Share

Bodyguard

Buanglah mantan pada tempatnya, 

Mantan itu ibarat sampah yang gak bisa didaur ulang.

-Reyana Stronghold-

"Jadi? Kenapa lo selingkuh?"

Gilang tersenyum kecil, sebenarnya ia lelah sejak pagi diberondong pertanyaan yang sama. Gara-gara kejadian tadi pagi namanya langsung jadi trending topik di SMA Rajawali. Semua anak dari kelas X sampai kelas XII membicarakannya tanpa henti.

"Gini, lo punya rokok sama permen. Lo pilih mana?" Gilang melemparkan pertanyaan itu pada teman-temannya.

Mereka tampak berpikir sejenak, sebelum serempak menjawab, "Rokoklah, lebih nikmat."

Gilang menjentikkan jarinya, tersenyum puas mendengar jawaban mereka. "Yups, itu dia. Reya itu ibarat lolipop, manis. Sedangkan Selin itu kaya rokok, nikmat. Rokok bisa lo emut bisa lo isep sampe puas."

"Wuiiihhh, otak mesum emang nih anak," celetuk temannya.

"Gila, gila, gila. Pantes aja dia selingkuh ama Selin, bodynya babadotan cuy," seru lainnya.

"Otak omes, viktor, pantes sih. Gilang kan cucunya kakek Sugiono," sahut yang lainnya.

Reya mengepalkan tangannya, telinganya sudah panas sejak tadi berdengung mendengarkan obrolan unfaedah. Mungkin kini telinga Reya sudah berasap seperti cerobong kereta api tahun delapan puluhan. Otaknya sudah memanas akibat memproduksi amarah yang berlebihan, matanya memerah layaknya banteng di arena balap.

Benar-benar mengerikan!

"Re," panggil Ricky ketika Reya beranjak berdiri, teman-temannya ikut menatap Reya.

Mereka semua juga mendengar apa yang dibicarakan gerombolan Gilang yang duduk di bangku pojok belakang. Suara mereka yang cempreng dan lantang jelas sampai ke telinga semua orang. Apalagi kata-kata mereka sama sekali tidak disaring.

"Mau ke mana?" tanya Ricky, wajahnya tampak khawatir. Ia tahu betul tabiat Reya seperti apa.

"Buang sampah," jawab Reya.

Iya, sampah mantan!

"Biar gue ...." Ricky mengatupkan bibirnya saat Reya mengangkat tangannya, menginteruksi Ricky untuk tidak ikut campur.

"Gue bisa sendiri," tukas Reya.

"Perasaan gue gak enak," bisik Michael. Melirik punggung Reya yang berjalan ke belakang.

"Sama," sahut Remi, menatap ngeri ke arah belakang.

"Sebentar lagi bakal ada huru-hara," timpal Cakra. "Tiga." Cakra mulai menghitung mundur. "Dua." Wajah mereka tampak tegang. "Sat ... tu."

"Arrggg ... panas!" pekik Gilang ketika kepalanya diguyur kuah bakso oleh Reya. "Fuck!" umpatnya. "Siapa yang nyiram gu ... ee ...?" Gilang yang berbalik seketika mengatupkan bibirnya, melihat Reya berdiri di belakangnya dengan mangkuk kosong di tangan. "Re-Re-ya!"

"Apa? Lo mau apa? Pukul gue? Nih pukul?" Reya memajukan wajahnya, menunjuk pipinya di depan Gilang. "Atau lo mau hajar gue? Hajar aja, tapi sebelum itu gue yang bakal hajar lo!"

Gilang kembali memekik, mengerang kesakitan sembari memegangi miliknya. Reya baru saja menendang milik Gilang dengan sepatunya yang memiliki bagian bawah bergerigi. Jelas saja Gilang sampai merintih kesakitan, tak berdaya ketika miliknya berdenyut sakit tak karuan.

"Kyaaa!!" Reya menarik dasi Gilang, nyaris membuat Gilang kecekik. "Sekali lagi gue denger lo ngomongin gue, gue pastiin milik lo bakal gue babat habis!" Reya menarik telunjuknya lurus di depan leher, sampai Gilang bergidik memegang erat miliknya.

"Ini berlaku buat kalian semua!! Kalian boleh ngomongin gue dengan catatan gue gak bakal tahu, tapi kalau sampai gue tahu ...." Reya menggantungkan ucapannya, melirik semua anak di kantin terutama teman-teman Gilang. "Gue pastiin lo bakal kaya dia!" Reya menghempas Gilang sampai cowok itu terjungkal ke lantai.

Teman-temannya bertepuk tangan sambil bersorak heboh.

"GO Reya, go Reya go!!" seru mereka serempak.

"Emang enak, mending lo geprek sekalian tuh burung," celetuk Michael, menertawakan Gilang.

"Sekalian dicabein biar mantep," tambah Remi.

Gilang mendengus, melirik tajam teman-teman Reya. Lagi-lagi dirinya dipermalukan di depan umum.

--------

Sesuai rencana, pulang sekolah Reya dan teman-temannya akan melakukan war dengan sekolah tetangga. Ketika bel pulang berbunyi, mereka bersorak heboh langsung menghambur keluar.

"Lo yakin mau ikut Re?" tanya Ricky.

Reya menoleh, menganggukkan kepalanya dengan senyum lebar. "Yakin dong."

"Mending gak usah Re, gue ngeri bodyguard bokap lo sidak lagi ke lapangan," sahut Remi yang berjalan di depannya.

"Tenang aja, bokap gue lagi gak di rumah jadi aman. Btw tongkat baseball gue masih ada kan?" tanya Reya, mengingat waktu war minggu kemarin ia lupa tidak membawanya.

"Ada, untung gue inget ngamanin. Kalau gak bisa jadi barang bukti di BK," jawab Candra.

"Good." Reya mengacungkan jempolnya.

"Bodyguard lo tuh," kata Michael, mengedikkan dagunya ke depan.

Reya mengikuti arahan Michael, ia mendengus saat melihat cowok yang sedang bersandar di pilar dekat lobi. Cowok itu menatap Reya, tatapan begitu datar tapi tetap terlihat tampan dengan rahang tegas, hidung mancung dan rambut sedikit gondrong namun tertata rapi.

"Kalian duluan aja, ntar gue nyusul," kata Reya, memisahkan diri dari gerombolannya. Reya menghampiri cowok itu. "Apa lagi?" ketusnya.

"Om Rey suruh gue anterin lo pulang," kata cowok itu.

"Gak mau, gue ada urusan," tukas Reya.

"Tawuran maksud lo?"

Reya berdecak, melirik cowok di depannya. "Issh, bukan. Tapi war," ralat Reya.

"Sama aja dodol." Cowok itu menoyor kepala Reya dengan telunjuknya.

"Alvaro!" hardik Reya, mengusap-usap jidatnya. "Sakit tahu," rengek Reya.

"Bodo." Alvaro mendengus geli, melihat ekspresi Reya yang menggemaskan. Ia menarik tas Reya, menyeretnya menuju parkiran.

"Al, lepasin!" Reya terus berontak, berusaha melepaskan diri dari Alvaro.

"Gak. Lo tuh cewek Re, harusnya lo kaya Sevi feminim. Bukannya malah tawuran kaya berandalan."

"Maksud lo main boneka gitu?" Reya mendengus, mengingat Sevi sepupunya yang suka main boneka, padahal ia sudah masuk SMP. Tapi herannya om Sean dan tante Vina tidak melarang, mereka malah mendukung membelikan boneka. Terakhir kali mereka membelikan boneka kekeyi dan Sevi menjadikannya boneka kesayangan.

Reya bergidik, amit-amit jangan sampai dia ketularan Sevi suka main boneka. Dari kecil juga Reya gak suka main boneka, ia lebih suka main kelereng atau yoyo kalau gak main balapan pake mobil tamiya.

"Masuk!" perintah Alvaro, menyuruh Reya masuk ke mobilnya.

"Gak." Reya menggeleng, melipat tangannya di depan dada. "Lo gak lihat, gue bawa motor." Reya menunjuk motor vespa warna pink miliknya yang terparkir di barisan parkir motor.

"Masuk, biar gue suruh orang---"

"No!" sergah Reya. "Gue gak mau motor gue lecet. Mending gini aja, gue naik motor gue sendiri. Lo bisa ikutin gue dari belakang. Setuju?" Alvaro memicingkan matanya, menatap Reya penuh curiga. "Janji gak bakal kabur." Reya menunjukkan dua telunjuknya.

"Hm. Tapi awas aja sampe lo kabur," ancam Alvaro.

"Siap, gak bakal kabur." Reya cengengesan, pasalnya dalam hati ia sudah merencanakan kabur dari Alvaro.

Benar saja, Reya memacu motornya meninggalkan Alvaro. Ia langsung menuju ke tempat janjian bersama teman-temannya. Tapi ditengah jalan Reya tiba-tiba diserempet mobil, motornya oleng ke samping. Reya terjatuh dengan motor menimpa tubuhnya.

"Kyaaaa!!!" teriak Reya meringis, menahan kakinya yang tergencet.

Reya berusaha bangun, tapi ia tak mampu. Kakinya justru semakin ngilu saat coba digerakkan. Beban motornya yang berat membuat ia sama sekali tak bisa bergerak dan sialnya jalanan yang dilewatinya sepi karena memang bukan jalan utama.

Reya mengambil ponselnya di saku, menghubungi Ricky untuk memberitahu keadaannya. "Halo," ucap Reya ketika sambungan telepon terangkat. "Ichi, tolong. Gue jatuh, mana kaki gue kepencet motor gak bisa bangun. Gak ada orang sepi, gue takut." Reya langsung mengadukan keadaannya, meminta pertolongan pada teman-temannya. "Oke, gue tunggu. Jangan lama-lama, kaki gue keburu jadi dendeng ntar."

------

Reya turun dari mobil Ricky dibantu Remi yang sigap memapahnya. Kakinya terluka cukup parah, tapi Ricky sudah membawanya ke klinik tadi. Sementara motornya di bawa ke bengkel oleh Candra dan Cakra.

"Makasih, untung kalian cepet dateng kalau gak, gak tau deh nasib kaki gue bakal kaya apa," kata Reya, menatap ketiga temannya.

"Santai aja Re, kaya ama siapa aja," balas Remi, menepuk bahunya. "Yang penting sekarang lo istirahat."

"Iya, gak usah mikirin war," sahut Michael yang langsung dapat tatapan tajam dari Ricky.

"Lah iya, terus war-nya gimana? Masa gatot."

"Udah gak usah mikirin itu, masuk gih," suruh Ricky.

"Kalian gak mau mampir dulu?" ajak Reya, tapi ketiganya menggeleng.

"Kita langsung balik aja, lagian gak enak sama orangtua lo." Ricky melirik ke rumah Reya.

Reya pun menoleh, ia paham ternyata ada Alvaro yang tengah berkacak pinggang di depan pintu. Sepupunya itu emang kurang kerjaan, kenapa juga dia mau-maunya di suruh ini itu sama papanya. Membuat Reya tidak bisa bergerak bebas di sekolahan.

"Hati-hati," ucap Reya saat teman-temannya masuk ke mobil.

Setelah mobil Ricky pergi, Reya masuk ke dalam. Berjalan tertatih dengan sebelah kakinya di gips. Alvaro berjalan menghampirinya, tanpa bicara dia merangkul Reya memapahnya masuk ke dalam.

"Ya ampun Reya, kamu kenapa?" Suara lembut Ana langsung menyambut Reya, ia tampak khawatir melihat kaki Reya yang di gips. Meski hal seperti ini bukanlah kali pertama bagi Ana, tetap saja ia selalu panik. "Kamu balapan lagi?" tuduh Ana.

Reya mendengus, ia duduk di sofa. "Ini jatuh Ma, bukan karena balapan. Lagian mana ada balapan siang bolong begini."

"Sukurin, itu karena lo udah boongin gue," celetuk Alvaro. "Bilangnya aja gak bakal kabur, tapi kenyataannya kabur. Emang lo tuh kaya rubah kecil. Tukang ngibul," gerutu Alvaro.

"Yaelah, Al. Tega banget lo sama gue." Reya memanyunkan bibirnya.

"Bodo!" Alvaro mendengus, memalingkan wajah saking kesalnya.

"Mama, ambilin minum dulu ya," ucap Ana, Reya mengangguk.

Tak lama Ana kembali membawakan minum untuk Reya bersama Rey dan seorang cowok yang berjalan di sampingnya. Reya mengernyitkan dahi, bingung saat menatap wajah cowok yang berjalan di samping papanya.

Siapa? Pasalnya Reya tidak mengenal cowok itu.

Apa mungkin sepupunya? Jelas tidak mungkin, sepupu Reya hanya ada empat seingatnya.

Sena dan Sevi anaknya om Sean sama tante Vina. Terus Alvaro, Alea anaknya om Alva dan tante Vero. Sementara tante Revi belum menikah. Terus dia siapa? Reya berpikir keras, berusaha mengingat-ingat wajah itu. Tapi jawabannya tetap sama, ia tidak mengenalnya.

"Nih, minum dulu," kata Ana, memberikan gelas berisi air putih.

Reya langsung menenggaknya, tenggorokannya terasa kering setelah merintih sejak tadi, menahan ngilu di kakinya yang terkilir.

"Reya, kenalin ini Gavin. Bodyguard kamu," kata Rey memperkenalkan Gavin pada Reya.

Mendengar ucapan papanya, sontak saja Reya tersedak. Bahkan ia sampai menyemburkan minumnya karena saking kagetnya.

"Bodyguard?" beo Reya. Yang benar saja!!!!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status