Share

BAB LIMA

Vicko jelas melihat gadis itu di sana tadi. Tapi bagaimana bisa dia tidak terlihat dalam hitungan detik? Dia bukanlah wanita super yang memiliki kekuatan supranatural atau apa pun itu.

Atau memang dia salah melihat? Sepertinya tidak, pikirnya. Mencoba mengusir bayangan gadis itu dia kembali melanjutkan kegiatannya untuk kembali ke lapangan basket. Sedang Amor yang masih menunduk disuruh keluar dari tempat persembunyian oleh Rega.

Ya, sebelum tadi dia sempat tahu akan ke mana Rega menarik tangannya disaat teman, ya teman barunya itu masih asyik cerita.

“Terima kasih,” ucapnya lalu pergi begitu saja hanya saja Rega tidak akan membiarkan itu terjadi.

“Saya punya satu permintaan,” kata Rega yang membuat Amor mendongak tak percaya.

“Apa? Saya tidak punya apa-apa. Kalau tidak keberatan, apa yang bisa saya bantu?”

Perempuan dingin, batin Rega. Ampun deh, dia sendiri juga dingin kenapa harus mikirin orang lain coba? Dasar!

“Jadi pasangan saya ke acara ulang tahun teman di Sabtu yang akan datang!” Itu lebih kepada perintah, bukan sebuah permintaan.

“Maaf, Kak, saya gak bisa. Permisi.” Belum sempat dia berlalu kembali Rega menarik tangannya.

“Lupa ya saya yang bantuin kamu? Saya sih tidak tahu kamu ada masalah apa sama Vicko, tapi saya tahu bahwa dia memandangmu tidak biasa.”

Pernyataan itu membuat Amor terenyak, “A-apa?” Berarti itu tandanya Rega pun akan tahu mereka memiliki hubungan apa. Dan Ia, tidak ingin itu terjadi.

Tidak! Tidak setelah semua yang terjadi dia tidak mau siapa pun tahu hubungannya dengan keluarga itu lagi. Ya, jika mereka mengakui Amor sekalipun itu anak ‘haram’ dari pada hanya anak tidak jelas di keluarga itu. 

Perempuan pembawa sial anak jalanan, tidak tahu diri. Jalang kecil.

Menutup telinganya menggeleng kecil sampai Rega bingung apa yang terjadi pada gadis ini. 

“Kenapa?” tanya Rega menyentuh pundaknya yang langsung ditepis oleh Amor.

Rega yang baru pertama kali ditolak perhatiannya menggeram, hanya saja dia berusaha menahan gejolak emosi di dalam dada. Mencoba menahan agar gadis ini tak tersakiti mungkin saja dia terlalu lancang.

“Maaf, Kak. Permisi.” Amor berlalu dan Rega tak menahannya. Dia mengamati sampai Amor jauh pergi.

***

Sedang itu Sere dan Ucup masih berdebat sampai mereka sadar bahwa Amor tidak ada.

“Duh kan, Amor ke mana ya?” ucap Sere. “Loe sih, semua karena lo nih.” tunjuknya pada Ucup.

 “Kok gue, sih? Pras dong, dia diem aja deh.” Sahutnya tidak terima.

“Pras?” panggil Sere.

“Ya?”

 “Amor ke mana?”

“Oh, tadi sih katanya ke toilet. Cuma udah lima menit belom balik,” jawabnya santai memainkan ponselnya.

“Ah masa sih? Eike kok ndak percaya ya?”

“Iya, Pras, udah lima menit lebih.” 

“Ya, kali aja dia ada kerjaan. Kalian kok pada kaya khawatir gitu? Mending kita ke kantin aja entar nunggunya di sana aja.” Pras memberi usul, yang disetujui mereka berdua.

Saat berjalan ke kantin pun mereka masih saja berdebat sampai Ucup hampir menabrak Rega.

“Ups, sorry eike ga liat you di sini.”

Sere langsung menyenggol pundak Ucup karena malu akan melakukannya.

“Maaf, Kak, temen saya memang begitu dan dia gak sengaja,” kata Sere. “Cup, kamu gak boleh gitu. Minta maaf sama Ka Rega!” perintahnya.

“Aduh, eike dese apase, Re?” Sembari memutar mata jengah. “Mentang-mentang holang kaya. Oke, gue minta maaf.” Ucup melengos.

“Maaf ya, Kak. Oh ya, Kak, liat cewek gak tadi? Rambut sepunggung tapi gak sampai. Namanya Amor, anaknya pendiam, dia temen kita juga katanya ke toilet tapi gak balik-balik.” Sere bertanya pada Rega.

‘Amor’ pikiran Rega langsung melayang pada sosok gadis yang tadi bersembunyi di dekatnya. Dia sempat membaca name tag di seragamnya tadi dan ingin mengembalikan tumbler minumnya yang sekarang masih di kantong Rega.

“Gak. Cari lagi aja. Sekolah ini luas,” jawabnya cuek lalu pergi.

“Sombong banget.” Pras bergumam walau dia dari tadi hanya diam tapi cukup mendengarkan. “Amor gak punya ponsel ya?” tanyanya.

“Sekalipun punya, kita belum punya nomornya, Pras. Gak akan bisa menghubungi dia.”

“Oh, iya maksud aku jika nanti kita ketemu dia lagi minta nomor hpnya aja. Dia kelihatan berbeda,” ucap Pras.

Perkataan Pras masih terdengar oleh Rega yang masih berada di sana hanya berjarak dua meter karena Raya dan temannya yang lain sudah kumpul. Hanya saja dia masih memperhatikan teman-teman Amor bercerita tentang gadis itu.

***

Seseorang menepuk pundak Vicko karena hanya diam setelah beberapa saat latihan basket di lapangan tadi. Sepertinya pikiran lelaki yang sebaya dengan Rega itu masih tertuju pada gadis yang berada di sana menatapnya penuh ketakutan dan gemetar. Padahal dia tidak pernah melakukan apa pun pada gadis itu.

Ketika ayahnya memarahi gadis itu, ibunya yang menyiksa gadis itu bahkan semua orang menghinanya bahkan Riana, adiknya mempermalukan gadis itu dulu di pesta ulang tahunnya yang ke tiga belas tahun dia hanya diam.

Bukan dia tidak suka dengan gadis itu, hanya saja dia merasa kecewa saja. Marah? Entahlah dia tidak pernah marah kepada gadis itu karena baginya tak ada gunanya.

“Vick,” panggil Rangga, “kenapa? Lu gue tepuk juga gak nyahut, eh malah asik ngelamun,” ujarnya.

“Oh, bukan. Eh, gak apa-apa kok.”

Rangga kembali menyelidiki Vicko, dia yakin ada yang tidak beres dengan temannya itu.

“Yakin? Kok gue ngerasa gak yakin ya?”

“Ehm, gue lagi bingung aja. Milihin kado buat Riana. Dia minta kado gak tau buat apa padahal ulang tahun dia masih lama beberapa bulan lagi,” dalihnya.

Rangga terkekeh. “Adek loe gue jodohin sama adek gue kayanya bisa bro,” ujar Rangga bercanda.

Vicko meninju lengan Rangga. “Loe bisa aja. Adek lo terlalu baik buat adek gue yang manjanya selangit.”

“Gak juga. Adek gue juga banyak tingkah tapi ya gitu, sama cewek sih lumayan. Eh, gimana kita ikut anak-anak MOS buat makrab, yuk? Lumayanlah mana tau dapat adek kelas yang lumayan.”

“Pikiran loe cewek mulu.” 

“Ya, trus apalagi dong?” tanyanya polos.

“Tapi untungnya Galih gak kaya loe ya?” ucap Vicko.

“Gue dari dulu bertengkar dan banyak berdebat dengan dia. Dari dulu gue cerita banyak hal ke dia. Apalagi cewek. Tapi gue gak pernah ngasih kelakuan gue gimana di luar ke dia. Dia tau sendiri hanya saja dia gak mau ikutin gue bagi gue, cukup berhasil jadi kakak Vick. Loe tau bokap kita kurang merhatiin karena mama meninggal waktu melahirkan Galih. Gue juga enggak bisa tiba-tiba nyalahin Galih gitu aja dong.” Ya, memang orang tuanya tidak sempurna apalagi waktu Galih lahir mamanya meninggal dan papa mereka kurang memperhatikan.

Tapi bukan alasan buat Rangga membenci Galih. Alih-alih membenci adiknya, dia justru kecewa dengan papanya yang mengabaikan mereka dan seolah menyalahkan Galih walau dia tidak bicara.

“Untungnya ada Tante Karin, mamanya Gilang. Tante Karin emang adiknya papa. Tapi dia suka sama mama yang sudah dianggap kakak dia sendiri walau umur mereka gak beda jauh. Dan kebetulan saat itu, Tante Karin juga baru melahirkan Gilang yang sudah lama diidamkan karena belum memiliki momongan walau menikah tidak jauh beda dengan papa.” 

“Dia senang sama Galih udah kaya anaknya sendiri. Dia aja menyayangi Galih apalagi gue yang berbagi darah yang sama. Gue kadang menyesal gak selalu ada buat adek gue. Tapi gue tau dia anak yang berbakti gak kaya gue yang selalu cari masalah buat dapat perhatian semua orang.” Rangga menjelaskan sambil sesekali melihat ekspresi temannya.

Vicko tahu bagaimana kehidupan Rangga. Berat, hampir sama dengan keluarganya tapi kenapa maminya tidak bisa menerima Amor? Kenapa papanya tidak bisa mengakui anaknya? Kenapa? Ya, kenapa dia? Kenapa Riana? Kenapa harus ada kenapa dan seandainya dalam hidup ini? Terlalu banyak kata kenapa dan mengapa membuat semuanya justru harus memiliki alasan padahal gak semua harus ada alasannya.

Ya, jika sudah terjadi maka  terjadilah dan ke depannya lebih baik. Tapi tidak keluarganya terlalu memikirkan kehormatan sampai lupa kebahagiaan mereka semua dipertaruhkan. 

“Ga, temani gue ke toko buku ya!” pintanya.

“For what?”

“Nyari kado”

“Adek loe Riana kan? Masih Riana kan?” Ya adeknya Riana tapi yang orang lain gak tahu adalah dia memiliki adik satu ayah beda ibu. Dan itu masih tetap adiknya kan? Bagaimana jika semua orang tahu keburukan keluarga ini? Mereka hanya tahu dari luar bahwa keluarga ini baik-baik saja tapi buruk di dalam.

“Ya, iyalah. Kenapa?” tanyanya.

“Adek loe kan gak suka buku dan sejenisnya, Bro,” kekeh Rangga.

“Hem,” singkatnya. “Pokoknya temani gue aja ya!”

“Oh, oke.” Rangga akhirnya hanya mengiyakan untuk menemani Vicko. Dia tidak akan bertanya lebih dalam walau mereka bersahabat. Dia akan menunggu sampai Vicko yang akan cerita sendiri.

...

...

@fatamorgana16,

Senin, 24 Mei 2021

Pekanbaru. Riau.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status