Share

10. Universitat der Kunste

Beberapa hari kemudian, hasil FSP diumumkan, Alena berhasil lulus dengan baik. Setelah mendapatkan hasil ujian, langkah berikutnya adalah mendaftar ke Universitat der Kunste. Alva menemaninya mendaftar ke Fakultas Seni Pertunjukan, Jurusan Teater, sekaligus berkeliling mengenalkan lingkungan kampus.

"Kamu nggak sibuk? Aku bisa sendiri kok, kamu nggak usah kuatir...," kata Alena, setelah ia selesai mendaftarkan diri. 

"Lagi nggak ada jadwal kuliah. Lagian, aku takut kamu hilang nanti...," gurau Alva.

Alena tertawa dan mencubit lengan Alva dengan gemas. Mereka berjalan bergandengan tangan.

Gedung Universitat der Kunste memiliki arsitektur bergaya antik, tetapi sangat megah dan luas. Universitas ini adalah universitas seni yang terbesar di Eropa. Mahasiswanya berasal dari berbagai negara di seluruh dunia.

Fakultas Musik dan Fakultas Seni Pertunjukan berbeda gedung, tetapi jaraknya berdekatan. Alena merasa senang, karena ia bisa dekat lagi dengan Alva sekarang. Setidaknya jika jadwal mereka tidak begitu sibuk, mereka bisa bertemu di kampus. 

Alva juga mengenalkan Alena dengan salah satu pengurus Perhimpunan Pelajar Indonesia atau PPI, yang kuliah di universitas itu, namanya Yosua. Ia juga kuliah di fakultas yang sama dengan Alva, tapi berbeda jurusan. Mereka saling bertukar nomor ponsel. Yosua juga memberikan alamat email dan alamat kantor PPI di Berlin, jika suatu saat Alena membutuhkan bantuan. 

"Kamu juga join PPI?" tanya Alena, setelah mereka berpisah dengan Yosua.

"Iya, aku masih alumni pelajar Jogja kan?" sahut Alva sambil memasang wajah jenakanya.

Alena tertawa. "Iya sih... Tapi kamu warga Jerman. Mereka nggak keberatan kan?"

"Nggak kok, mereka ramah-ramah. Justru mereka malah senang, kalau ada yang bergabung. Ada juga alumni PPI yang akhirnya jadi warga negara Jerman, karena menikah atau menetap di Jerman," Alva menjelaskan. 

Entah kenapa, Alena mendadak berdebar-debar mendengarnya. Ia terdiam. Apakah ia juga akan menjadi warga negara Jerman kelak? Alva memandangnya sambil tersenyum, lalu menggandeng tangan Alena lebih erat. Alena merasa wajahnya merona, jangan-jangan Alva bisa membaca apa yang sedang dipikirkannya!


*

Berita baik datang kurang lebih seminggu kemudian. Alena berhasil diterima di Jurusan Teater di Universitat der Kunste. Pada saat yang bersamaan, Alva juga berhasil lulus dari kursus fotografi dan mendapatkan sertifikat. Tante Clara langsung menyiapkan perayaan di hari Sabtu.

Seperti biasanya, perayaan berupa acara makan-makan dan kumpul bersama di rumah Alva. Tante Jenna juga ikut datang, membawa kue Red Velvet kesukaan Alena, dan puding oreo kesukaan Alva. Mereka menikmati kebersamaan dengan gembira. 

Setelah makan siang bersama, Alva mengajak Alena melihat-lihat lantai dua rumah itu. Selama ini, Alena memang belum pernah naik ke lantai dua, karena hampir semua kegiatan berpusat di lantai satu. Lantai dua hanya berisi kamar tidur, dan balkon yang menghadap ke halaman depan.

Ada empat kamar, kamar utama adalah kamar Tante Clara dan Om Hanz. Di sebelahnya kamar Alma, yang masih dihubungkan dengan pintu ke kamar utama. Di seberangnya, terdapat dua kamar lagi, yaitu kamar Alva, dan sebuah kamar tamu.

Alva membuka pintu kamarnya. Kesan minimalis sangat terasa dalam kamar itu. Dindingnya dicat warna putih bersih. Pada sisi dinding di belakang tempat tidur, dihiasi dengan wallpaper berdesain batu bata putih yang tampak elegan. Sebuah tempat tidur warna putih berukuran queen terletak di sisi kiri pintu masuk, tempat tidur itu menyatu dengan laci-laci penyimpanan di bawahnya. Di sebelahnya, terdapat lemari built-in besar dari kayu, yang menjadi satu dengan meja belajar. Biola Alva tampak diletakkan secara khusus di salah satu rak berkaca.

Sebuah jendela berukuran besar terdapat di seberang tempat tidur dan lemari, dihiasi gorden panjang berwarna coklat tua. Sebuah standing punchbag berwarna hitam tampak terpasang di lantai, di samping lemari. Alva hanya menghiasi dinding kamar dengan beberapa foto berpigura, selebihnya tidak ada hiasan lain.

"Kamu suka olahraga tinju?" Alena mengomentari punchbag Alva, ia tidak mengira kalau Alva selama ini suka berlatih fisik.

"Buat olahraga aja, lumayan buat melatih fisik," jawab Alva.

Alena melihat-lihat foto di dinding, ada tiga foto Alva dengan Papa dan Mamanya waktu masih kecil, satu foto Papa dan Mamanya berdua, dan satu foto Alva kecil bersama Papanya.

Tetapi di meja belajarnya terdapat dua pigura lagi, Alena agak kaget melihatnya. Keduanya adalah foto Alva dan Alena. Satu foto waktu mereka dinobatkan menjadi King and Queen of Prom Night, dan satu foto lagi waktu mereka berada di Dieng, di atas Bukit Sidengkeng, dengan latar belakang Telaga Warna. Wajah Alena merona. Kedua foto itu memang menyimpan kenangan indah bagi mereka berdua. Alena tersenyum memandang kedua foto itu. Alva berjalan menghampiri meja belajar juga.

"Masih ada yang lain kok...," ujar Alva. 

Ia membuka pintu lemari di samping meja belajar, dan...seluruh sisi bagian dalam pintu lemari itu penuh dengan foto-foto mereka berdua dalam berbagai momen. Waktu pentas seni, pentas drama musikal, konser musik klasik, di Air Terjun Sri Gethuk, di Dieng, di Bandung, dan masih banyak lagi.

Semua foto itu digantung pada mesh board, yang dipasang di pintu lemari. Alena memandang foto-foto mereka dengan wajah takjub, mulutnya terbuka. Ia tergelak dan beralih memandang Alva.

"Kamu cetak semua foto kita? Banyak banget...," komentar Alena dengan nada terkejut.

"Aku kan udah bilang, foto kamu itu buat koleksi pribadiku...," jawab Alva dengan santai. 

Ada senyum di wajahnya. Ia mendekat dan merangkul pinggang Alena. Alena tersenyum, ia melingkarkan kedua tangannya di leher Alva dengan manja. Tatapan mata Alva begitu hangat, dan mereka begitu bahagia hari ini, merayakan momen yang penting. Tentu saja sebuah ciuman mesra akan menyempurnakan momen ini. Alva mencium bibir Alena dengan lembut dan perlahan, memberikan percikan kenikmatan di setiap sentuhan bibirnya.

"Kamu pandai mencium ya...," Alena berbisik manja, ketika Alva melepaskan bibirnya untuk sesaat. 

Mata Alva bersinar, ia merengkuh Alena lebih erat ke dalam pelukannya, memberikan ciuman yang lebih lama lagi. Alena merasa hatinya seperti melayang. Alva akan selalu merajai hati dan pikirannya sampai kapanpun.


*

Tiga hari pertama Alena di kampus lebih berupa orientasi dan pengenalan. Mereka dibawa berkeliling fakultas, supaya bisa mengetahui setiap gedung dan bagian yang ada. Alena juga berkenalan dengan teman-teman seangkatannya yang baru.

Tapi satu hal yang kurang menyenangkan bagi Alena adalah ketika dia tahu, bahwa Paula juga diterima di Fakultas Seni Pertunjukan, Universitat der Kunste. Walaupun mereka beda jurusan, Paula masuk di jurusan Akting, tetapi ada kemungkinan mereka berada dalam satu kelas, jika sedang menjalani mata kuliah yang sama. Ini dikarenakan ada beberapa mata kuliah yang sama antara jurusan Akting dan jurusan Teater. Mata kuliah itu diberikan dalam satu kelas berukuran besar, menggabungkan mahasiswa kedua jurusan itu, untuk memudahkan jadwal dosennya.

Seperti hari ini, hari pertama kuliah dimulai dengan kelas tatap muka, mata kuliahnya adalah Seni Akting. Sesuai dugaan Alena, ia bertemu Paula. Paula seperti sudah mencarinya, ia langsung duduk di sebelah Alena, yang sedang mengobrol dengan Jill, teman satu angkatannya di jurusan Teater yang berasal dari Australia.

"Alena...!! Akhirnya ketemu lagi...," sapanya setengah memekik. Beberapa orang menoleh ke arah mereka.

"Hai, Paula...," balas Alena, berusaha tersenyum.

Mereka bertiga duduk di baris keempat dari bawah, di deretan bangku yang tersusun berundak ke atas seperti tangga. Ruangan kelas yang besar itu berbentuk setengah lingkaran, sehingga semua mahasiswa dapat melihat bagian depan kelas dengan jelas, begitu juga sebaliknya, pengajar dapat melihat mahasiswa secara keseluruhan.

Paula beralih memandangi seluruh isi kelas, seperti sedang mencari sesuatu. Alena meneruskan mengobrol dengan Jill. Ia tak sadar dosen sudah memasuki kelas, sampai Paula menyenggol tangannya, setengah berbisik kepadanya, "My goodness, he is so damn hot!!"

Alena menoleh kebingungan ke arah Paula. Mata Paula tampak menatap lurus ke depan. Siapa yang seksi, dosen mereka? Bahkan Paula juga tertarik dengan dosen? 

Alena mengarahkan pandangannya ke depan, ke arah pria yang berdiri di depan kelas. Pria itu masih muda, mungkin belum tiga puluh tahun, tidak sesuai dengan bayangan Alena, bahwa dosen mereka pasti sudah berumur setidaknya empat puluh tahun ke atas. Rambutnya ikal kecoklatan, berkacamata, dan berkulit agak kecoklatan, seperti orang berdarah Latin.

Alena agak memicingkan matanya, kenapa ia merasa tidak asing dengan wajah pria itu? Tapi di mana ia pernah melihatnya, apakah waktu berkeliling kampus? 

Alena masih mencoba mengingat-ingat, ketika pria itu mengenalkan dirinya. "Hallo semuanya... Nama saya Luis Dario Sanchez, saya adalah asisten dari Professor Luciano Moretti, yang berhalangan masuk hari ini. Saya akan menggantikannya, kalian mungkin akan beberapa kali bertemu saya."

Deg! Alena membelalakkan matanya. Nama itu... Luis? Apakah mungkin? 

Alena teringat pemuda Spanyol yang pernah bertemu dengannya, waktu Alva tampil dalam konser musik klasik di Taman Budaya Yogyakarta, hampir tiga tahun yang lalu. Pemuda itu mahasiswa ISI Jurusan Teater, dari program pertukaran pelajar. Dan pemuda itu terang-terangan menunjukkan rasa tertariknya pada Alena, tapi Alena tidak menanggapinya. Terakhir Alena menolak memberikan nomor ponselnya, dan ia pun tak pernah melihat pemuda itu lagi. Bagaimana mungkin pemuda Spanyol itu sekarang bisa berada di Berlin?

Asisten dosen itu mulai memandang berkeliling kelas. Alena agak menundukkan wajahnya. Dia sebenarnya tidak yakin pria itu adalah Luis yang sama, tentu saja ia tak pernah menanyakan nama lengkap Luis. Selain itu, pria ini berbadan lebih kekar dan berotot. Ia juga memiliki cambang di wajahnya. 

Mungkin hanya mirip, Alena membatin. Tapi tetap saja Alena merasa gugup, sebaiknya pria itu tak usah melihatnya. 

Alena berpura-pura membaca bukunya, supaya tidak usah memandang ke depan. Tetapi Paula yang duduk di samping kiri Alena seperti tak bisa diam, ia terus-menerus menegakkan tubuhnya, atau mencondongkan tubuhnya ke depan dan ke samping. Sepertinya ia berusaha menarik perhatian asisten dosen itu.

"Baiklah, kita mulai dengan perkenalan dulu. Saya ingin tahu nama Anda satu persatu," sambung pria itu. 

Sesuatu yang sangat tidak diharapkan Alena. Apakah itu memang kebiasaan seorang dosen untuk tahu nama mahasiswa satu persatu, padahal jumlah mereka cukup banyak?

"Aileen Matthews...," panggil pria itu dengan suara lantang. Seorang mahasiswi di baris kedua dari bawah mengangkat tangan kanannya.

"Baik…" Pria itu berhenti sejenak. 

Alena mulai berdebar-debar.

"Alena Paramitha..."

Alena mengangkat tangan kanannya, tapi wajahnya masih setengah menunduk. Ia berharap pria itu tidak menyadarinya.

"Saya tak bisa melihat wajahmu, Alena...," kata pria itu dengan suara tegas.

Alena dengan agak terpaksa mengangkat wajahnya, menatap sang asisten dosen. Pria itu juga sedang menatap lurus ke arah Alena, lalu bibirnya membentuk sebuah senyuman. Matanya seperti mengisyaratkan sesuatu. 

Astaga! Itu memang Luis, dan dia juga mengenali Alena! Jika tidak, mengapa dia tersenyum dan menatap penuh arti seperti itu? Alena tidak membalas senyuman pria itu, ia menundukkan kepalanya lagi. 

Pria itu lanjut membacakan nama-nama lain. Alena sudah tidak menaruh perhatian lagi, rasanya ia ingin keluar saja dari kelas itu. Kenapa hari pertama kuliah di kelas harus dimulai seperti ini? Tapi, kalaupun itu memang Luis, lalu kenapa? Mereka tak punya masalah apa-apa, kecuali kalau pria itu tersinggung ketika Alena menolak memberikan nomor teleponnya. Kejadiannya sudah lebih dari dua tahun lalu. Masa iya, Luis masih marah? Tapi bagaimana juga Luis bisa berada di Berlin, dan malah menjadi asisten dosennya sekarang? Sungguh kebetulan yang tidak enak, Alena mengeluh dalam hati. 

Mata kuliah Seni Akting itu berlangsung selama 90 menit. Dan selama itu, Alena berusaha untuk tidak memikirkan yang macam-macam, berfokus pada materi yang disampaikan, dan menghindari tatapan mata sang asisten dosen. Setiap kali pria itu berbicara, Alena mengarahkan pandangannya ke layar presentasi di depan, menunduk membaca buku, atau mencatat di catatannya. 

Entah kenapa, ia merasa pria itu sering mengarahkan pandangan ke arah tempat duduknya. Padahal posisi tempat duduknya agak di samping kiri, bukan persis di depan meja dosen. Apakah gara-gara tingkah laku Paula yang tak bisa diam?

Paula berkali-kali berbisik kepada Alena, memuji tubuh sang asisten dosen yang kekar, atau senyumannya yang menarik, bahkan suaranya yang berat. Duduk di sebelah Paula di kelas memang ide yang buruk. Mungkin lain kali, dia sebaiknya masuk belakangan ke dalam kelas, supaya bisa memilih tempat duduk yang jauh dari Paula.

Akhirnya 90 menit itu berlalu juga. Semua mahasiswa mulai meninggalkan ruangan. Alena sengaja berjalan bersama Jill di dekatnya. Asisten dosen itu belum meninggalkan ruangan. Untunglah Alena duduk di sisi kiri kelas yang bersebelahan dengan pintu keluar, sehingga ia bisa keluar dari kelas, tanpa harus melewati meja dosen. Ia dan Jill melangkah keluar kelas. Mereka akan masuk ke kelas berikutnya, yang untungnya bukan kelas besar seperti kelas sebelumnya, artinya tidak ada Paula. 

"Lain kali, aku akan lebih hati-hati, kalau ikut kelas Seni Akting," Alena mengingatkan dalam hati. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status