Share

Truly in Love 2
Truly in Love 2
Penulis: Annabella Shizu

1. Rindu

Alena berjalan menyusuri pinggir pantai Parangtritis, pasir putihnya terasa lembut di kaki. Debur ombak yang menghempas bibir pantai membentuk harmoni suara yang menenangkan. Sudah seminggu berlalu sejak ia mengantar Alva ke bandara hari itu. Dan selama tujuh hari itu juga, Alena seperti tersiksa oleh rasa rindu yang mengacau-balaukan hatinya.

Apa sih sebenarnya rindu itu? Dan kenapa bisa membuat seseorang jadi tak berdaya dengan perasaannya seperti ini? Tapi Alena tak bisa membohongi dirinya sendiri, ataupun memaksa dirinya untuk melupakan Alva bahkan sedetik saja. Wajah Alva, senyumnya, tatapan bola mata coklatnya, suaranya... Semuanya seperti membayang-bayangi Alena, ke mana pun ia pergi.

Alena baru sadar ada yang mendekati dari belakang. Ia menoleh. 

"Kamu ngelamun aja..."

"Kak Evan..."

Ya, kakak lelaki satu-satunya itu sedang pulang ke Jogja. Kakaknya sudah dua tahun kuliah di Australia, tepatnya di kota Sydney. Alena dan Kak Evan terpaut usia tiga tahun. Tapi mereka selalu sangat dekat. Ketika Kak Evan akhirnya memutuskan untuk kuliah di Sydney, Alena merasa ia seperti kehilangan sahabat terbaiknya. Namun bersekolah di SMA Scientia, dan tinggal di asrama, telah memberinya teman dan pengalaman baru, yang membantunya menjadi lebih mandiri dan kuat, untuk tidak selalu tergantung pada orang lain.

Sampai Alena bertemu Alva di tahun keduanya di SMA. Dan sekarang, Alva seperti menggoyahkan kemandiriannya selama ini. Ia merasa tak sanggup berpisah dengan Alva.

"Kamu mikirin apa sih? Dari tadi diam aja...," kata Kak Evan, membuyarkan lamunannya.

"Nggak kok, Kak..." Alena hanya tersenyum.

"Nanti juga ketemu kok, cuma seminggu lagi..." Kak Evan seperti membaca kegelisahannya.

Alena tersipu malu.

"Sayang Kakak nggak bisa ketemu Alva, cuma lihat foto sama videonya aja...," sambung Kak Evan sambil memandang Alena. "Dia keren, jago main biola. Kalau dengar cerita Papa Mama, dia juga sopan, anak yang baik..."

"Alva emang baik, Kak...," respon Alena, seolah ingin membela.

Kak Evan tertawa. "Iya, iya..."

Mereka berdua terus berjalan menyusuri pinggir pantai, menikmati sore yang hangat itu.

"Kayaknya, kamu berubah sejak dekat sama Alva...," lanjut Kak Evan.

"Berubah gimana, Kak?"

"Yaah... Kamu jadi lebih dewasa, lebih semangat... Itu perubahan yang bagus sih, menurut Kakak. Artinya, kamu bahagia. Dia bisa kasih pengaruh yang baik..."

Alena memandang Kak Evan. Apakah membuatnya rindu setengah mati juga termasuk pengaruh yang baik? Kalau iya, kenapa rasanya sangat menyiksa saat jauh dari Alva?

"Lena kangen Alva, Kak... Kangen banget...," curhat Alena dengan suara lirih.

Kak Evan tertawa lagi. "Justru dengan begitu, kamu jadi tahu, kalau kamu benar-benar sayang sama dia."

"Bukan cuma sayang, tapi juga nggak bisa jauh... Apa emang begini rasanya?" Alena seperti bertanya pada dirinya sendiri.

"Jadi itu yang buat kamu putuskan mau kuliah ke Jerman kan? Biar bisa sama Alva terus?"

Alena terdiam mendengar pertanyaan Kak Evan. Ia teringat janjinya pada Tante Clara. Tapi sebenarnya, semua itu memang dia lakukan, supaya dia dan Alva bisa selalu bersama.

Alena mengangguk. "Apa Lena salah, Kak? Ninggalin Papa Mama demi Alva?" ia menanyakan hal yang sering menjadi dilema dalam pikirannya.

Kak Evan tersenyum memandangnya. "Itu yang dilakukan orang kalau udah dewasa kan? Kadang, kita harus ninggalin orang yang kita sayangi, demi ngejar impian kita... Kakak juga gitu," kata Kak Evan, sambil merangkul bahu Alena. "Tapi, kita cuma ninggalin Papa Mama secara fisik. Kita masih selalu sayang sama mereka, dan selalu bisa ketemu lagi..."

Alena tersenyum. Kak Evan selalu jadi tempat curhat favoritnya, selain Mama tentunya.

"Kak Evan juga berubah, jadi lebih bijak...," goda Alena. "Jangan-jangan, Kakak juga udah dekat sama seseorang ya?" Alena menyenggol Kak Evan untuk menggodanya.

Kak Evan terkekeh. "Belum, Lena... Kalau udah ada, kamu pasti tahu."

"Kenapa, Kak? Belum ketemu yang cocok?" 

"Yaah, mungkin bisa dibilang begitu... Kakak masih fokus kuliah."

Alena memandang Kak Evan. Kakaknya yang tampan, pintar, bijak, dewasa, dan penyayang. Sepertinya, secara tidak sadar, dia juga memilih sosok yang menyerupai kakaknya sebagai kekasihnya.

Sejak hari pertama berada di Berlin, Alva tak pernah absen memberi kabar pada Alena, entah itu menelepon, video call, atau sekedar mengirim chat. Alva menceritakan segala kegiatannya di kota kelahirannya itu. Untuk pertama kalinya, ia bisa berziarah lagi ke makam Papanya, setelah meninggalkan Berlin enam tahun yang lalu. 

Untuk pertama kalinya juga, ia berkunjung ke rumah Om Hanz, yang sekarang telah menjadi ayah tirinya. Artinya, rumah itu juga telah menjadi rumah baru baginya. Tante Clara dan Om Hanz menyambutnya dengan gembira dan penuh haru.

Alma, adik tiri Alva, juga sudah berusia satu tahun. Alena melihatnya lewat foto yang dikirim Alva, juga waktu mereka sedang video call. Gadis cilik itu sangat cantik dan menggemaskan. Melihat Alva menggendong Alma dengan penuh kasih sayang menimbulkan rasa hangat di hati Alena, dan menunjukkan sisi lain dari Alva, yang membuat wajah Alena merona tiap kali memikirkannya. Alva bisa menjadi sosok seorang kakak, sekaligus ayah yang baik.

Ah, kenapa dia berpikir sejauh itu? Mereka baru saja naik ke kelas XII. Masih panjang perjalanan yang harus mereka lalui. Lebih baik, Alena menjalaninya selangkah demi selangkah bersama Alva, dan mensyukuri setiap kenangan indah yang telah mereka miliki bersama sampai saat ini.

Malam itu, sekitar jam sembilan, Alva menelepon lagi. Beda waktu antara Berlin dengan Jogja sekitar lima jam, di Berlin masih jam empat sore. 

"Gimana liburan kamu hari ini?" tanya Alva.

"Hari ini, aku sama Kak Evan ke Parangtritis. Kalau kamu?"

"Om Hanz tadi ngajak aku survey Studienkolleg lagi, sama beberapa universitas."

Sepertinya jadwal Alva di Berlin sangat padat. Ini sudah ketiga kalinya dia melakukan survey ke Studienkolleg dan universitas di Berlin, untuk mencari tempat kuliah yang cocok bagi mereka berdua.

"Terus, kamu udah ketemu yang cocok?" tanya Alena ingin tahu.

"Ada beberapa... Tapi aku mau putuskan bareng kamu," jawab Alva.

Alena tersenyum. "Aku percaya kok sama pilihan kamu..."

"Tapi kamu tetap harus lihat juga, nanti aku bawain brosur sama fotonya." Alva sepertinya tetap mau menunggu sampai mereka berdiskusi dulu, baru memutuskan pilihan.

"Ya udah... Kalau gitu, kamu cepat pulang dong...," timpal Alena sambil tertawa menggoda Alva.

Sejenak, Alva diam tidak menjawab.

"Aku kangen banget sama kamu...," tiba-tiba Alva berkata dengan suara lembut, mencurahkan isi hatinya yang sama dengan Alena.

Hati Alena terasa hangat mendengarnya. Ia tersenyum. "Aku juga kangen... Kepikiran kamu terus..." 

Secara refleks, Alena menggenggam liontin bentuk hati pemberian Alva, yang selalu dikenakannya di lehernya. Itu sudah jadi kebiasaannya tiap kali ia merindukan Alva.

"Maaf ya, aku bikin kamu kangen...," Alva balik menggoda. 

Alena tertawa, ia menggigit bibir bawahnya. Mendengar Alva bercanda seperti itu membuatnya gemas, ia bisa membayangkan wajah dan cara Alva menatapnya, jika sedang ingin menggodanya.

"Buat temanin kamu malam ini, aku kirimin lagu ya...," sambung Alva.

Wajah Alena merona, Alva pasti memainkan lagu yang romantis untuknya. "Lagu apa?" 

"Kamu pasti suka." Alva sengaja membuatnya penasaran.

"Kamu itu... Ya udah, besok telepon lagi ya..."

"Pasti. Gute Nacht, mein Schatz..."

Alena tersipu lagi. Alva mengucapkan "selamat malam sayangku" dalam bahasa Jerman.

"Gute Nacht, mein Schatz..." balas Alena dengan suara manja. 

Beberapa detik kemudian, file musik dari Alva masuk di ponsel Alena. Alena langsung mengunduh dan memainkannya. Lagu yang dikenal Alena, walaupun sudah lama ia tak mendengarnya lagi. Somewhere Somehow, dari grup musik Wet Wet Wet. Alva memainkan biolanya dengan sangat indah. Alena masih ingat setiap liriknya:

If you're there and you care

And you listen very careful, darling

You'll hear my prayer

And if you hear, loud and clear

You will get a million kisses from me

Somewhere, somehow

And if the night's a lonely time for you

Just listen to the words I gave to you

Let the song of ours play one more time

Somewhere, somehow

I'll be there

Went out walking in the morning

Standing in the pouring rain

Let it run over me

Stayed up way late last night

Trying to put all things right

Let the tears roll over me

And if the night's a lonely time for you

Just listen to the words I gave to you

Let the song of ours play one more time

Somewhere somehow

I'll be there

If you're there, and you care

You will get a million kisses from me

Somewhere, somehow

And if you feel like I feel

Love cuts the deepest part of me

Somewhere, somehow

And if the night's a lonely time for you

Just listen to the words I gave to you

Let the song of ours play one more time

Somewhere, somehow

I'll be there

Alena tersenyum bahagia. Alva bermaksud mengobati rasa kangennya dengan lagu ini. Tapi makin ia mendengarkan alunan biola Alva, ia justru makin merindukan sosok Alva. Alena memutar musik itu berulang-ulang, sampai akhirnya tertidur lelap.

*

Hari Minggu, Kak Evan sudah kembali ke Sydney. Alena merasa bertambah kesepian, walaupun di rumah ada Papa dan Mama yang menemaninya.

Alena teringat kata-kata Kak Evan di bandara, sebelum masuk ke pintu keberangkatan.

"Hargai setiap kebersamaan kamu dengan Alva... Memang butuh perjuangan, supaya bisa bersama orang yang kita sayangi," Kak Evan memberikan nasihat untuk Alena, sambil membelai rambutnya.

Alena terharu. Entah kapan dia bisa bertemu kakaknya lagi. Tahun depan, mereka mungkin akan terpisah jarak semakin jauh, antara Berlin dan Sydney.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status