Share

7. Si Bayi Butuh Pakaian

       Biya menjilat bibirnya gugup, tidak ada siapa - siapa di kamar ini. Bukan karena takut, dia bahkan sudah biasa sendirian. Biya hanya malu sendiri dengan apa yang di lakukan Brian pada bibirnya.

Demi apapun, ciuman pertamanya di ambil Brian saat itu dan yang kedua lalu ketiga, rasanya Biya bisa gila di peluk malu dan sedih. Sedihnya karena Biya merasa tidak ada bedanya dengan Yuna CS. Apakah setelah bibir lalu turun ke_

Biya menggelengkan kepalanya cepat, mencoba menepis semua pemikiran anehnya. Biya kembali gelisah, banyak sekali yang memberatkan pikirannya.

“Kenapa belum siap - siap?”

Biya tersentak kaget di duduknya. Nafasnya terasa tersedot tiba - tiba. Biya kembali menundukan kepalanya.

“Kenapa?” Brian berdiri menjulang tinggi di depan Biya yang terduduk itu, di usapnya kepala mungil yang sering berpikir dan gampang di tebak itu.

“Em.. Anu..” Biya meremas lengan jaket yang kepanjangan itu. Jelas kepanjangan karena itu jaket milik Brian.

Brian mengamati pakaian Biya, hanya memakai jaketnya yang kebesaran.“Kemana gaun kamu?” mata Brian mengedar liar mencari gaun itu.

“A-anu, jatuh__basah..” cicitnya di akhir.

Brian menghela nafas pendek, dia harusnya lebih peka. Selama tidak ada ibunya ya Biya tidak punya pakaian. Brian tidak mengerti banyak soal perempuan.

Brian menepuk jidatnya, harusnya dia biarkan Amora membawa Biya belanja. Brian benar - benar bodoh semenjak kenal Biya. Dia terlalu hanyut dengan rasa sukanya.

“Aku engga mau di tunda lagi, aku mau ketemu ayah..” suara Biya memang pelan, namun tidak gugup Seperti sebelumnya.

Brian mengamati penampilan Biya, gaun lainnya mungkin di cuci. Tapi masa iya Biya memakai jaketnya saja.

“Beli dulu baju buat kamu, tunggu sebentar..”

Biya dengan berani menahan tangan Brian lalu menggeleng.“Jangan, aku engga mau ngerepotin kamu, aku bisa a-ambil di rumah..” cicitnya di akhir.

Brian membingkai wajah Biya dengan gemas.“Bayiku yang manis, denger ya, kamu engga ngerepotin sama sekali..” senyum tipis kini terbit dari bibir Brian.

Biya sontak merona, wajahnya kian memerah. Biya berdebar dan tidak berani menatap Brian.

Di cubitnya pelan pipi Biya.“Gemes..” gumam Brian pelan lalu membawa langkahnya keluar, dia membeli baju perempuan? Hm semoga saja bisa.

***

Brian memasuki toko khusus pakaian perempuan, tatapannya mengedar dengan bingung. Harus dari mana dia memulai?

"Bisa saya bantu, kak?" pegawai laki - laki itu bertanya dengan ramah, tersenyum dengan penuh kesopanan.

Brian tersenyum tipis sebagai kesopanan."Mau cari pakaian, perempuan_" Brian mengamati pakaian di sekitarnya."yang terbaru dan populer yang mana ya mas?" lanjutnya.

Brian bingung dengan bentuk - bentuk pakaian wanita di depannya. Brian hanya tahu kaos, kemeja, jas.

"Untuk usia remaja SMP di sini, kak_kalau untuk dewasa di sebelah sana.." tunjuk pegawai itu dengan ramah.

Oh ternyata dia berada di tempat pakaian anak SMP, entah kenapa mereka sepertinya seukuran dengan Biya.

Brian mengikuti pegawai itu, mulai memilih beberapa gaun yang menurut Brian bagus untuk Biya.

"Ambil ini__" selanjutnya Brian mencomot asal apapun yang ada di sekitarnya."sudah, mas.." lanjutnya lalu mengekor lagi menuju kasir.

Semoga saja Biya suka dengan apapun yang dia ambil asal itu. Brian sungguh tidak paham dan belum tahu selera Biya seperti apa.

***

“Ini belum di taliin, dasar bayi..” gemas Brian seraya meraih tali pakaian yang ada di belakang tubuh Biya.

Biya kembali merona, rasanya dia belum terbiasa dengan perhatian - perhatian yang di berikan Brian. Biya masih butuh adaptasi.

“Makasih..” kata Biya dengan malu - malu, salah tingkah juga.

Brian mengusap puncak kepala Biya dengan gemas. Di raihnya tangan Biya, di genggam lalu menuntunnya menuju motor.

“Pake motor ya, mobil lagi di bengkel..” kata Brian seraya memasangkan helm pada Biya dengan penuh perhatian.

Bagi Biya, mobil maupun motor sama. Bahkan Biya sudah terbiasa dengan angkutan umum atau lebih parahnya jalan kaki.

“Makasih..” ucap Biya dengan tersenyum tipis.

Brian menatapnya, ikut tersenyum dengan berbinar senang. Brian tidak menyangka dengan kecepatan perasaan yang menerobos hatinya.

“Cantik..” Brian membingkai wajah Biya yang perlahan merona itu.“terus senyum, Bayi..” pintanya.

Biya mengerjap gugup, perlahan mencoba melepas bingkaian tangan Brian di wajahnya.

“Ayah, Brian, aku mau ketemu, ayo..” ajak Biya dengan di akhiri senyum canggung. Biya sungguh sudah tidak sabar ingin bertemu ayahnya.

Wajah Brian perlahan cerah, Biya sudah berani berbicara dengan menatap matanya langsung.

“Ayo..” Brian berseru dengan bahagia, benar - benar di mabuk cinta. Perasaan pertama yang menyapa Brian. Wajar saja dia tidak terkendali.

Brian mengangkat Biya hingga duduk di jok motornya yang tinggi itu. Biya yang masih terkejut, mengusap dadanya kaget dengan tindakan Brian yang tiba - tiba itu.

Sesuai panggilannya. Biya di perlakukan seperti bayi...

***

Brian berdecak tak suka."Ngapain liat segerombolan itu? Mau di godain sama mereka?" nada suaranya jelas terdengar posesif.

Biya mengerjap bingung, memangnya yang dia lihat salah? Biya hanya melirik karena mereka terlihat, tanpa ada maksud lain. Sungguh...

"A-aku engga gitu.." Biya terdengar lirih, lebih tepatnya tidak mengerti kenapa Brian sepertinya marah.

Brian menyalakan mesin motornya, di susul Biya yang kini sudah naik ke atas motornya.

Sebelum berlalu, Brian melirik segerombolan itu dengan tajam. Seolah menegaskan untuk tidak macam - macam pada Biyanya.

Biya memeluk sekeranjang buah itu, bibirnya tersenyum tipis. Dia senang bisa memberi ayahnya buah - buahan walau uangnya dari Brian. Selama ini, Biya hanya bisa merawat ayahnya tanpa bisa memberikan keinginannya yang selalu ingin buah - buahan.

Biya tidak akan marah pada ayahnya, dia tahu kenapa ayahnya berubah begitu. Biya juga sama hancurnya. Biya hanya bisa menyayangi ayahnya karena hanya dia satu - satunya harapan Biya untuk tetap bertahan walau sering di lukai.

"Pegangan!" Brian berujar ketus, dia masih merasa cemburu dengan kejadian tadi.

Biya sontak berpegangan pada pinggang Brian, mulai mengamati sekitar dengan perasaan tenang.

Bisakah dia percaya pada Brian?

Dengan kebaikan yang laki - laki itu lakukan, haruskah dia masih tidak percaya kalau dia tidak akan membullynya?

"Sebentar, beli dulu minum.." Brian butuh air, dia haus karena merasa gerah oleh cuaca dan juga gerah oleh kejadian tadi.

Brian tahu kalau Biya tidak maksud  tapi tetap saja. Brian tidak suka miliknya di pandang dengan begitu penuh ketertarikan seperti itu.

Brian rasanya ingin mencolok semua mata mereka. Untung emosinya bisa dia telan karena dia tidak mau membuat Biya semakin takut padanya.

Brian mengusap kepala yang terbungkus helm itu."Lo bikin gue puyeng, bayi.." lalu di cubitnya pelan hidung mungil itu.

Biya mengerjap, mengekor di belakang Brian yang kini masuk menuju mini market.

"Mau beli apa?" Brian mengusap lagi kepala yang di balut helm itu.

"Engga.." Biya tersenyum tipis, merasa kembali aman saat suara Brian kembali lembut tak seketus beberapa menit yang lalu.

"Biar sekalian, nanti langsung pulang ga keluar lagi.."

Biya terdiam, mencoba memikirkan apa yang mungkin saja ingin dia beli. Tunggu! Apa dia punya uang? Masa harus merepotkan Brian lagi.

"Jangan sungkan, bilang semuanya.." Brian terdengar serius dan mendesak Biya untuk tidak ragu meminta apapun padanya selagi bisa dia berikan.

"Beli pem-pem_"

"Pembalut, sama apa lagi?" potong Brian dengan santainya. Jelas santai, dia sudah biasa di suruh Amora untuk beli ini dan itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status