Biya menjilat bibirnya gugup, tidak ada siapa - siapa di kamar ini. Bukan karena takut, dia bahkan sudah biasa sendirian. Biya hanya malu sendiri dengan apa yang di lakukan Brian pada bibirnya.
Biya menggelengkan kepalanya cepat, mencoba menepis semua pemikiran anehnya. Biya kembali gelisah, banyak sekali yang memberatkan pikirannya.
“Kenapa belum siap - siap?”
Biya tersentak kaget di duduknya. Nafasnya terasa tersedot tiba - tiba. Biya kembali menundukan kepalanya.
“Kenapa?” Brian berdiri menjulang tinggi di depan Biya yang terduduk itu, di usapnya kepala mungil yang sering berpikir dan gampang di tebak itu.
“Em.. Anu..” Biya meremas lengan jaket yang kepanjangan itu. Jelas kepanjangan karena itu jaket milik Brian.
Brian mengamati pakaian Biya, hanya memakai jaketnya yang kebesaran.“Kemana gaun kamu?” mata Brian mengedar liar mencari gaun itu.
“A-anu, jatuh__basah..” cicitnya di akhir.
Brian menghela nafas pendek, dia harusnya lebih peka. Selama tidak ada ibunya ya Biya tidak punya pakaian. Brian tidak mengerti banyak soal perempuan.
Brian menepuk jidatnya, harusnya dia biarkan Amora membawa Biya belanja. Brian benar - benar bodoh semenjak kenal Biya. Dia terlalu hanyut dengan rasa sukanya.
“Aku engga mau di tunda lagi, aku mau ketemu ayah..” suara Biya memang pelan, namun tidak gugup Seperti sebelumnya.
Brian mengamati penampilan Biya, gaun lainnya mungkin di cuci. Tapi masa iya Biya memakai jaketnya saja.
“Beli dulu baju buat kamu, tunggu sebentar..”
Biya dengan berani menahan tangan Brian lalu menggeleng.“Jangan, aku engga mau ngerepotin kamu, aku bisa a-ambil di rumah..” cicitnya di akhir.
Brian membingkai wajah Biya dengan gemas.“Bayiku yang manis, denger ya, kamu engga ngerepotin sama sekali..” senyum tipis kini terbit dari bibir Brian.
Biya sontak merona, wajahnya kian memerah. Biya berdebar dan tidak berani menatap Brian.
Di cubitnya pelan pipi Biya.“Gemes..” gumam Brian pelan lalu membawa langkahnya keluar, dia membeli baju perempuan? Hm semoga saja bisa.
***
Brian memasuki toko khusus pakaian perempuan, tatapannya mengedar dengan bingung. Harus dari mana dia memulai?
"Bisa saya bantu, kak?" pegawai laki - laki itu bertanya dengan ramah, tersenyum dengan penuh kesopanan.
Brian tersenyum tipis sebagai kesopanan."Mau cari pakaian, perempuan_" Brian mengamati pakaian di sekitarnya."yang terbaru dan populer yang mana ya mas?" lanjutnya.
"Untuk usia remaja SMP di sini, kak_kalau untuk dewasa di sebelah sana.." tunjuk pegawai itu dengan ramah.
Oh ternyata dia berada di tempat pakaian anak SMP, entah kenapa mereka sepertinya seukuran dengan Biya.
Brian mengikuti pegawai itu, mulai memilih beberapa gaun yang menurut Brian bagus untuk Biya.
"Ambil ini__" selanjutnya Brian mencomot asal apapun yang ada di sekitarnya."sudah, mas.." lanjutnya lalu mengekor lagi menuju kasir.
Semoga saja Biya suka dengan apapun yang dia ambil asal itu. Brian sungguh tidak paham dan belum tahu selera Biya seperti apa.
***
Biya kembali merona, rasanya dia belum terbiasa dengan perhatian - perhatian yang di berikan Brian. Biya masih butuh adaptasi.
“Makasih..” kata Biya dengan malu - malu, salah tingkah juga.
Brian mengusap puncak kepala Biya dengan gemas. Di raihnya tangan Biya, di genggam lalu menuntunnya menuju motor.
“Pake motor ya, mobil lagi di bengkel..” kata Brian seraya memasangkan helm pada Biya dengan penuh perhatian.
Bagi Biya, mobil maupun motor sama. Bahkan Biya sudah terbiasa dengan angkutan umum atau lebih parahnya jalan kaki.
“Makasih..” ucap Biya dengan tersenyum tipis.
Brian menatapnya, ikut tersenyum dengan berbinar senang. Brian tidak menyangka dengan kecepatan perasaan yang menerobos hatinya.
“Cantik..” Brian membingkai wajah Biya yang perlahan merona itu.“terus senyum, Bayi..” pintanya.
Biya mengerjap gugup, perlahan mencoba melepas bingkaian tangan Brian di wajahnya.
“Ayah, Brian, aku mau ketemu, ayo..” ajak Biya dengan di akhiri senyum canggung. Biya sungguh sudah tidak sabar ingin bertemu ayahnya.
Wajah Brian perlahan cerah, Biya sudah berani berbicara dengan menatap matanya langsung.
“Ayo..” Brian berseru dengan bahagia, benar - benar di mabuk cinta. Perasaan pertama yang menyapa Brian. Wajar saja dia tidak terkendali.
Brian mengangkat Biya hingga duduk di jok motornya yang tinggi itu. Biya yang masih terkejut, mengusap dadanya kaget dengan tindakan Brian yang tiba - tiba itu.
Sesuai panggilannya. Biya di perlakukan seperti bayi...
***
Brian berdecak tak suka."Ngapain liat segerombolan itu? Mau di godain sama mereka?" nada suaranya jelas terdengar posesif.
Biya mengerjap bingung, memangnya yang dia lihat salah? Biya hanya melirik karena mereka terlihat, tanpa ada maksud lain. Sungguh...
"A-aku engga gitu.." Biya terdengar lirih, lebih tepatnya tidak mengerti kenapa Brian sepertinya marah.
Brian menyalakan mesin motornya, di susul Biya yang kini sudah naik ke atas motornya.
Sebelum berlalu, Brian melirik segerombolan itu dengan tajam. Seolah menegaskan untuk tidak macam - macam pada Biyanya.
Biya memeluk sekeranjang buah itu, bibirnya tersenyum tipis. Dia senang bisa memberi ayahnya buah - buahan walau uangnya dari Brian. Selama ini, Biya hanya bisa merawat ayahnya tanpa bisa memberikan keinginannya yang selalu ingin buah - buahan.
Biya tidak akan marah pada ayahnya, dia tahu kenapa ayahnya berubah begitu. Biya juga sama hancurnya. Biya hanya bisa menyayangi ayahnya karena hanya dia satu - satunya harapan Biya untuk tetap bertahan walau sering di lukai.
"Pegangan!" Brian berujar ketus, dia masih merasa cemburu dengan kejadian tadi.
Biya sontak berpegangan pada pinggang Brian, mulai mengamati sekitar dengan perasaan tenang.
Bisakah dia percaya pada Brian?
Dengan kebaikan yang laki - laki itu lakukan, haruskah dia masih tidak percaya kalau dia tidak akan membullynya?
"Sebentar, beli dulu minum.." Brian butuh air, dia haus karena merasa gerah oleh cuaca dan juga gerah oleh kejadian tadi.
Brian tahu kalau Biya tidak maksud tapi tetap saja. Brian tidak suka miliknya di pandang dengan begitu penuh ketertarikan seperti itu.
Brian rasanya ingin mencolok semua mata mereka. Untung emosinya bisa dia telan karena dia tidak mau membuat Biya semakin takut padanya.
Brian mengusap kepala yang terbungkus helm itu."Lo bikin gue puyeng, bayi.." lalu di cubitnya pelan hidung mungil itu.
Biya mengerjap, mengekor di belakang Brian yang kini masuk menuju mini market.
"Mau beli apa?" Brian mengusap lagi kepala yang di balut helm itu.
"Engga.." Biya tersenyum tipis, merasa kembali aman saat suara Brian kembali lembut tak seketus beberapa menit yang lalu.
"Biar sekalian, nanti langsung pulang ga keluar lagi.."
Biya terdiam, mencoba memikirkan apa yang mungkin saja ingin dia beli. Tunggu! Apa dia punya uang? Masa harus merepotkan Brian lagi.
"Jangan sungkan, bilang semuanya.." Brian terdengar serius dan mendesak Biya untuk tidak ragu meminta apapun padanya selagi bisa dia berikan.
"Beli pem-pem_"
"Pembalut, sama apa lagi?" potong Brian dengan santainya. Jelas santai, dia sudah biasa di suruh Amora untuk beli ini dan itu.
Biya merasa tangan yang di genggam Brian kini berkeringat, karena hanya tinggal beberapa langkah lagi kakinya akan sampai di ruangan yang di tempati ayahnya.“Bri-Brian_” Biya menatap canggung wajah Brian yang tampan bak dewa itu.“a-aku em sebentar_” di tarik tangannya yang berada di tangan Brian itu.Keduanya tengah berdiri di samping pintu yang menjadi ruangan Rudy di rawat. Biya membiarkan kedua tangannya saling meremas gelisah.“Tarik nafas_buang” Brian mengusap bahu Biya, mencoba membuatnya tenang.“_ada aku bayi, tenang_ semua pasti baik - baik aja..” yakinnya.Biya menelan ludah, menatap wajah maskulin Brian dengan gugup. Suara dan wajahnya sungguh berbeda.Tidak akan ada yang percaya kalau wajah tampan namun menakutkan itu memiliki suara yang lembut. Bahkan membuat Biya nyaman.
Brian meraih helm di tangan Biya, menyimpannya lalu bercermin sesaat sebelum menggandeng Biya menuju ke dalam gedung sekolah.“Brian_” Biya melirik Brian dengan ragu dan canggung.“ki-kita pisah aja sekarang..” dengan pelan Biya berusaha menarik tangannya dari genggaman Brian.“Kenapa? Kelas kamu masih cukup jauh..” Brian berujar acuh.“Itu_” Biya mengedarkan pandangannya dengan tidak nyaman.“aku engga nyaman, lebih baik_”“Diem, ngikut aja jangan banyak berpikir, bayi..” Brian berujar santai tanpa menatap Biya, melainkan menatap sekitar dengan memindai tajam.Tak lama, keduanya sampai di depan kelas Biya. Brian melepaskan genggamannya, membuka jaketnya lalu di pakaikan pada Biya.Brian ingin menegaskan kalau Biya itu miliknya, jangan ada yang berani mengusiknya.“Jaketnya kenap_”“Pake aja, sayang..” Bria
Angga, Waldi, Satria sudah berada di ruang inap Biya yang baru di pindahkan pada ruang VVIP itu. Brian terlihat lahap memakan nasi padangnya. Angga memang tahu sekali selera Brian.“Lo gimana sih, masa anak bayi di kasih saos_” setelahnya Angga cekikikan.Waldi mengangguk.“Orang tua macam apa yang nyumpel mulut bayinya pake saos..” sindirnya.Brian mencoba abai.Satria mengamati Biya yang terlelap tanpa terganggu, bahkan tawa menggelegar Waldi tidak membuatnya terusik.Satria menepuk bahu Brian.“Bri, dia masih nafaskan?” tunjuknya pada Biya yang terlelap di atas kasur pasien.Brian mengunyah santai nasinya lalu mengangguk.“Nafaslah bego! Anjing banget pikiran lo!” semprot Brian dengan mulut penuh.
Susilo bersiul, melayangkan tos ria pada Brian yang tengah berkumpul dengan para teman - teman tongkrongannya yang lain itu. Matanya memicing geli, menggoda Brian yang jarang kumpul itu.“Pengantin baru kenapa jarang nongkrong, hm? Ngasik keluar - masuk?”Brian tersenyum kecil, menerima tosan itu.“Dia bukan cewek yang bisa gue masukin, bang__” Susilo pun duduk di samping Brian.“dia cuma bisa bikin gue gemes_” lanjutnya.Angga, Waldi dan Satria sontak bersorak geli paling heboh di antara yang lainnya. Sungguh tidak biasa mereka membahas hal menye - menye di tongkrongan. Biasanya kalau tidak selangkangan ya minuman atau balapan yang di bahas.“Cielah! Anak muda emang beda, dah berumur mana bisa pikirin yang gemes - gemesan__kepuasan sih iyah!” seru Susilo seraya meraih gelas sloki bersih lalu menuangkan minuman beralkohol yang cukup bermerk itu.Brian ha
Brian mengendus leher Biya, mengabaikan ketidak nyamanan gadisnya itu. Televisi di depan mereka tidak berhasil menarik perhatian Brian.“Brian__” Biya menahan wajah Brian dengan tangan mungilnya.“geli, berhenti..” pintanya.Brian mengulum senyum.“Iya, Bayiku sayang..” di kecupnya pipi Biya sekilas dengan kedua tangan masih melilit memeluk Biya.Biya tersipu, jantungnya berdebar. Pengalaman pertama baginya bisa sedekat ini dengan laki - laki.“Bayi, di sekolah kita umumin ya..” Brian kembali mendekat, mengendus leher Biya yang selalu manariknya untuk mendekat. Seperti ada magnet.Biya menggeliat, kembali menahan wajah Brian.“Umumin? Umumin apa, Brian?” tanyanya tidak paham.“Kita pacaran__” Brian mengecup hidung mungil Biya dengan gemas.“aku mau semua orang tahu, kamu punya, Brian Adrazi Rulzein..” bangganya.Bi
Brian masih saja senyum - senyum sendiri. Siswa yang sering Brian bully pun di biarkan hanya lewat. Padahal siswa itu sudah mempersiapkan diri jika Brian menariknya ke belakang sekolah.Bahkan saat Brian berjalan ada yang menyenggolnya, biasa ngamuk kini acuh dengan senyum masih terbit. Efek dahsyat dari cinta.“Bri, gue merasa dunia yang kita pijak itu beda..” Angga memicingkan matanya, menatap Brian ngeri.Brian tidak terganggu.“Kalian emang engga gini ya? Bawaannya kangen, pengen senyum..” di tatapnya mereka dengan heran.“Gitu sih awalnya, tapi dulu pas SMP__lo sih telat, SMA baru pacaran..” Waldi menyahut.Brian mengangguk paham, dia memang telat. Lebih tepatnya, Tuhan baru mempertemukannya dengan Biya sekarang. Di akhir perjalanan SMA.“Biya mana?” Satria bertanya dengan mulut mengunyah.“Masih di kelas, katanya banyak salin catetan..”“Lo y
Seperti niat awal, Brian bermanja - manja pada Biya setelah keduanya sampai di apart Brian. Biya yang awalnya risih dan berdebar pun kini teralihkan dengan hujan di kaca jendela.“Hujan, tapi masih cerah cuacanya..” Biya melirik Brian sekilas.Brian mengamati apa yang sebelumnya Biya lihat lalu mengangguk setuju.“Iyah, ga mendung malah cerah..” herannya, lebih tepatnya baru ngeh. Selama ini Brian mana peka cuaca.“Katanya, mitosnya kalau hujan gini, ada orang meninggal yang belum bisa ikhlas ninggalin orang terdekatnya..”Brian hanya menatap Biya, tidak peduli pada mitos yang di bahasnya. Biya semakin cantik di matanya, sungguh bercahaya.Mungkin inilah alaynya cinta, masa iya wajah Biya bercahaya. Ada lampunya begitu? Brian geli sendiri.“Sayang..” Biya menoleh, membuat Brian menghangat. Biya semakin peka saat Brian memanggilnya sayang.
Biya meniup pelan bubur panas di sendok yang di pegangnya. Brian hanya menatapnya dengan tersenyum kecil. Biya begitu telaten mengurusnya."Kata dokter, lusa pulang.." Biya tersenyum dengan wajah cerah karena senang dengan kabar akan pulangnya Brian.Brian mengangguk seraya menerima suapan dari Biya."Ga sabar pengen nikahin kamu, bayi.." godanya dengan sesekali mengunyah bubur.Brian heran, kenapa bubur di mulutnya masih bisa di kunyah. Brian melirik mangkuk yang di pangku tangan Biya. Ternyata ada wortel dan beberapa sayur, pantesan."Kamu kok ngebet.." Biya tersipu dengan pura - pura fokus meniup bubur di sendok.Brian mengulum senyum gemas."Pengen cari kebaikan sama kamu bareng - bareng, tiap pagi liat kamu, sebelum tidur bahkan kita bisa olah raga bersama.." kekehnya di akhir.Biya sontak menahan nafas sesaat dengan