Share

6. Berlin

Semua kenangan indah itu terbingkai sempurna dalam hati dan ingatan Alena, menjadi semacam kekuatan dan penyemangat di saat ia sedang membutuhkan. Tidak terasa, sudah tiga bulan Alena berada di Berlin. Jika diingat kembali, Alena juga tidak tahu bagaimana semuanya bisa terwujud. Yang Alena tahu, hanyalah kehendak Tuhan yang mengantarkan mereka berdua. 

Alena dan Alva sama-sama diterima di Studienkolleg FU Berlin, sesuatu yang terasa seperti keajaiban bagi Alena. Namanya sempat masuk daftar tunggu, dan selama menunggu itu, ia sudah dibayang-bayangi ketakutan, jika sampai harus berpisah dengan Alva. Kabar gembira itu datang seminggu kemudian, ada peserta lain yang tidak jadi masuk ke Studienkolleg itu, sehingga nama Alena-lah yang dipanggil.

Belajar di Studienkolleg sama seperti jadwal sekolah, tiap hari Senin sampai Jumat, dari jam delapan pagi sampai jam satu siang. Sistem belajar di Jerman memang jauh lebih disiplin dan berat. Mereka dituntut harus selalu belajar mandiri, mencari dan mempelajari materi, bahkan sebelum materi disampaikan di kelas. Alva, yang sudah mengetahui sistem belajar ini, selalu membimbing dan mengingatkan Alena. Mereka sering belajar bersama di perpustakaan, jika ada waktu. 

Tapi Alva juga mempunyai kesibukan tambahan. Sesuai rencananya, ia mengambil kursus fotografi untuk memperdalam keahliannya. Niatnya benar-benar kuat untuk bisa mandiri. Walaupun jadwal kursusnya fleksibel, dan lebih banyak secara online, tapi waktunya bersama Alena jadi terbatas. 

Selesai kelas Studienkolleg, Alva langsung melanjutkan kursus sampai sore. Setelah jam enam sore, barulah Alva punya waktu luang. Mungkin itulah sebabnya dari awal, Alva sudah mengatakan kepada Alena, bahwa mereka mungkin tidak selalu bisa bersama di Berlin. Tapi Alena tidak keberatan, ia selalu mendukung Alva. Mereka juga selalu menjaga komunikasi lewat telepon. 

Alena tinggal di rumah Tante Jenna, sejak awal ia tiba di Berlin. Tante Jenna sangat ramah dan baik padanya, dan mereka dengan cepat menjadi akrab. Tante Jenna berusia sekitar empat puluh tahun, bertubuh tinggi kurus, berkacamata, dan rambutnya dipotong pendek. Menurut Alena, ia sangat cantik dan cerdas. Ia pandai membuat roti dan kue yang enak. Kedai roti kecil yang dibukanya di depan rumah memang hanya sederhana, tapi tidak pernah sepi pelanggan. Alena belajar banyak dari Tante Jenna, membuat kue dan roti, termasuk melayani pembeli di kedainya.

Sore itu, Alena baru pulang dari Studienkolleg. Ia selalu naik bus untuk pulang dan pergi. Hanya butuh waktu sekitar dua puluh menit naik bus dari rumah Tante Jenna ke Studienkolleg. Jadwal bus sangat tepat waktu, dan mudah untuk diikuti, bahkan bagi Alena yang masih asing di Berlin.

Sedangkan Alva biasanya naik sepeda untuk pulang pergi, kecuali jika ia sedang diantar oleh Om Hanz dengan mobilnya. Jarak dari rumah Alva ke Studienkolleg hanya sekitar lima belas menit jika naik sepeda.

Tante Jenna sedang duduk di konter kedai rotinya, sepertinya ia sedang membaca buku. Kacamatanya bertengger di atas hidungnya. Ia mengangkat wajahnya, ketika Alena melangkah masuk. Kedai sedang sepi saat ini.

"Guten Tag, Tante Jenna...," sapa Alena dengan riang, tentu saja dalam bahasa Jerman.

Tante Jenna tersenyum. "Kamu baru pulang, Alena?"

"Aku ke perpustakaan dulu, Tante, pinjam beberapa buku buat pelajaran minggu depan," jawab Alena, sambil melepaskan mantel warna coklat khaki pemberian Alva yang dipakainya. 

Saat ini sudah akhir bulan November, suhu udara mulai dingin di Berlin, dan kadang-kadang bisa mencapai di bawah sepuluh derajat Celsius. 

"Ini kan Jumat, besok weekend. Jangan belajar terus. Pergilah jalan-jalan sama Alva...," Tante Jenna seperti mengomel, tapi Alena tahu maksudnya. 

Alena tertawa. "Iya, Tante... Tapi aku juga harus belajar, supaya bisa lulus FSP..." 

FSP, atau Feststellungsprüfung, adalah ujian akhir Studienkolleg, yang menentukan apakah mereka bisa masuk ke universitas yang mereka pilih.

"Itu kan masih lama, masih tahun depan. Kamu dan Alva pasti lulus. Nikmati aja waktu libur kalian...," celoteh Tante Jenna, sambil menggamit tangan Alena untuk duduk di kursi di sampingnya. 

Alena tersenyum, itu berarti ada yang mau Tante Jenna bicarakan dengannya.

"Kamu udah tiga bulan di sini, gimana rasanya? Tante harap kamu betah...," tanya Tante Jenna, sambil membelai rambut Alena dengan lembut, seperti dengan anaknya sendiri.

"Betah dong, Tante... Tante Jenna baik banget sama aku, aku merasa kayak di rumah sendiri. Studienkolleg juga asyik, biarpun awal-awal rasanya berat, karena belum terbiasa sama sistemnya. Tapi makin ke sini, aku makin enjoy kok...," jawab Alena dengan ceria. 

"Gimana dengan orang tua Alva? Maksud Tante, Tante Clara sama Onkel Hanz?" Tante Jenna bertanya, sambil memandang Alena dari atas kacamata bacanya.

Alena teringat waktu dijemput di bandara, saat Alena dan Alva tiba di Berlin untuk pertama kalinya. Tante Clara dan Om Hanz yang menjemput. Tante Clara, yang sempat tidak ramah waktu pertama kali bertemu Alena di Magelang, seperti berubah 180 derajat. Ia memeluk Alena dengan hangat, menanyakan kabar Papa dan Mama, dan terus mengajak mengobrol sepanjang perjalanan ke rumah mereka. Di rumah Om Hanz, Alena juga disambut dengan hidangan yang sudah disiapkan, bahkan Alena ditawari untuk menginap. Tapi Alena merasa tidak pantas jika menginap serumah dengan Alva, jadi ia langsung diantar ke rumah Tante Jenna di hari yang sama. Om Hanz juga sama ramahnya.

Dan selama libur akhir pekan, Alena sudah berkali-kali diajak Alva untuk berkunjung ke rumahnya. Biasanya, mereka semua akan pergi ke tempat wisata yang masih baru bagi Alena, atau sekedar berkumpul di rumah, bermain dengan Alma. Alma sudah berusia dua tahun dan sangat lincah. Ia sudah akrab dengan Alena, memanggilnya dengan sebutan Schwester, atau kakak perempuan dalam bahasa Jerman.

"Tante Clara sama Onkel Hanz juga baik banget sama aku, Tante... Aku udah sering main ke rumah mereka," jawab Alena.

"Baguslah kalau gitu. Tante senang. Alva udah kembali kayak dulu lagi, dia udah bahagia sekarang...," respon Tante Jenna sambil tersenyum. Ia menarik nafas panjang. "Kamu tahu nggak? Tante hampir berencana untuk adopsi Alva, waktu Papanya meninggal."

Alena agak terkejut, mungkin karena ia belum pernah mendengarnya dari siapapun. Ia diam, menunggu Tante Jenna melanjutkan ceritanya.

"Clara waktu itu kelihatan rapuh banget, Tante takut dia nggak sanggup membesarkan Alva. Tante sampai memohon sama dia, supaya jangan bawa Alva kembali ke Indonesia. Tante udah sayang sama Alva, seperti anak Tante sendiri. Tapi dia tetap keras kepala. Tante cuma takut, kalau mereka kembali ke Indonesia, semua hubungan kami bisa putus...," Tante Jenna mulai bercerita, matanya menerawang seperti sedang mengenang sesuatu.

"Tante sempat ribut sama dia gara-gara itu. Ketakutan Tante terbukti memang... Clara depresi setelah balik ke Indonesia, dan Tante kesulitan hubungi mereka bertahun-tahun. Sampai akhirnya, Hanz bawa Clara pulang lagi setelah sekian tahun, tanpa Alva. Tante ribut lagi sama Clara, gara-gara dia nikah lagi sama Hanz, dan yang paling buruknya, mereka nggak bawa Alva balik ke Berlin... Yah...hubungan kami memang bisa dibilang nggak mulus. Kalau bukan karena Alva udah balik lagi, mungkin sampai sekarang pun, Tante masih nggak akur sama Clara. Makanya Tante nggak mau ke rumah mereka, kalau nggak ada hal yang penting...," Tante Jenna bercerita panjang lebar. 

"Tante cuma cerita ini sama kamu, jangan kasih tahu Alva ya..." Ia memegang tangan Alena. "Tante dekat sama Alva sejak dia masih bayi, tapi sama Clara, kita memang kurang akur. Bahkan Tante sempat menyalahkan Clara atas kematian Josef, Papa Alva..."

Alena tersentak mendengarnya, tapi ia berusaha menyembunyikannya. Belum pernah ada yang menceritakan kepadanya penyebab wafatnya Papanya Alva. Tante Jenna mungkin melihat kebingungan di mata Alena. Ia melanjutkan ceritanya. 

"Josef meninggal karena kecelakaan mobil. Hari itu, hari pentas Alva di sekolah. Dia dari dulu jago bermain biola, persis kayak Josef. Tapi Josef memang sering sibuk, apalagi dia jadi dosen di Universitat der Kunste. Dia sering nggak bisa datang kalau Alva pentas di sekolah. Yah... Tante sebenarnya bisa mengerti kesibukan dia, tapi Clara memaksanya harus datang hari itu. Tante ada di situ, menonton pentas, dan Clara terus-menerus telepon Josef. Mereka seperti bertengkar di telepon. Clara bilang Josef harus datang, dia selalu nggak punya waktu buat Alva, Alva bisa kecewa sama Papanya, dan seterusnya... Pokoknya Clara marah-marah. Akhirnya Josef mengalah, dia bilang dia segera datang. Tapi...itulah terakhir kali kami mendengar suaranya..." Tante Jenna terisak. 

Alena merangkul bahu Tante Jenna untuk menenangkan. Alena merasa matanya juga sudah mulai berkaca-kaca. 

"Tante menyalahkan Clara, karena dia yang paksa Josef datang. Josef mungkin menyetir terburu-buru gara-gara dia. Clara juga menyalahkan dirinya sendiri. Itu yang buat dia jadi depresi... Tapi...semuanya udah takdir Tuhan... Nggak ada yang bisa mengubah masa lalu...," Tante Jenna terbata-bata. Ia menarik nafas panjang, berupaya menenangkan dirinya sendiri.

"Jangan salah paham ya, Alena... Tante udah nggak menyalahkan Clara lagi, Tante udah lupakan semua kejadian yang dulu... Yang penting, Alva udah pulang, dan sekarang dia bahagia... Tante bisa lihat itu..."

Tante Jenna menatap Alena. Mendadak, raut wajahnya yang tadinya sedih berubah, ia tersenyum. "Dia sangat memuja kamu, itu yang dia bilang ke Tante..."

Alena merasa hatinya begitu hangat mendengar kata-kata Tante Jenna. Wajahnya merona. 

Tante Jenna balas merangkul bahu Alena. "Dan Tante bisa mengerti kenapa... Tante pun gampang banget akrab sama kamu, sayang sama kamu... Kamu gadis yang baik. Alva udah memilih yang terbaik menurut Tante."

Wajah Alena semakin memerah. "Tante Jenna...," bisiknya pelan sambil menunduk malu.

Tante Jenna tertawa, mereka saling berangkulan.

Mereka masih terus mengobrol dengan akrab, sampai suara lonceng di atas pintu kedai berbunyi. Ada yang datang. Alena melongok melewati konter tempat mereka duduk. Dua orang pemuda Jerman masuk, mereka seperti melihat-lihat juga ke arah konter. Alena sudah melihat mereka datang beberapa kali, mereka biasanya memesan roti dan kopi, lalu nongkrong lama di kedai yang tidak terlalu luas itu. Sepertinya mereka mahasiswa. 

Alena sebenarnya agak enggan melayani mereka, karena mereka menunjukkan tanda-tanda ingin menarik perhatiannya. Ia bukan tipe cewek yang mudah besar kepala, tapi ia bisa merasakan kalau ada yang tertarik padanya.

Tante Jenna juga melihat mereka, lalu ia berbisik pada Alena. "Sejak kamu di sini, mereka hampir tiap hari ke sini lho... Tante untung kalau gitu..." Tante Jenna tertawa tertahan, ia bercanda tentu saja. "Kamu ganti baju dulu aja di atas, biar Tante yang ladeni mereka."

Alena mengangguk, lalu ia naik lewat tangga di belakang konter kaca itu. Rumah Tante Jenna terdiri dari dua lantai, lantai satu untuk kedai roti dan dapurnya, sedangkan lantai dua adalah tempat mereka tinggal. Walaupun mungil, rumah itu sangat nyaman. Tante Jenna punya jiwa seni yang tinggi, sehingga rumahnya tertata dengan apik. Di lantai dua ada dua buah kamar tidur, sebuah dapur kecil, kamar mandi, dan ruang duduk. Ruang duduk itu biasanya hanya untuk mereka berdua atau jika ada keluarga yang datang, selebihnya Tante Jenna lebih sering menjamu tamunya di kedai.

Alena mengganti kemejanya dengan sweater wol putih berkerah turtle neck, hadiah dari Alva. Ia sudah menyiapkan banyak pakaian hangat yang lain sejak sampai di Berlin, tapi hadiah Alva tetap jadi pakaian favoritnya. 

Ia melirik arlojinya, sudah hampir jam empat. Alva mungkin datang sebentar lagi. Sudah kebiasaan Alva selama ini untuk datang ke rumah Tante Jenna di hari Jumat sore. Kursus fotografinya biasanya selesai lebih awal di hari Jumat. Alena memakai topi beret wol berwarna merah untuk menghangatkan kepalanya, lalu ia turun ke kedai roti.

Kedua pemuda tadi masih di kedai, mereka sedang duduk menikmati roti dan kopi hangat. Ada satu orang pembeli lain, seorang wanita, sedang memilih roti. Tante Jenna sedang mengobrol dengan wanita itu. 

Begitu Alena sudah berada di depan konter, salah satu pemuda itu langsung mengangkat tangannya, memberi isyarat pada Alena, bahwa mereka mau menambah pesanan. Alena berusaha bersikap sewajar mungkin, ia tidak mungkin mengabaikan pembeli. Alena memakai celemek warna merah bata yang merupakan seragam di kedai itu, lalu membawa teko kopi, berjalan menghampiri mereka.

"Guten Tag, kann ich ihnen helfen?" sapanya dengan ramah dalam bahasa Jerman, yang artinya: Selamat sore, ada yang bisa saya bantu?

Kedua pemuda itu memandang Alena sambil tersenyum. "Aku mau tambah kopi," balas pemuda yang satunya, yang lebih tinggi dan berbadan besar.

Alena mengangguk, dan menuangkan kopi ke dalam mug yang setengah penuh.

"Nama kamu Alena kan?" tanya pemuda yang satu lagi. Ia berbadan kurus, wajahnya pucat kemerahan. Mereka memang sudah pernah menanyakan nama Alena sebelumnya.

"Iya…," jawab Alena. "Ada lagi yang mau ditambah?" tanyanya dengan sopan.

"Alena, kamu kuliah?" sambung pemuda yang pertama tadi. Seingat Alena, ia pernah menyebutkan namanya, jika tidak salah Egon.

"Aku baru masuk Studienkolleg...," jawab Alena.

"Oh…dari mana asalmu?" tanya Egon lagi.

"Indonesia."

"Oh, wow... Jauh banget. Tapi kata Tante Jenna, kamu keponakannya."

Alena tersenyum mendengarnya, Tante Jenna memang selalu mengakui Alena sebagai keponakannya ke semua orang. "Tante Jenna anggap aku sebagai keponakannya."

Kedua pemuda itu saling berpandangan.

"Kamu masih baru di Berlin. Gimana, kamu betah di sini?" giliran pemuda kedua yang bertanya. Namanya tertulis di topi bobble-nya, Hendrich, jika itu memang namanya.

"Betah… Di sini nyaman banget," sahut Alena lagi. Ia merasa selama kedua pemuda itu bertanya dengan sopan, ia akan meladeni. Tapi ia juga mulai mencari alasan untuk kembali ke konter.

"Bahasa Jerman kamu udah fasih, bagus...," puji Egon. Ia tersenyum menatap Alena. "Kalau kamu butuh teman buat keliling kota Berlin, silakan bilang aja. Kami bisa temanin."

Alena tersenyum. "Terima kasih, tapi aku udah ada yang temanin..."

Tepat pada saat itu, lonceng di atas pintu kedai berbunyi lagi. Alena menoleh. Alva melangkah masuk. Ia berhenti sejenak, memandang Alena dan kedua pemuda itu. Lalu ia tersenyum, dan memilih duduk di kursi di dekat pintu. Mungkin dia tidak mau mengganggu Alena yang sedang melayani pelanggan.

Alena membalas senyuman Alva. Lalu ia menoleh pada kedua pemuda itu. "Maaf, permisi ya..."

Alena meninggalkan mereka, dan berjalan menghampiri Alva. Alva tampak gagah dengan mantel berwarna biru tua dan sweater abu-abu. Padahal mereka bertemu tiap hari di Studienkolleg, tapi kenapa Alena sudah merindukannya? Alva terus menatapnya.

"Ada yang bisa saya bantu, Herr Hoffman?" Alena sengaja menggoda Alva. Herr artinya Tuan, dan Hoffman adalah nama belakang sekaligus nama keluarga Alva. 

Mata Alva bersinar. "Tolong bilang sama Tante Jenna, aku mau culik asistennya untuk kencan malam ini...," gurau Alva dengan suara lembut. 

Alena tertawa riang. Ia senang mendengar Alva akan mengajaknya kencan.

"Sebentar ya, Herr Hoffman. Kamu mau minum dulu nggak? Biar hangat. Aku ambilkan coklat ya..."

Alena kembali ke konter, dan menuangkan coklat hangat ke dalam segelas mug. Ia sudah tahu kesukaan Alva di saat cuaca dingin, ia tidak suka kopi, apalagi minuman beralkohol. Alena kembali lagi ke meja Alva. Kedua pemuda tadi sepertinya memperhatikan Alena berjalan mondar-mandir.

"Ini, minum dulu...," ujar Alena, sambil meletakkan mug di depan Alva. 

Alva memegang mug itu dengan kedua tangannya. Tapi matanya memandang ke depan.

"Ada pelanggan kamu yang cemberut lho, kalau kamu layanin aku...," goda Alva sambil mengedipkan sebelah matanya. Ia meneguk coklatnya. 

Alena tersenyum, ia tahu maksud Alva.

"Biar aja... Aku punya tamu istimewa yang lebih penting," jawab Alena.

Pada saat itu, wanita yang tadi membeli roti berjalan keluar kedai, ia sudah selesai dengan pesanannya. Tante Jenna langsung menghampiri Alva, tangannya terbuka lebar untuk memeluknya. Alva berdiri sambil tersenyum.

"Hallo ponakanku sayang..."

Mereka berpelukan dengan akrab. Tante Jenna lebih pendek, ia setinggi telinga Alva.

"Tante…apa kabar?"

"Baik, Alva. Lebih baik lagi karena kamu datang," kata Tante Jenna sambil tersenyum lebar. Ia kini beralih merangkul Alena.

"Kalian pasti mau jalan-jalan kan? Pergilah, biar Tante yang jaga."

Alena dan Alva berpandangan sambil tersenyum. Alena berjalan ke konter untuk menyimpan celemek dan mengambil mantelnya. Lalu kembali lagi ke samping Tante Jenna.

"Makasih ya Tante... Kami pergi dulu," Alena berpamitan sambil memeluk Tante Jenna.

"Hati-hati, Sayang..."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status