Share

6. Kemarahan Brian

        Jayden memijat pelipisnya sekilas, Jayden di buat geleng - geleng kepala dengan kelakuan Brian.

Banyak pelanggaran, ikut tawuran hingga di bawa polisi dan ada yang lebih parah. Seks bebas.

Demi apapun, Jayden sudah merasakan karmanya. Ternyata perbuatannya dulu sama sekali tidak di benarkan dan membuat orang tuanya pusing.

Jayden jadi rindu sang ayah--Jefri. Dia harus banyak meminta maaf pada ayahnya yang sering di buat pusing olehnya dulu.

“Kapan baikan?”

Jayden menoleh, mengusap pipi Zela yang kini bersandar di bahunya.

“Bukan salah aku, sayang..” Jayden menyandarkan kepalanya pada kepala Zela.“__tunggu anak itu sadar sendiri, dia yang salah di sini..” lanjutnya dengan tidak ingin di bantah.

“Aku kangen Brian ada di rumah, kita kumpul setiap hari, setiap pulang dari luar kita bisa ketemu mereka..”

“Brian laki - laki, mandiri itu harus..” Jayden bergerak, menuruni kasur lalu menuju kamar mandi.

Zela hanya menatap Jayden dengan sendu. Kedua laki - laki itu begitu sama keras kepalanya.

Jayden VS Brian, entah siapa yang akan mengalah.

***

Brian merangkul Biya, membiarkan jaketnya kembali di pakai gadisnya. Brian dan Biya tengah menjadi tontonan dan bahan perbincangan di kantin itu.

Brian acuh, sedangkan Biya terlihat gelisah di sampingnya.

“Bri..” panggilan manja dengan sedikit rengekan itu menyapa Brian, tangan sebelahnya yang nganggur di lilit oleh Yuna.

Yuna melirik Biya dengan sinis sesaat, lalu fokusnya kembali pada Brian.“Ngapain sih, rangkul - rang_” ucapannya terhenti.

Brian melepaskan lilitan Yuna di lengannya dengan risih, tangannya itu kini beralih merambat dari perut ke pinggang Biya.

Biya semakin tegang, posisinya sungguh sangat intim. Wajahnya terasa panas, namun tangan dan kakinya semakin dingin saking gugupnya Biya kini.

“Gue udah ga mau main, sama yang lain..” usirnya acuh lalu tatapannya beralih pada Biya yang kini menunduk.

Brian mengamatinya, menyelipkan rambut yang menghalangi wajah Biya itu ke belakang telinga lalu kembali memeluk nya dengan sebelah tangan.

“Bayi, di sini ga nyaman__kita pindah..” Brian membantu Biya untuk berdiri, Brian pun menuntun Biya tanpa peduli dengan desas - desus dan Yuna yang kesal di tempatnya.

“Udahlah jangan ganggu Brian lagi, Yun..” suara Satria terdengar acuh tak acuh.“lo udah di buang, biar gue perjelas..” sarkasnya.

Yuna menatap Satria dengan penuh emosi, dulu saja laki - laki itu begitu ketagihan 'main' dengannya dan kini begitu ketara kalau dia di buang.

“Lo mau gue puasin? Lo terlalu sensi, lo butuh penyaluran, wahai Satria kegelapan!” tekan Yuna dengan penuh emosi lalu beranjak dengan wajah memerah menahan emosi dan malu.

“Dih_”

Tau aja lo, pasti lo mau jawab gitukan?” potong Waldi yang membuat Angga terbahak.

“Apaan sih! Gue bukan kalian!” semprot Satria dengan sewotnya.

***

“Astaga, BAYI!” Brian memekik kaget dan refleks meraih pinggang Biya namun meleset. Jadilah Biya tersungkur di lantai koridor itu.

Brian membantu Biya berdiri lalu berbalik pada dua laki - laki yang sibuk bercanda hingga menabrak Biya. Pelaku yang jelas tidak akan Brian biarkan.

“Anjing lo!” Brian meraih kerahnya dan mulai berkelahi dengan membabi buta. Tidak Brian biarkan lawannya untuk melawan balik.

“Rasain! Beraninya lo nabrak bayi gue sampe jatuh!” bentaknya di setiap bogeman yang melayang pada wajah manis pelaku.

Siswa - siswi mulai kepo, dengan tanpa intruksi semua melingkar tanpa ada yang berani untuk melerai.

“U-udah..” Biya dengan tangannya yang gemetar meraih lengan seragam Brian, meremasnya hingga Brian tersadar dari emosinya."udah, Brian.." mohon Biya.

Nafas Brian masih memburu, di liriknya Biya sekilas lalu kembali pada pelaku yang ada di kukungannya dengan keadaan berdarah - darah dan terbatuk - batuk.

“BRIAN ADRAZI RULZAIN!” suara ibu Ineke menggelegar di sepanjang koridor. Suaranya mampu membuat para kerumunan itu membubarkan diri tanpa di suruh lagi.

Biya semakin gemetar, tangannya yang berkeringat itu semakin dingin.

Brian beranjak, berdiri dengan pasrah. Tangannya tertarik seperti magnet, menggenggam tangan Biya yang bergetar parah di tambah dingin.

“Kalian berani berantem di dekat ruang bimbingan konseling? Benar - benar anak yang_”

“Langsung hukum bu, kasihan dia..” tunjuk Brian pada korbannya dengan acuh.

Bu Ineke sontak menutup mulutnya, emosinya menguap seketika.“Astaga, cepat bawa dia ke UKS..” hebohnya dengan khawatir.

Teman laki - laki si korban dan para siswa yang masih ada di sekitar pun membantu, memapahnya menuju UKS.

Bu Ineke menoleh kearah Brian.“Kamu pulang sekolah ibu tunggu di ruangan!” tegasnya lalu berlalu.

“Ke-kenapa ha-harus pake ke-kerasan..” suara Biya begitu gemetar, tatapannya masih tidak fokus saking syoknya.

***

Brian berdiri tanpa ekspresi, membiarkan Jayden kembali memarahinya. Mau bagaimana pun Jayden menasihatinya, Brian terlalu batu untuk menurutinya.

“Kontrol emosi kamu” Jayden menekan bahu Brian dengan telunjuknya sebentar.“bisa bahaya, engga hanya untuk orang lain, tapi untuk Biya..” tunjuknya pada kamar yang berisi gadis penakut itu.

Brian tidak terganggu, dia masih diam dengan batunya. Nasehat tidak masuk sama sekali.

“Emosi kamu udah engga sehat, emosi kamu bukan bentuk kekhawatiran..” sambung Jayden sebelum pergi meninggalkan apartement Brian.

Brian menatap pintu yang membuat Jayden hilang itu, tangannya terkepal. Ayahnya itu sok tahu, hardik Brian dalam hatinya.

Brian tidak akan sebatu ini, kalau saja Jayden mengerti dirinya.

“ARGH!” teriak Brian hilang kendali dengan nafas memburu. Kehidupannya benar - benar berubah semenjak masuk SMA.

Biya yang kini ada di kamar Brian tersentak kaget, jiwanya yang penakut membuat Biya gampang gelisah dan ketakutan.

Tak lama, pintu kamarnya terbuka. Brian dengan langkah lebarnya menghampiri Biya, kedua tangannya meraih tengkuk dan sebelah pipinya.

Brian melumat bibir kaku itu dengan kelaparan, dia butuh hiburan. Brian tidak peduli dengan rontaan Biya.

***

“Bayi, bokap lo di rumah sakit..” Brian rasanya tidak bisa menyembunyikannya lagi.

Mendengar igauan Biya yang selalu memanggil ayahnya itu membuat Brian semakin memantapkan hatinya untuk bilang.

Biya yang berjongkok, memainkan tangannya di kotak kaca yang berisi anak kura - kura milik Brian itu sontak berdiri dan berbalik menatap Brian.

“A-ayah..” suaranya tercekat, gelisah mulai merambat menghiasi wajahnya yang cantik tanpa polesan make up itu.

Brian mengusap pipi Biya.“Hm, mau jenguk?” tawarnya dengan tatapan masih mengamati Biya dengan intens.

Biya mengangguk cepat, sudah hampir seminggu lebih dia di apartement Brian. Biya ingin bertemu dengan ayahnya.

“Tapi janji dulu..“ Brian menarik Biya untuk merapat padanya.“janji, pulang lagi ke sini..” tuntutnya dengan menatap serius dan tajam kedua mata sayu itu.

Biya diam, berpikir sejenak. Dengan berat, Biya mengangguk.

Brian tersenyum puas, bibirnya kembali mendarat di bibir Biya. Rasanya dia tidak akan bosan untuk mengulum bibir alami itu.

Keserakahan membuat Brian tidak bisa hanya mencuri ciuman pertama Biya. Dia akan terus mencuri yang kedua, ketiga dan seterusnya. 

Brian sudah memutuskan kalau Biya akan selalu menjadi miliknya. Tanpa persetujuan pun dia tidak peduli, seegois itu. 


Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status