Share

9. Biya Sakit

         Brian meraih helm di tangan Biya, menyimpannya lalu bercermin sesaat sebelum menggandeng Biya menuju ke dalam gedung sekolah.

“Brian_” Biya melirik Brian dengan ragu dan canggung.“ki-kita pisah aja sekarang..” dengan pelan Biya berusaha menarik tangannya dari genggaman Brian.

“Kenapa? Kelas kamu masih cukup jauh..” Brian berujar acuh.

“Itu_” Biya mengedarkan pandangannya dengan tidak nyaman.“aku engga nyaman, lebih baik_”

“Diem, ngikut aja jangan banyak berpikir, bayi..” Brian berujar santai tanpa menatap Biya, melainkan menatap sekitar dengan memindai tajam.

Tak lama, keduanya sampai di depan kelas Biya. Brian melepaskan genggamannya, membuka jaketnya lalu di pakaikan pada Biya.

Brian ingin menegaskan kalau Biya itu miliknya, jangan ada yang berani mengusiknya.

“Jaketnya kenap_”

“Pake aja, sayang..” Brian mengusap kepala Biya lalu berlalu menuju kelasnya yang cukup jauh dari kelas Biya.

Biya merona samar, jantungnya berdebar aneh. Biya menelan ludah saat melihat semua anak kelas menatap kearahnya lalu dengan cepat mengalihkan pandangan darinya. Aneh?

Biya memutuskan membawa langkahnya masuk dengan canggung, bahkan kepalanya terus menunduk.

“Cih! Beruntung banget..” Luna tersenyum mengejek namun tidak bisa bertindak jauh, bisa - bisa Brian menghabisinya.

Biya duduk dengan sedikit tidak nyaman, namun dia berusaha untuk diam senormal mungkin. Biya harus percaya kalau pengaruh Brian tidak akan membuatnya kembali di injak - injak.

Biya mengulas senyum tipis, Brian sungguh seseorang yang sangat berarti di hidupnya kini. Tuhan mengirimkan Brian di sisa - sisa terakhirnya SMA. Seolah - olah Tuhan ingin membiarkannya bahagia walau sesaat. Brian membuatnya percaya walau jujur, dia masih takut dan belum bisa bersikap nyaman di sampingnya.

***

“Yuna, lo pulang nanti mau kemana?” tanya Waldi seraya merangkul perempuan dengan make up di wajahnya itu.

“Mau ngajak 'main'? Kemana?” balas Yuna dengan tatapan yang memikat.

“Hotellah, masa main begituan di arena balap!” sewot Satria dengan mulut penuh batagor.

Yuna melirik Satria dengan jengkel.“Anak rese itu kenapa? Masih aja sewot..” dumelnya.

Waldi mengusap pipi Yuna yang sedikit berdebu, ah bukan ternyata make upnya.“Jangan marah, makin seksi tahu, ntar gue maunya main di sini..” bisik Waldi dengan melempar kedipan genit.

Angga yang sempat mendengar bisikan itu sontak membuat ekspresi yang pura - pura akan muntah.

Angga menatap Waldi ngeri, buaya satu itu benar - benar bermulut besar. Entah berapa wanita yang masuk perangkapnya.

“Azahra, jangan lupa_” sindir Angga yang membuat Waldi menekuk wajahnya suram, justru dia butuh hiburan karena gadis itu. Waldi tidak mendapat restu dari orang tua Azahra, jadi hubungan mereka tengah renggang saat ini.

“Azahra? Cewek alim anak pemilik pesantren?” Yuna menahan tawanya, merasa tidak percaya kalau selera Waldi anak alim.

Waldi melepas rangkulannya pada bahu Yuna, tatapannya berubah tidak suka.“Kenapa sama gadis alim? Seburuk - buruknya gue, gue masih berharap jodoh gue baik, ga kayak lo!” amuknya dengan beranjak dari duduk.

Yuna memutar matanya.“Dih, kok marah, ga jelas banget..” kepalanya menggeleng pelan.

Satria tersenyum cerah.“Brian, Angga, Waldi, udah buang lo hari ini..” terangnya dengan begitu bahagia.

Angga menghela nafas pendek, entah apa masalah Satria dengan Yuna. Keduanya membuat Angga pusing.

“Gue cabut!” Angga beranjak menyusul Waldi.

Kini hanya ada Satria dan Yuna di sana. Yuna menatap Satria dengan penuh rasa benci. Yuna merasa tidak memiliki salah tapi Satria bawaannya selalu sewot padanya.

“Lo cuma boleh ngangkang buat gue!” tegasnya dengan tersenyum miring.“itu pun kalau lo ga mau gue ganggu bisnis gelap keluarga lo..” Satria beranjak dengan mengusap kepala Yuna sekilas.

Yuna menggeram kesal, menatap kepergian Satria dengan geram. Yuna tidak mengerti dengan cara berpikir Satria, Yuna tidak bisa membaca rencana apa yang sedang Satria buat.

***

Brian menyuapi Biya dengan telaten, tidak peduli dengan Biya yang gelisah dan tidak nyaman karena perlakuannya itu.

“Kenapa?” Brian menyeka saos di ujung bibir Biya lalu mulai menyuapinya lagi.“kenapa engga bisa diem?” lanjutnya.

Biya menggeleng.“Engga papa, cuma engga nyaman aja..” akunya jujur.

“Mereka emang engga ada kerjaan, biarin aja” cueknya lalu kembali mendekatkan kentang goreng di cocol saos pada Biya.

Biya menarik ingusnya, mencoba untuk terus menerima walau mulutnya sudah terasa seperti terbakar. Biya tidak bisa tahan pedas, bahkan saos.

Brian menautkan alisnya, menatap wajah Biya yang memerah dengan keringat membasahi keningnya.

“Pedes?” tanya Brian merasa kalau saosnya tidak seperti cabai 3 biji. Reaksi Biya sungguh berlebihan baginya yang cinta dengan saos.

Biya mengangguk dengan berdesis pedas, bahkan duduknya semakin gelisah. Paket kumplit! Biya langsung merasakan mulas.

Brian terlihat kesal, rahangnya mengeras karena merasa buruk. Padahal Brian sudah mencari informasi tentang Biya sedetail mungkin. Tetap saja masih ada yang terlewat.

“Minta obat ke UKS..” Brian menarik tangan Biya pelan, membantunya berjalan.

Biya menepuk pelan tangan Brian yang melilit di lengannya.“Se-sebentar, perutnya sakit_” aku Biya dengan keringat dingin bercucuran.

Brian terhenyak, perasaannya tiba - tiba cemas dan juga merasa bersalah. Demi apapun, Brian tidak pernah merasakan perasaan itu yang sungguh aneh baginya itu.

Brian menggendong Biya yang terus meringis dengan memegang perutnya, Brian memang menganggap Biya berlebihan hanya karena saos tapi ya namanya juga tidak bisa makan pedas beda lagi urusannya.

***

Dan berakhirlah di sini, rumah sakit. Lambung Biya ternyata rusak parah, menyentuh cabai sedikit saja bisa fatal.

Brian masih duduk di samping kasur Biya, menatapnya lurus dengan tidak terbaca. Brian melirik ponselnya yang bergetar lalu mengangkatnya.

Bri, lo di mana? Bukannya kita mau nongkrong di si mbah?” sapa Angga di sebrang sana.

“Di rumah sakit, Biya di rawat_” Brian memijat pelipisnya.“gue ga bisa ke sana, tapi kalau kalian mau ke sini ga papa, gue titip bakso atau apa terserah, gue laper”

Yaudah, ke sana aja__kita langsung ke sana_” Angga pun memutus sambungan tanpa menunggu balasan Brian.

Brian melirik pasien yang ada di sebrang Biya. Laki - laki yang Brian perkirakan seusianya itu.

Brian lebih baik menahan lapar dari pada meninggalkan Biya. Laki - laki itu terlalu ketara menatap Biya, tanpa takut dengan tatapannya.

“Brian_”

Brian menoleh, menatap Biya yang tampak pucat itu. Brian kembali di hinggapi rasa bersalah. Harusnya dia tidak memaksa Biya dan menunggu alasan gadis itu menolak.

“Apa yang sakit?” suara Brian terdengar dingin, Biya sontak menelan ludahnya yang terasa pahit.

“Eng-engga, cuma haus..” Biya mengerjap gugup, tatapan Brian begitu tajam, wajahnya mengeras dan suaranya dingin. Biya merinding.

Brian meraih gelas di nakas, membingkai sebelah pipi Biya. Brian tidak suka tatapan Biya mengarah pada pasien laki - laki itu.

“Aku di sini, jangan jelalatan!” Brian membantu Biya minum.

Biya menerimanya dengan sedikit bingung, kenapa dengan Brian? Biya benar - benar tidak paham.

“Makan sekarang?” Brian kembali menahan wajah Biya yang hendak mengedarkan pandangannya.“liat gue! Jangan ke tempat lain!” geramnya.

Biya kicep, Brian membuat Biya semakin sakit karena di buat bingung. Biya pun hanya menatap Brian yang juga menatapnya.

Cukup lama keduanya saling menyelami perasaan masing - masing.

Lo punya gue, Bayi.. gumam Brian di telan angin, tanpa bisa Biya tangkap terlebih dahulu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status