sembari mengelus kepala Gavin.
"Om, papa sama mama udah gak ada," lirih Gavin dengan suara yang terdengar parau. "Mereka udah gak ada, mereka pergi ninggalin aku sendiri." Tubuh Gavin bergetar, tangisnya pecah dalam pelukan Rey.
"Tidak apa-apa. Kamu gak sendiri, masih ada om sama Tante. Jangan sedih, kamu anak yang kuat." Rey berusaha terlihat tegar, padahal hatinya remuk.
Pradipta, sahabatnya. Orang yang menyaksikan perjuangan Rey mendapatkan Ana. Orang yang selalu ada setiap Rey membutuhkan bantuannya, selalu melindunginya. Tapi kini pelindungnya telah kembali ke pencipta, meninggalkan orang-orang yang menyayanginya.
Semoga kau tenang di alam sana, Pradipta. Sahabatku. Aku akan tepati janjiku padamu.
—————————
Motor Vespa berwarna pink melaju memasuki gerbang SMA Rajawali. Pengendara motor itu jadi pusat perhatian, gadis berjaket pink dengan helmet pink yang melekat di kepalanya. Ia memarkirkan motornya di parkiran, melepas helmetnya.
Siulan dari gerombolan cowok di parkiran menyambutnya, para cowok itu sampai tak berkedip memandangi kecantikan gadis itu, rambutnya yang diikat asal-asalan dengan wajah imut dan rona pipi alami.
Jelas saja para cowok gemas ingin mencubitnya, bahkan pipinya lebih kenyal dari squishy.
"Apa lo liat-liat? Minta diculek!" Gerombolan cowok itu bergidik, mereka semua cengengesan saat gadis itu melemparkan tatapan tajamnya.
"Masih pagi Reya, jangan galak-galak. Senyum aja, senyum itu ibadah," celetuk salah satu cowok.
"Emang si, tapi sayangnya gue lagi pms jadi gak mau ibadah dulu hari ini." Cowok-cowok itu melongo, memandangi kepergian gadis bernama Reya.
Reyana Stronghold, primadona Rajawali. Cewek paling hits di sekolah bahkan sampai ke luar sekolahan. Bukan hanya kecantikannya, tapi pamor dari orangtuanya juga menunjang ketenaran Reya.
Sapa demi sapaan menyambut langkah Reya, ia hanya mengangguk kadang juga menyengir atau menaikkan sebelah alisnya dengan senyuman maut yang mampu membuat kaum Adam klepek-klepek.
Reya masuk ke kelasnya, semua anak tampak berkumpul di dekat jendela. Hal itu memancing jiwa keponya. Reya pun melangkah mendekat, ia berdiri di belakang salah satu siswi berkaca mata.
Reya menoel bahunya. "Ada apaan si?" tanyanya.
"Itu, si Gilang lagi ciuman di belakang sekolahan sama adik kelas," jawabnya tanpa memalingkan pandangannya.
Reya menaikkan sebelah alisnya ketika mendengar nama Gilang disebut. Ia berharap Gilang yang di maksud bukanlah Gilang kekasihnya. Namun sepertinya Reya salah, ucapan siswa di depannya membuat harapan Reya pupus seketika.
"Gila emang si Gilang, kalau ketahuan Reya gimana coba?"
Reya mengepalkan kedua tangannya, sorot matanya tajam ia berjalan mundur mengambil ember berisi air milik petugas kebersihan yang sedang mengepel koridor depan kelasnya.
"Minggir!!" Suara lantang Reya seketika membuat kerumunan itu bubar, mereka bergerak menjauh memberi jalan bagi Reya.
Reya tak langsung melakukan niatnya, ia mengambil ponselnya lalu menghubungi nomor Gilang. Bisa Reya lihat, Gilang tampak gelagapan saat mendapat telepon darinya.
"Halo, sayang," sapa Reya dengan suara terdengar manis dan imut. "Kamu di mana?"
"Di kelas." Reya memutar bola matanya mendengar jawaban bohong dari pacarnya.
"Oh, jadi kelas kamu pindah ke belakang sekolah ya?"
"Hah? Maksdunya?" Reya menyimpan ponselnya, ia segera mengangkat ember berisi air kotor bekas pel dan membuangnya lewat jendela kelasnya yang terletak di lantai dua.
"Kyaaa!! Shit!"
"Aaaa ...!"
Suara jeritan dan makian dari dua orang yang tersiram air kotor dari atas. Gilang yang sudah kesal lantas mendongak, bersiap memaki orang yang menyiramnya. Namun yang terjadi Gilang justru tercekat dengan bola mata hampir keluar.
"Re—ya—na ...!"
Reyana melambaikan tangannya dengan senyum miring yang membuat nyali Gilang semakin ciut.
Mungkin setelah ini akan ada suara guntur disertai kilatan dan kobaran api yang menyerang Gilang.
Rumor itu kaya wabah penyakit mematikan, menyebar dengan cepat tanpa bisa dikendalikan. Berdampak mematikan bagi korbannya.—Reyana Stronghold—Mati satu tumbuh seribu, semboyan yang melekat erat dalam percintaan Reya. Tak heran jika dirinya mendapat sebutanplaygirl.Bukan maunya seperti itu, tapi salahkan saja mantan-mantan Reya yang selalu selingkuh.Reya memang tak pernah beruntung dalam kisah asm
Buanglah mantan pada tempatnya,Mantan itu ibarat sampah yang gak bisa didaur ulang.-Reyana Stronghold-"Jadi? Kenapa lo selingkuh?"Gilang tersenyum kecil, sebenarnya ia lelah sejak pagi diberondong pertanyaan yang sama. Gara-gara kejadian tadi pagi namanya langsung jaditrendingtopik di SMA Rajawali. Semua anak dari kelas X sampai kelas XII membicarakannya tanpa henti."Gini, lo punya rokok sama permen. Lo pilih mana?" Gilang melemparkan pertanyaan itu pada teman-temannya.
Reya berjalan tertatih menaiki tangga, mengabaikan panggilan orang-orang. Ia juga menepis saat Alvaro atau pun mamanya yang berniat membantu. Reya gondok dengan papanya yang selalu memaksakan kehendak."Emangnya gue bocah kecil apa, pakebodyguardsegala. Anak artis aja gak dikawalbodyguardaman-aman aja tuh, padahal emaknya banyak haters," gerutu Reya.Reya menyeret kakinya masuk ke kamar, membanting pintu sampai menimbulkan bunyi dentuman keras. Ia langsung menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang, menatap langit-langit kamar yang penuh dengan hiasan bintang dan benda-benda angkasa lainnya.
Duahal yang tak bisa ditolerir dalam sebuah hubungan, perselingkuhan dan kekerasan.-Reyana Stronghold-Mentari sudah muncul dari persembunyiannya, teriknya masuk ke kamar melewati celah gorden yang tersingkap. Suara kicauan burung santer terdengar, bersahutan dengan suara alarm yang membahana di dalam ruangan kamar yang masih gelap gulita.Reya mengerang, merubah posisi miring serta menutupi telinganya dengan bantal. Suara alarm yang berbunyi nyaring memekakkan telinga, mengusik Reya yang tengah tertidur pulas.Meski telinganya telah ia tutup bantal dan bergelung di dalam selimut tebal, nyatanya suara alarm masih terdengar jelas di telinga Reya."Aaarrg ... berisik!!" Reya bangun, mengacak-ngacak rambut saking kesalnya. Ia melirik alarm yang masih terus berbunyi, menunjukkan pukul 06.00.Reya meraih alarm di atas nakas, bersiap melemparkannya keluar jendela. Tapi ucapan papanya tiba-tiba terngiang di
Satu kebohongan akan menjerumuskan pada kebebohangan-kebohangan selanjutnya.-Gavin-Reya merutuki mulutnya sendiri yang asal nyeplos. Ia menyeret kakinya, berusaha mengabaikan Gavin yang terus menuntut penjelasan."Jadi gue pacar nih bukanbodyguard?"Astaga naga dragon ball!!!
Jangan menggangu macan yang sedang tidur, kecuali kau siap menanggung resikonya.—Reyana—Terik matahari begitu menyengat, Reya duduk di tepi lapangan. Ia hanya bisa melihat teman-temannya yang sedang bermain basket, padahal biasanya Reya yang ikut bertanding. Reya menunduk, menatap kakinya. Dua hari yang lalu Dokter Adrian baru saja melepas gipsnya, tapi tetap saja Reya belum boleh berlari."Woy, Mail. Lempar!" teriak Remi, menyuruh Michael mengoper bola basket ke arahnya.Tapi yang Michael lakukan justru melempar bola keringdan hasilnya jelas meleset. Teman-temannya mengumpati Michael, gara-gara dia tim mereka tertinggal jauh."Lo gimana si Il? Jadi kalah kan kita, harusnya tadi lo oper ke Rembo kalau gak ke gue." Candra mengomel dengan deru napas memburu, sudah setengah permainan dan poin mereka jauh tertinggal dari lawan."Ya maap, gue gak fokus. Capek," jawab Michael.
Ketika lo menyulut api ke gue, maka yang gue lakuin lempar bensin ke apinya.-Reyana Stronghold-"Gavin, hidung lo." Mata Reya melebar ketika melihat darah segar mengalir dari kedua hidung Gavin.Emosi Reya semakin menggebu-gebu, ia menatap tajam cewek di depannya. "Ini semua gara-gara lo nenek lampir!" Telunjuknya menunjuk-nunjuk cewek itu."Gue? Enak aja, lo yang nonjok. Kenapa jadi gue yang disalahin? Dasar nenek sihir!" Cewek itu menepis tangan Reya."Wah kurang ajar ngatain gue nenek sihir, berani lo?!" tantang Reya, menggulung bajunya sampai bahu."Berani sama-sama makan nasi, kecuali lo makannya sajen baru gue takut," cibir cewek di depan Reya."Fuck!"umpat Reya, tangannya sudah gemas ingin merontokkan rambut cewek itu dan baku hantam kembali terjadi.Tapi semua itu tak berlangsung lama karena suara lantang menginterupsi se
Cinta itu kaya matematika, sulit di mengerti terlalu rumit untuk dipahami.-Reyana S-Sepanjang perjalanan, Reya tertawa terbahak-bahak. Membayangkan wajah Rika dan bu Siwi yang tampak mengenaskan. Bahkan Reya membayangkan Rika dan bu Siwi sekarang tengah mendorong motornya.Sinting!Satu hal yang muncul dalam benak Gavin dan Alvaro yang melihat tingkah Reya. Gavin tampak tak peduli, ia tetap fokus menyetir meski dalam benaknya terus bertanya-tanya apa yang salah dengan Reya? Perasaan tidak ada yang lucu, tapi kenapa Reya terus tertawa? Berbeda dengan Alvaro yang sangat penasaran."Re," panggil Alvaro."Hm." Reya mengalihkan perhatiannya ke Alvaro."Bukan ... lo kan?" tanya Alvaro ragu-ragu.Reya mengernyitkan dahinya, bingung. "Maksudnya?""Yang ngelakuin bukan lo kan?""Nglakuin apa?" Reya tak mengerti maksud pertanyaan Alvaro."Yang tadi."