Share

8. Brian Emosi

       

 

    Biya merasa tangan yang di genggam Brian kini berkeringat, karena hanya tinggal beberapa langkah lagi kakinya akan sampai di ruangan yang di tempati ayahnya.

“Bri-Brian_” Biya menatap canggung wajah Brian yang tampan bak dewa itu.“a-aku em sebentar_” di tarik tangannya yang berada di tangan Brian itu.

Keduanya tengah berdiri di samping pintu yang menjadi ruangan Rudy di rawat. Biya membiarkan kedua tangannya saling meremas gelisah.

“Tarik nafas_buang” Brian mengusap bahu Biya, mencoba membuatnya tenang.“_ada aku bayi, tenang_ semua pasti baik - baik aja..” yakinnya.

Biya menelan ludah, menatap wajah maskulin Brian dengan gugup. Suara dan wajahnya sungguh berbeda.

Tidak akan ada yang percaya kalau wajah tampan namun menakutkan itu memiliki suara yang lembut. Bahkan membuat Biya nyaman.

“Apa ayah_apa ayah tahu aku di rumah kamu?” Biya kembali menelan ludah, sungguh masih butuh waktu untuk biasa dengan Brian.

“Tahu, aku yang bawa ayah kamu ke rumah sakit__” Brian mengusap puncak kepala Biya dengan lembut."waktu mau izin, aku malah ketemu ayah kamu yang lagi kesakitan_" lanjutnya dengan pandangan terus mengamati Biya yang begitu luar biasa di matanya yang tengah di mabuk cinta itu.

Biya menghela nafas pelan, mencoba meyakinkan diri untuk masuk.“Ya-yaudah, aku mau masuk sekarang_”

“Masuk? Apanya?” Brian mengerjap, mengamati sekitar yang ramai itu. Ah! pikirannya terlalu kotor, bajingan sekali pemikirannya!

Fokus, Bri!

***

Brian menarik lengan Biya, menuntunnya untuk masuk. Mengabaikan ke brengsekannya beberapa detik yang lalu.

“Ngapain kamu ke sini?” Rudy memalingkan wajahnya.“puas liat ayah kamu di rawat di sini?” lanjutnya dengan sinis, bahkan masih enggan menatap Biya.

Brian menghela nafas pelan, mencoba menelan emosinya pada pria tua itu. Brian sudah bernegosiasi dengannya agar menyambut Biya dengan baik, bahkan Brian sudah memberikan setengah uang di tabungannya pada pria tua ingkar janji itu.

Brian terkekeh dengan tidak percaya.“Woah, luar biasa_” gumamnya pelan, bahkan di telinga Biya tidak terdengar jelas.

Brian menatap tajam Rudy, mengesampingkan kesopanan. Brian melirik tangan Biya yang gemetar di genggamannya  itu, Brian menekan kuat giginya hingga rahangnya mengeras.

“Ah! Lupa_” dengan bodohnya Rudy berseru lalu terkekeh pelan.“sini nak, ayah rindu pada anak gadis ayah_” senyumnya yang pura - pura itu terlihat menyebalkan di mata Brian.

Biya tersentuh, matanya menatap Rudy dengan berkaca - kaca. Biya sungguh menunggu hari ini datang.

“A-ayah, Biya juga rindu ayah..” akunya dengan suara bergetar lirih.

Brian merasa sakit, Biya terlalu lugu di atas dunia panggung sandiwara ini. Tanpa curiga Biya bahkan melepaskan tangannya untuk mendekat ke arah Rudy.

Rudy mengusap tangan Biya dengan memandangnya di iringi senyuman.“Tapi, kamu harus nurut sama pacar kamu, ayah belum bisa hidup sama kamu, ayah masih banyak hutang_” Rudy menatap Brian yang menatapnya tidak bersahabat itu.“dia akan menjagamu, ayah yakin_” senyum Rudy semakin lebar.

Rudy merasa bahagia karena akhirnya dia menemukan bank berjalan. Dengan sedikit ancaman tentang Biya, laki - laki muda itu pasti akan memberinya uang pikir Rudy penuh ambisi.

“Ayah, Biya mau sama ayah_” Biya terisak pelan, membuat Rudy tanpa sadar berdecak jengkel.“Biya akan kerja untuk ayah, Biya akan berusaha cari uang_” yakinnya penuh permohonan.

“Ck! Ayah yakin, pacar kamu akan jaga kamu, bahkan lebih baik dari ayah_” Rudy mencoba menarik nafas, mengatur emosinya.

“Dia bukan pac_”

“Kita pulang Biya, waktu jenguk sudah habis” bohong Brian seraya meraih pinggang Biya, menariknya dua langkah dari Rudy.

“Engga, aku mau sama ayah_” tolaknya dengan berderai air mata, bahkan tangannya berusaha melepas tangan Brian yang kini melilit di perutnya.

Brian berdecak kesal, Biya sungguh bodoh! Di sakiti Rudy masih saja ingin tinggal dengannya.

“Pergi! Ayah engga bisa urus kamu, untuk makan ayah sendiri saja susah_” usir Rudy dengan santai, bahkan kini tengah memakan apel yang tersimpan di nakas.

Brian menggeram tertahan, emosinya sungguh sudah terasa akan meledak di ubun - ubunnya.

Tahukan geng Brian tidak pandang bulu? Maka kalau saja dia terus di sana, mungkin Rudy akan dia hajar sampai habis!

“Ayo!” desis Brian seraya menarik Biya paksa. Bahkan Brian tidak pamit, emosinya takut tidak terkendali.

Biya menolak namun Brian tidak tinggal diam, dia menggendong Biya yang terus berontak itu.

“Jangan bikin aku usir ayah kamu dan berhenti kasih biaya rumah sakit!” bisik Brian penuh ancaman di telinga Biya.

Biya sontak terdiam, hanya isakan yang terdengar. Biya merasa di buang, merasa dunianya semakin hancur.

***

“Bayi..” Brian mengamati luka yang kering di kepala Biya, posisi Biya tengah tidur memunggunginya di atas kasur.“makan dulu!” Brian mengintip wajah Biya yang ternyata terlelap.

Brian pun memutuskan untuk keluar kamar menuju dapur dengan santai. Suara bel berbunyi, Brian pun membawa langkahnya menuju pintu.

Hallo, Bro..” Waldi melempar cengiran.

Tangan Angga dan Satria terlihat sibuk membawa cemilan, entah apa saja. Bahkan Brian bisa melihat bir dalam kaleng.

Brian menggeleng samar.“Mau mabok jangan di sini, bunda_”

“Gue tahu kali, bunda lo sama bokap lo lagi keluar kota” celetuk Angga dengan bibir mencibir.

Brian berdecak, dia lupa kalau Angga anak dari rekan bisnis ayahnya.“Yaudah masuk, jangan bikin kekacauan!” tegasnya dengan malas - malasan.

***

“Cewek di kamar lo siapa, bazeeng!” pekik Angga seraya berlari heboh pada Brian yang tengah bermain kartu dengan Waldi dan Satria.

Brian menatap Angga tajam.“Gue suruh kamar yang tamu, bukan kamar gue!” bentaknya dengan kesal.

Waldi dan Satria melempar kartu dengan tidak minat, kini minatnya pada Brian dan juga Angga.

“Cewek? Seriusan? Lo sewa cewek? Ga ajak - ajak!” kata Waldi dengan kecewa.

Brian menggeram kesal.“Dia bukan cewek yang suka ngangkang terus di kasih uang! Anjing lo!” semprotnya pada Waldi seraya menampar belakang kepalanya.

Waldi mengusap kepalanya dengan mendengus kesal.

“Terus siapa?” Satria memicingkan matanya.“Biya?” tebaknya dengan ragu.

Angga dan Waldi menatap Satria dengan mulut menganga, seolah baru di sadarkan dengan kedekatan Brian dan Biya.

“Iyah! Itu Biya, gue yakin walau gue liatnya cuma punggung mulusnya sedikit!” seru Angga yang detik selanjutnya mendapat serangan bantal sofa dari Brian.

“Akh! Ampun Bri_ sakit anjig! Udah Bri”

Brian melempar bantal itu dengan nafas memburu.“Hapus ingatan itu! Gue cingcang tu otak baru tahu rasa!” geramnya seraya berlalu menuju kamarnya.

Brian lupa tidak memakaikan baju Biya setelah adegan pemaksaan pada Biya untuk membalurkan salep pada luka - lukanya.

Dengan hebohnya, ketiga laki - laki itu berkumpul. Bergosip ria melebihi Yuna CS. Ketiganya jelas penasaran, selama mereka kenal Brian, tidak pernah laki - laki itu segila itu pada perempuan.

***

Brian memasangkan kaosnya pada Biya yang masih terlelap, sungguh kebo gadis itu. Brian geleng - geleng kepala. Kebo betina.

“Gue perkosa, lo ga akan bangun kayaknya” lagi Brian menggeleng tidak percaya. Brian mengecup dada yang samar membiru itu.“tuh, lo gue gituin engga terusik sama sekali” herannya.

Brian menghela nafas, jangan sampai Biya tidur di tempat orang lain, apalagi ada laki - laki. Brian harus semakin ketat menjaga bayinya.

“Cepet bangun, makan..” bisik Brian lalu mengecup pipinya.

Brian kembali keluar kamar untuk menghampiri para laki - laki kepo itu. Brian duduk di antara mereka lalu meraih satu kaleng bir di depannya.

“Jadi bener Biya?” todong Angga, membuat Waldi dan Satria juga kepo.

“Hm, cewek gue..” balasnya acuh.

“Cewek gue? Jadian maksud lo?” Satria semakin penasaran.

“Engga juga, pokoknya dia punya gue!” tegasnya namun kembali acuh.

Ketiga laki - laki kepo itu terlihat mengerutkan alisnya. Jadi maksud Brian itu, hubungan tanpa status?

Dengan acuhnya Brian hanya melirik mereka dengan malas.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status