Share

Voldemort

Ketakutan hanya akan membuatmu mati secara perlahan, lawan rasa takutmu. Tunjukkan pada dunia, jika kamu baik-baik saja. Meski hatimu tidak sedang baik-baik saja.

-Reyana S-

Gavin baru saja akan mengerjakan tugas sekolahnya, ketika listrik tiba-tiba padam. Setelah itu terdengar suara jeritan dari kamar sebelah---kamar Reya.

Gavin yang panik refleks beranjak berdiri, bahkan ia sampai tak memperhatikan jalannya dalam keadaan gelap.

"Aarrrgh!" erang Gavin, meringis kesakitan karena kakinya menabrak sudut bagian bawah ranjang.

"Gavin!!!" Teriakan Reya kembali terdengar.

Dengan langkah pincang, Gavin berjalan ke kamar Reya. Ia mengumpat saat akan masuk, tapi pintunya di kunci dari dalam.

"Reya, buka!" teriak Gavin, menggedor pintu kamar Reya. Tak ada sahutan kecuali tangisan yang semakin kencang. "Reya, buka. Ini gue, Gavin."

Gavin tak bisa diam saja menunggu, karena tidak ada tanda-tanda Reya akan membukakan pintu. Maka terpaksa Gavin mendobrak pintu kamar Reya, padahal kakinya masih terasa ngilu.

"Reya!" pekik Gavin. Meski keadaan gelap, ia bisa melihat Reya meringkuk di bawah. Tubuh Reya terkena pantulan cahaya dari luar, lalu Gavin melihat ke jendela yang terbuka lebar.

"Gavin," lirih Reya, mengangkat wajahnya saat mendengar suara Gavin memanggilnya.

"Lo gak papa?" tanya Gavin, memegang kedua bahu Reya yang bergetar.

Tanpa Gavin duga, Reya justru langsung memeluknya. Dia kembali menangis, semakin lantang. Pelukannya pun semakin erat. Gavin hanya diam, tak tahu harus bereaksi seperti apa. Ditambah degup jantungnya yang tiba-tiba berdetak kencang, membuatnya bingung dengan reaksi tubuhnya sendiri.

"Reya!"

Gavin tersentak ketika suara Ana terdengar, ia refleks melepas pelukan Reya. Gavin menoleh ke belakang, sorotan cahaya dari senter menyilaukan mata.

"Reya, kamu gak papa?" tanya Ana, ia terlihat sangat khawatir. Ana tahu jika putrinya takut gelap, sama seperti dirinya yang phobia gelap.

"Mama, takut," cicit Reya.

"Tenang, ada mama di sini. Kamu aman." Ana mengusap kepala Reya yang berada dalam dekapannya, berusaha menenangkan Reya yang masih ketakutan.

Tak lama listrik kembali menyala, bertepatan dengan Rey yang masuk ke kamar Reya. "Apa semuanya baik-baik saja?" tanyanya.

Gavin mengangguk, begitu pun Ana. Tapi tidak dengan Reya yang langsung berteriak sambil menunjuk ke arah jendela.

"Di sana, ada voldemort Pa!"

Gavin nyaris saja tertawa, ia tak habis pikir dengan apa yang diucapkan Reya. Voldemort? Ayolah, itu hanya ada di film Harry Potter. Mana mungkin ada di dunia nyata, mustahil.

Apa Reya tadi sedang bermimpi?

Tapi melihat kaca jendela yang pecah, itu jelas bukan mimpi. Tapi juga bukan Vodelmort pelakunya.

"Vodelmort?" beo Rey. Wajahnya jelas nampak kebingungan. Semua orang yang mendengar pun akan bingung dan heran.

Reya mengangguk, ia kembali menunjuk ke jendela. "Di sana, dia berjalan di sana. Jubah hitamnya menyapu lantai, tudungnya tampak menyeramkan dengan wajah yang gelap," terang Reya, mendeskripsikan sosok yang dilihatnya tadi.

Rey berjalan ke dekat jendela, pecahan kaca berserakan di lantai. Rey berjongkok, ketika netranya melihat gumpalan kertas. Ia membukanya, ternyata di dalamnya ada batu. Rey menatap keluar balkon, ia yakin seseorang dengan sengaja melempar batu ini.

Tapi siapa?

Rey melebarkan kertas kusut yang membalut batu tadi, betapa terkejutnya ia saat melihat tulisan berwarna merah di kertas.

"Kamu selanjutnya!!!"

Rey mengeraskan rahangnya, mengepalkan tangan, meremas kertas itu sampai tak berbentuk. Kali ini Rey tidak bisa tinggal diam, ia melirik Reya yang masih ketakutan memeluk Ana.

Berengsek!

Rey berjanji akan menghancurkan orang yang berani mengusik keluarganya. Ingatkan Rey untuk mencincang tubuhnya dan memasukkannya ke dalam indomie.

--------

Reya terbangun, usapan lembut di kepala mengusiknya. Reya perlahan membuka mata, hal pertama yang ia lihat sosok tampan yang sedang tersenyum padanya.

"Papa," gumam Reya.

"Selamat pagi," sapa Rey yang duduk di tepi ranjang.

Reya menggeliat, mengedarkan pandangan pada sekelilingnya. Ini bukan kamarnya, tapi kamar orangtuanya. Apa semalam ia tidur di sini? Reya menolehkan kepala ke samping, menatap papanya dengan bingung.

"Kamu udah mendingan? Kalau belum, gak usah sekolah. Nanti papa izinin ke wali kelas kamu," ucap Rey, mengelus rambut Reya.

"Reya gak papa kok," kata Reya, ia merubah posisinya jadi duduk menghadap papanya. "Papa semalem tidur di mana?" tanyanya.

"Di kamar tamu," jawab Rey.

Reya menghela napas pendek, wajahnya tertunduk lesu. "Maaf," gumam Reya.

"Hei, kok minta maaf si. Kan anak papa yang manis, imut, manja ini gak salah apa-apa." Rey mencubit pipi Reya saking gemasnya.

"Aww ... sakit," rengek Reya, memanyunkan bibirnya ke depan. Ia mengusap pipi yang baru saja dicubit papanya.

"Abis gemes, pipi Eaaa kaya squishy."

Reya mendengus, mendengarnya. "Reya, bukan anak kecil lagi Papa," tukasnya.

Rey menggelengkan kepala. "Tidak, kamu itu tetep anak kecil buat papa. Selamanya kamu itu putri kecil kesayangan papa." Rey menangkup pipi Reya, sampai bibir Reya monyong ke depan----seperti mulut ikan koi.

"Isssh, sakit." Reya menarik tangan papanya dari pipi. Ia memberengut kesal, memegangi pipinya yang panas akibat ulah sang papa yang geregetan padanya. "Papa ngeselin!"

Rey terkekeh, senang melihat wajah Reya saat cemberut. Terlihat imut seperti Ana dulu. Rey beranjak berdiri, lalu mengacak-ngacak rambut Reya.

"Mandi gih, kamu bau asem."

"Papa!" hardik Reya, papanya benar-benar memancing emosi Reya.

Rey tertawa terbahak-bahak, puas membuat Reya jengkel sampai meledak-ledak. Ia segera kabur sebelum bantal itu melayang ke arahnya. Anak gadisnya memang bar-bar.

"Dasar Papa gak ada ahlak!" gerutu Reya, ia mengatur napasnya, mengontrol emosi yang siap membeludak gara-gara kelakuan papanya.

"Mandi, pake sabun. Jangan mandi bebek." Tiba-tiba papanya menyembulkan kepala di pintu, hal itu kembali menyulut kekesalan Reya. Dengan gerakan cepat Reya melemparkan bantal ke arah papanya.

"Wlek, gak kena." Papanya menjulurkan lidah dan segera kabur saat mata Reya melotot hampir keluar.

"Papa ngeselin!!!"

Teriakan Reya terdengar lantang sampai bawah, Rey cekikikan, tak kuasa menahan tawa. Sudah lama Rey tak menggoda Reya seperti itu, selama ini ia terlalu sibuk dengan pekerjaan. Bahkan ia merasa waktu begitu cepat berlalu, kini putrinya sudah beranjak dewasa. Reya tak lagi sama seperti Eaaa waktu berusia lima tahun, yang akan menangis ketika Rey iseng menjahilinya. Sementara sekarang, Reya dewasa sudah bisa membalas saat ia iseng menggodanya.

"Papa tuh seneng banget bikin Reya teriak-teriak kaya Tarzan," komentar Ana yang sedang menyiapkan sarapan.

"Gak papa, gemes aja kalo bikin Reya kesel. Reaksinya sama kaya kamu dulu, imut." Rey mencubit pipi Ana.

Ana mendengus geli. Walau sudah bersama selama belasan tahun, nyatanya Rey masih saja seperti Rey yang dulu. Hobi ceplas-ceplos.

"Papa, malu sama Gavin."

Rey terkekeh, ia baru menyadari kehadiran Gavin di meja makan. "Eh, ada Gavin. Gimana, masih kuat ngadepin Reya?"

Gak! teriak Gavin dalam hati, tapi tentu saja ia tak akan merealisasikannya. "Masih, Om. Stok sabar Gavin masih banyak kok," jawab Gavin, mengulas senyum tipis.

"Bagus, sepertinya tugas kamu kedepannya akan semakin berat," ujar Rey, matanya kini beralih pada ipad di tangan. Ia mengecek beberapa email yang masuk.

"Maksud Om?" Gavin tak paham dengan perkataan Rey. Semakin berat? Apa itu artinya, beban Gavin akan bertambah dan kemungkinan ia gila akan semakin cepat terjadi?

"Kamu sudah lihat kejadian semalam kan?" Gavin mengangguk, tapi ia masih belum paham. Apa hubungannya dengan tugasnya menjaga Reya. "Orang-orang itu sudah berani terang-terangan mencelakai Reya, tidak menutup kemungkinan mereka akan kembali melakukannya dan bisa saja itu terjadi di sekolah."

Gavin mengernyitkan dahi, sejujurnya ia belum sepenuhnya paham. Apa yang semalam semacam teror? Gavin pikir itu hanya kerjaan orang iseng atau perampok yang berniat membobol rumah Rey.

"Om yakin dengan kemampuan bela diri yang kamu miliki, kamu pasti bisa menjaga Reya saat di sekolah atau pun waktu Reya di luar pengawasan om," lanjut Rey.

"Baik Om," ucap Gavin, meski ia masih bingung. Tapi demi membalas budi baik Rey terhadap kedua orangtuanya, Gavin akan melakukan apa pun. Termasuk melindungi Reya dengan mengorbankan nyawanya sekali pun.

-----

Sepanjang perjalanan, Reya tampak biasa saja. Ia bersenandung mengikuti irama musik K-Pop yang tengah diputarnya. Matanya menatap keluar jendela, ia terlihat baik-baik saja seolah tak terjadi apa-apa.

Gavin takjub dengan pertahanan diri Reya, dia sama sekali tak terlihat trauma sedikit pun. Mungkin jika cewek lain yang mengalami kejadian buruk seperti semalam, mereka pasti akan mengurung diri dan tak berani keluar.

Mobil Gavin memasuki gerbang, warna merah mengkilap dari bodi mobilnya jadi pusat perhatian anak-anak. Mereka menatap takjub mobil Gavin. Jelas saja, mobil Gavin bukanlah mobil kaleng-kaleng. Mereka yang tahu akan dunia otomotif pasti paham seberapa mahal mobil itu, bahkan orang awam pun akan sepemikiran.

"Re," panggil Gavin ketika Reya akan turun.

"Apa?" Reya menoleh.

"Ponsel." Gavin mengulurkan tangannya ke depan Reya.

Reya mengerutkan keningnya, menatap uluran tangan Gavin lalu beralih ke wajah cowok itu. "Buat apaan?"

"Kepo, udah buruan mana ponsel lo?" tuntut Gavin, memaksa Reya memberikan ponselnya.

"Gak!" tukas Reya, enggan memberikan ponselnya.

Gavin berdecak, tanpa Reya duga Gavin mengambil sendiri ponsel yang berada di saku bajunya.

"Yaaaa!!!" teriak Reya, saking kagetnya. "Lo ...!" Mata Reya membulat sempurna siap menerkam Gavin.

"Ini nomor gue, kalau lo ada apa-apa lo tekan panggilan cepat 1." Gavin memberikan ponsel Reya kembali.

Reya mendengus, merebut ponselnya dengan kasar. Tanpa berkomentar ia langsung keluar, berjalan sambil menghentakkan kakinya. Terlihat jelas jika Reya sangat kesal.

Gavin mendengus geli, melihat tingkah Reya yang tampak lucu di matanya. Namun dengan cepat ia menggelengkan kepalanya, menepis pemikirannya barusan. Reya sama sekali tidak lucu, dia menyebalkan dan menyusahkan!

Gavin baru akan keluar ketika netranya tanpa sengaja melihat dompet kecil di jok samping. Gavin yakin itu milik Reya, ia mengambilnya dan segera keluar untuk mengembalikan ke Reya.

Gavin menghela napas pendek, ia heran saat melewati koridor kelas X yang ramai. Anak-anak berkerumun memenuhi jalan, ia kesusahan untuk menerobos sekumpulan anak-anak itu.

"Misi, misi." Gavin menghela napas pendek, ia akhirnya bisa terbebas dari kerumunan.

Tapi belum selesai mengatur napas, Gavin dikejutkan dengan suara pekikan bersambut teriakan anak-anak di sekitarnya. Gavin menoleh ke dalam kelas mengikuti sumber suara. Ia melotot saat melihat seorang cewek tersungkur di lantai, darah segar mengalir dari hidungnya. Kemudian Gavin beralih menatap cewek yang berdiri di depan cewek itu, ia semakin terperanjat ketika melihat tangan cewek itu berlumuran darah.

"Reya!" pekik Gavin.

Komen (6)
goodnovel comment avatar
Maryam_1717
semangat Thor!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!
goodnovel comment avatar
Sitorus Bere Pakpahan
coin coin coin
goodnovel comment avatar
Budi Yanto
mahaall banget koinnya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status