Share

BAB ENAM

Setelah pengumuman tadi anak baru langsung diberikan izin untuk pulang karena besok adalah hari terakhir MOS dan langsung membawa perlengkapan untuk dibawa menginap di acara MAKRAB di sebuah Villa yang ada di Bogor dekat dengan hutan lindung.

Amor yang sebenarnya malas sekali untuk ikut dalam hal begini terpaksa mengikuti tata cara dari sekolah. Dia tidak mau dicap sombong dan sebagainya padahal jelas-jelas dia hanya seorang anak beasiswa. Beasiswa bagi yang tidak mampu dan kebetulan otaknya masih mumpuni untuk itu. Dia tergesa sampai tidak sadar di depannya ada orang yang berjalan berlawanan arah dengannya.

Brukk!

Terbantinglah barang yang digenggamnya dan ada beberapa buku yang diberikan kakak seniornya tadi waktu lagi pengumuman.

"Maaf," ucapnya lalu pergi.

"Kamu—” Ucapan itu terhenti kala Amor mendongak melihat siapa yang dia tabrak tanpa sengaja. 

"Emm, maaf." Lalu dia kembali menunduk.

"Kamu ... yang dulu itu, ‘kan?" Kalimat tanya yang menggantung membuatnya bingung.

"Maaf, Kak. Salah orang," katanya.

Tapi belum sempat dia menjauh lengannya ditahan. "Gak mungkin gue salah orang. Gue liat bener-bener, kok,” batinnyabatinnya.

“Kamu yang pernah berada di rumah Vicko? Sekitar 3 tahun lalu aku melihatmu di sana. Tapi Riana bilang kamu anak pembantunya," ucapnya perlahan.

Sejenak Amor memandang Rangga, ya orang itu adalah Rangga. Rangga orang yang dulu memberinya kue tapi malah dihancurkan Riana. Dia hanya memakan satu dan yang lain diberikan pada kucing peliharaan Riana.

"Maaf. Salah orang." Lalu dia pergi begitu saja.

Rangga mengamati punggungnya sampai menghilang dan dia benar-benar yakin tidak salah orang. "Gue yakin gak salah orang kok." Feelingnya mengatakan begitu. "Kalau salah orang tidak mungkin dia bertahan beberapa saat mencoba mengingat dan mengamati gue, pasti itu dia. Siapa namanya?"

"Ngapain lo? Bicara sendiri kaya orang gak waras." Tiba-tiba Vicko datang dari arah belakangnya.

"Eh, ngagetin aja. Gak apa-apa. Gue cuma kebetulan ketemu sama orang yang kayanya loe kenal juga deh," ucapnya,

"Siapa?"

"Gue gak ingat namanya. Tapi pernah ketemu di rumah loe dulu." Rangga mengangkat bahu.

"Hmm, cantik dia. Dulu juga dia manis, sih." Rangga bergumam.

"Loe suka sama asisten gue?" Perkataan Vicko sukses membuat Rangga menyemburkan tawa sekaligus kesal.

"Ya, enggak lah. Enak aja loe!"

"Sekate aja loe. Gue suka sama asisten loe yang separuh umur dari kita?"

"Kali aja. Ayo, nanti kelamaan," ajak Vicko

"Ko?" panggil Rangga. 

"Ya?"

"Yakin loe mau ke toko buku?”

"Ya iyalah jadi. Gue serius ini"

"Kenapa sih?”

"Gak ada. Gue cuma ngerasa kalo loe itu lagi membiarkan pikiran loe untuk tidak berhenti di satu titik. Semacam pengalihan sih. Itu menurut gue, loe gak usah merasa gak enak kalau emang belom pengen cerita ya, it's okay aja."

Seketika itu pula Vicko melihat Rangga dengan saksama. Entah memang Rangga cenayang atau sekedar menebak saja apa yang dipikirkannya sampai dia tahu bahwa Vicko memiliki pikiran lain yang sedang berkecamuk dalam kepalanya.

"Ekkemm.” Rangga berdeham.

Vicko yang semula menatap Rangga mengalihkan pandangan sampai dia menemukan siluet seseorang lagi di sana berbicara dengan orang yang dia kenal juga.

"Tadi ngeliatin gue. Sampai gue takut loe sukajuga. Kan gak lucu ya, Ko, kalau tiba-tiba ada headline 'SAHABAT SEJATI. SEGITU CINTANYA SAMPAI VICKO MEMBERIKAN TATAPAN PENUH CINTA KEPADA RANGGA.’ Gue geli sendiri ih," ujar Rangga menekan setiap kata yang membuatnya geli sebenarnya.

"Enak aja loe. Eh, kita beli boneka juga buku. Dan besok kita harus ikut untuk anak darmawisata yang merayakan junior buat MAKRAB.”

"Lu demam ya?" Rangga benar-benar heran dengan sahabatnya ini. Entah apa yang merasukinya dia juga tidak tau.

 "Gue melakukan hal baik lu bilang gue lagi kesambet. Pas gue jelek lu bilang 'kapan benernya sih?’ Gue kaya ngerasa berdosa banget deh." Vicko berkata sambil memicingkan sebelah matanya tanda kesal.

 "Ya gak gitu juga sih. Loe habisnya kalau iseng kadang keterlaluan sih. Ya masa si kacamata loe gangguin sampe dia nangis kejer hanya karena mood lo lagi turun Vick. Dan itu gak bener dong"

"Ya elah, emang dia aja yang cengeng. Lagian kaya hidup loe bener aja sih," selanya.

"Hidup gue emang belum tentu bener, cuma—" Perkataanya langsung dipotong oleh Vicko, "Bukan belum tentu. Emang gak bener," tekannya.

"Ckckckck, gue tau bahkan sadar hidup gue gak bener. Tapi bukan berarti gue membenarkan apa yang orang lain buat juga. Gue emang gak bener setidaknya gue gak nyusahin dan buat orang lain jadi memaki gue selain bokap gue sendiri"

"Sama aja, Bambang."

"Beda dong!"

 Mereka berdebat sampai mereka tidak sadar bahwa toko buku yang akan mereka datangi hampir saja terlewat.

"Gue berasa jadi calon profesor yang lagi ada tugas buat analisa toko buku, deh." 

 "Lu pikir loe doang yang kaya gitu? Gue juga. Tapi ya kita beli buku apa ya?" tanyanya berpikir, sampai Rangga menoyor kepalanya.

"Lu pikir gue tau? Ya elah, Vick, udah deh kita gak bakat jadi anak kutu buku kenapa harus ke toko buku sih?" 

"Loe bisa diam aja gak sih? Gue lagi milah-milih buku nih."

"Emang loe mau beli buku apa sih?"

"Gak tau. Tapi biasa dia suka baca tentang ensiklopedia dan atlana, tentang luar angkasa dan sebagainya," ucapnya pelan.

"Lu lagi bicarain siapa sih, Vick?"

"Ha? Ah, gue bilang apa sih barusan?"

"Aneh loe. Lama-lama gue takut temenan sama loe."

"Anjrit. Loe kata gue aploe

"Ya udah loe pilih dulu deh. Gue mau ke toilet sekalian ada keperluan sebentar"

"Jangan lama-lama ya!"

"Iye. Ya elah, kayak gue ini cinta sehidup semati loe aja. Takut banget gue tinggalin."

"Najis! Ogah gue. Maksud gue kalo loe lama gue tinggal ini." 

"Bilang aja loe ga pede sendirian di toko buku? Ya lagian, seorang Vicko Leonardth lagi milih buku? Mau jadi dosen yang baik loe? Ha-Ha-Ha." Rangga tertawa puas mengejek Vicko sambil berlalu.

Vicko yang sendirian setelah ditinggal Rangga menjadi kikuk sendiri. Dia sebenarnya tidak tahu buku apa yang akan dia pilih tapi dia punya feeling yang tepat untuk itu semua. Entah bagaimana caranya akhirnya dia membelikan ensiklopedia dan tentang galaksi antariksa serta satu buku tentang psikologi dan psioterapy. Entah keyakinan apa yang dipercayainya sehingga dia begitu yakin benar-benar yakin bahwa Amor akan menyukai buku-buku itu.

Setelah ini bagaimana caranya dia memberikan buku ini kepada orang yang bersangkutan? Jika dirinya bahkan tidak tahu di mana Amor tinggal. Selama ini dia menutup mata dengan yang terjadi di rumah, bukan dia tidak mempersalahkan siapa pun dalam hal ini. Dia hanya bingung dan benar adanya bahwa dilema lebih sulit dari pada berbuat jahat sekalipun.

"Udah?" Rangga tiba-tiba datang dan menepuk pundaknya.

"Udah, gue bayar dulu ya." Rangga hanya mengangguk. Ketika Vicko pergi Rangga menatap satu persatu sampai matanya menemukan wanita itu lagi. Wanita yang tadi pagi tanpa sengaja ditabraknya dan sekarang bertemu lagi. Akhirnya dia memberanikan diri untuk menyapa wanita itu.

"Hai!" sapanya melambaikan satu ttangannya

Amor yang sedang melihat lihat harga buku yang akan dia beli terkejut ketika Rangga di depannya. Mencoba tenang dengan mulai melirik kanan-kiri melihat siapa saja yang ada di ruangan ini dan siapa yang bersama Rangga.

"Kenapa? Aku gak sendiri, ada sama temen lagi bayar buku. Kamu kenal kan sama aku?" Rangga terus berbicara bahkan tanpa ditanya dan disuruh. 

Amor yang ditanya hanya menggeleng, sampai Vicko memanggil Rangga. Karena Amor mengenali suara itu dia langsung membalikkan badannya. 

"Hai, tunggu! Siapa namamu?" Bahkan ketika Rangga memanggilnya dia tetap kekeh dan berpura-pura tak mendengar.

"Loe lagi manggilin siapa sih?" Vicko datang dan heran dengan kelakuan Rangga.

"Itu!” Dia menunjuk ke arah wanita itu. "Gue kenal dia karena pernah ketemu di rumah loe. Tapi ga tau siapa namanya," ujarnya.

"Siapa?" tanya Vicko yang juga melihat ke arah yang ditunjuk Rangga. Namun, karena perempuan itu membelakangi mereka pada akhirnya dia hanya melihat punggungnya saja.

Punggung yang kokoh tapi juga rapuh. Dia seperti mengenal punggung itu tapi dia tidak mau percaya bahwa dialah orangnya.

“Ah, gagal lagi deh gue mau kenalan sama dia," sesal Rangga.

"Kalau emang berjodoh pasti ketemu lagi," ujar Vicko.

"Yuk, mana tau besok gue bisa ketemu sama dia. Soalnya dia satu sekolah sama kita," katanya.

 "Eh, dia kan junior. Otomatis pasti ikut besok dalam tour untuk MAKRAB siswi baru. Kita buntututi aja yok?" usul Rangga. Vicko yang mendengar sih ya geleng-geleng saja. Idenya boleh hanya saja begitu banyak siswi masa harus dibuntuti satu-satu. Yang benar saja, pikirnya.

"Vick?" panggil Rangga.

"Ya?" sahutnya.

"Gimana?" 

"Apanya?"

"Ya elah, gimana kalau kita besok ikut di bus buat junior?"

    "Gak usah ngada-ngada, belum tentu kita satu bus sama dia. Kan banyak sih siswa-siswi junior, Rangga. Gak usah makin aneh deh,” ujarnya, "udah ayo, kita ke toko boneka!" ajaknya menarik leher Rangga.

Ketika mereka keluar tanpa sengaja Vicko melihat siluet itu dan terus memandangnya sampai yang dilihat pun membalik badan. Entah karena dia merasa diperhatikan atau memang ingin membalikkan badan mata mereka bersitatap sampai Amor memutuskan kontak lebih dulu.

Namun, ketika dia ingin berlalu suara Rangga memecah keheningan, “Nah, itu dia," katanya. "Hei! Siapa namamu?" panggilnya.

Seorang petugas toko buku akhirnya membuka suara setelah melihat dari tadi Rangga ribut memanggil seseorang.

"Maaf, Bapak-bapak. Jangan ribut, ini toko buku, ada juga yang ingin membaca. Bukan cuma suara kalian yang ingin didengar."

"Iya, maaf ya, Mbak." Vicko yang tidak enak langsung menarik lengan Rangga.

"Buat malu aja loe!" Setelah di luar dia mengomeli Rangga.

"Kaya gak pernah ketemu orang aja sih. Lagian ya, ini toko buku bukan club malam, RANGGA!" katanya dalam setiap kata menyebut nama rangga ada penekanan dalam setiap hhurufnya

"Ya maaf." Rangga hanya nyengir tanpa rasa berdosa sudah membuat Vicko malu.

"Emang siapa sih?" tanya Vicko pura-pura tidak tahu.

"Loe gak kenal? Itu kan dia dulu pernah tinggal di rumah loe. Kata Riana anaknya asisten loe. Dia yang gue bilang manis, Vick. Udah besar ya dia sekarang, dulu kayanya masih anak-anak banget. Palingan umur 11-12 tahun deh," ujarnya menerawang ketika pertama kali dia bertemu Amor.

"Gue pengen nanya namanya. Waktu tadi pagi gue juga hampir bersinggungan sama dia pas jalan. Gak sengaja nabrak gue. Gue tanya nama dia bilang salah orang." 

"Kayanya dia menutup identitasnya dari luar deh. Dia takut gitu ketahuan jadi anak asisten di rumah loe? Kayanya gak sih ya, ada yang disembunyiin gitu gak sih?”

Vicko hanya terdiam mendengar semua perkataan dan pertanyaan Rangga yang tidak bisa dia jawab. Ya gadis itu Amor, adik tirinya. Beda ibu satu ayah. Jangan! Jangan sampai ada yang tahu bahwa Amor adalah adik beda ibu dengannya dan Riana.

"Loe beneran ga kenal?”

"Ha? Ah, gak lah, Ga. Mana gue kenal semua orang yang bekerja jadi asisten di rumah gue, eh, bokap gue. Saudara gue dari bokap aja gak semua gue kenal. Dari nyokap juga gak semua. Palingan dari bokap hanya beberapa. Apalagi asisten sampai anaknya." Mencoba berdalih agar tak diketahui oleh siapa pun.

Itu lebih baik, batin Vicko. Tidak perlu ada yang tahu bahwa keluarganya sudah bobrok dari dulu. Istilahnya rusak yang lumayan parah. Sekarang pun ketika Amor tidak di rumah itu lagi ayah ibunya tidak membaik. Ibunya hanya menjalankan peran ketika ayahnya kedatangan tamu. Begitu pun ayahnya yang sebenarnya tidak pernah ada cinta kepada ibunya. Tatapan itu terlihat, bahkan kepada ibu Amor atau yang mengaku ibu Amor pun tidak ada tatapan itu.

Lalu pada siapa sebenarnya cinta ayahnya selama ini?

 

 

 

 

...

...

@Fatamorgana16,

Rabu, 02 Juni 2021

Pelalawan. Riau

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status