Share

Mandi Bersama?

Aku pergi ke dapur dan mendengar suara air mengalir. Memang biasanya letak dapur tidak jauh dari letak kamar mandi.

"Apa Mas Kamal lupa matiin keran?" pikirku.

Saat hendak membuka pintu kamar mandi, tiba-tiba Mawar yang keluar. Aku terkejut dan segera mengambil langkah mundur.

"Mbak! Mbak belum masak, ya?" tanyanya. Rambutnya masih bercucuran air.

"Aku ... baru pulang dari pasar," jawabku agak kaku.

"Mbak, aku laper," katanya sambil memegang perutnya yang terhalang handuk itu.

"Ka-kalau begitu aku masak dulu.” Aku masih terbata-bata. Rasanya agak sulit untuk berucap dengan orang yang baru kukenal.

"Iya deh, Mbak. Oh iya, Mbak punya baju gede, ga?" Mawar terlihat kedinginan.
"Baju?" ulangku.

"Iya Mbak. Aku ga bawa baju ganti soalnya. Lupa. Mas Kamal ngajaknya buru-buru," kata Mawar.

"Ya udah, tunggu di kamar aja! Aku cari dulu.” Aku merasa kasihan juga padanya.

Mawar pergi ke kamar. Begitu pun denganku, aku pergi ke kamar yang masih ada penghuninya di sana. Kulihat Mas Kamal sedang bermain ponsel di atas ranjang.

Tanpa menegur karena takut mengganggunya, kubuka lemari dan kuacak-acak semua isi di dalamnya.

"An, nyari apaan?" tanya suamiku yang sepertinya mulai terganggu dengan apa yang sedang aku lakukan.

"Ini Mas, Mawar mau pinjem baju katanya," jawabku.

"Oh, emang Mawar udah bangun?" Mas Kamal mendekatiku.

"Udah, Mas," sahutku seraya menganggukkan kepala.

"Kalu begitu, Mas nemuin dia dulu, ya?" Mas Kamal hendak pergi, namun segera kupegang tangannya.

"Eh?! Jangan dulu, Mas! Dia lagi pake handuk doang.” Kupegang tangan itu dengan erat.

Mas Kamal menatapku dengan tatapan aneh. "Oh, gitu. Ya udah, cepet kasih baju! Nanti dia keburu masuk angin," suruhnya penuh perhatian.

"Bantuin nyari dong, Mas!" pintaku. Aku mulai lelah, bosan.

Tanpa pikir panjang, Mas Kamal segera membantuku mencari pakaian yang agak besar.

Beberapa menit kami berkutat di sana, akhirnya aku pun menemukan pakaian yang kuanggap akan nyaman jika dipakai oleh seorang ibu hamil.

"Ini Mas, udah ketemu!" ucapku seraya mengangkat baju yang kumaksud.

"Ya udah, kasih aja!" titahnya.

Entah apa yang merasukiku hingga aku berbuat baik pada wanita yang awalnya sangat kubenci kedatangannya itu. Aku mengetuk pintu kamar Mawar.

"Mawar, buka!" teriakku.

Mawar pun membuka pintu dan aku pun masuk.

"Ini, bajunya," kataku sambil menyodorkan baju yang kubawa.

Mawar tersenyum. "Oh iya, Mbak. Makasih.”

"Iya.” Aku mengangguk dan mengambil langkah untuk keluar.

Mawar tiba-tiba bertanya, "Mas Kamal ke mana, Mbak?"

Sejenak aku berpikir, “Kenapa dia bertanya soal Mas Kamal? Huft! Aku cemburu.” Dengan sangat terpaksa aku pun menjawab, "Dia ... lagi di kamar.”

"Oh gitu.” Mulut Mawar membentuk huruf o.

"Kalau begitu aku ke dapur lagi, ya?" pamitku. Kuambil satu langkah dan aku pun tertegun saat melihat ada celana dalam pria di kamar Mawar.

Tanpa merasa jijik, segera saja kuambil. "Eh, ini milik Mas Kamal?" batinku.

"Mawar! Ini milik siapa?" Kutanyakan langsung.

"Mmm ... gatau, Mbak. Aku 'kan baru dateng kemarin," jawab Mawar. Ia kini duduk sambil menyisir rambutnya.

"Mmm ... tapi tadi pagi Mas Kamal masuk ke kamarmu, ga?" Aku langsung menghantamnya dengan pertanyaan buruk ini. Aku benar-benar tak mau kecolongan.

"Engga, Mbak." Mawar menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Bohong kamu?!" Aku curiga.

"Beneran, Mbak. Aku 'kan tadi abis dari WC," jawabnya dengan nada yang begitu datar.

Aku berpikir dan mengangguk-angguk. "Apa dari jemuran kemarin?"

Memang biasanya aku menyetrika di kamar yang ditempati Mawar karena setiap pakaian yang sudah dijemur kusimpan di kamar ini juga.

"Oh, mungkin ini ketinggalan, kemarin,” kataku tapi otakku masih saja berpikir yang bukan-bukan.

Mawar tertawa kecil. "Makanya Mbak, jangan sembarangan nyimpennya!"

"Iya. Hehe." Aku benar-benar malu dan keluar dari kamar Mawar. Kututup pintu kamarnya.

"Ah, dasar Anita bodoh!" gerutuku sambil berjalan ke dapur dan sebelumnya melempar celana dalam milik Mas Kamal ke dalam keranjang cucian yang ada di kamar mandi.

Setelahnya kubongkar semua isi keranjang belanjaanku. Kudidihkan air dan kumasukkan telur. Lalu kupanaskan wajan, kuberi minyak dan masuklah paha-paha ayam segar itu.

Kemudian kuiris bawang merah. Sebersit pertanyaan muncul di kepalaku. Dugaan aneh menyelimuti otakku. "Mas Kamal juga habis mandi. Apa mereka mandi bersama?"

Deg!

Jantungku tersentak. Mataku membulat. "Lalu ... apa benar celana dalam tadi memang tertinggal sejak kemarin?"

Aku mendecap kesal. "Ih, kenapa pikiranku jadi ngelantur? Engga mungkin Mas Kamal bermain curang padaku.”

Irisan bawang merah kusisihkan. Lalu kuiris bawang putih dan tomat sambil menunggu ayamku matang. Aku berniat untuk memasak ayam balado, tumis kentang dan semur telur.

Hampir dua jam aku berkutat di dapur. Memasak sebanyak itu memang membuatku lelah. Rasanya memasak kali ini sedikit menghamburkan waktu karena pikiranku berjalan-jalan entah ke mana. Ya, memikirkan Mas Kamal.

Setelah kurasa siap, aku pun menyajikan semua masakanku di meja makan. "Wah, kayanya aku udah kenyang duluan. Kelamaan masak, jadi malas makan.” Kuusap keringat yang bercucuran di kening ini.

Kemudian aku pun menggantung celemek pada paku yang menempel di tembok dapur dan pergi ke kamar menemui suamiku.

"Mas, udah siap tuh. Mau sarapan sekarang?" tanyaku pada suamiku yang masih bermain ponsel.

Mas Kamal menarik tanganku dan menuntunku agar duduk di pangkuannya. "Nanti aja, sekalian sama orang tua Mawar,” bisiknya.

Aku menggelinjang. "Geli, Mas!”

“Udah lama ya, kita ga bermesraan?” tanya Mas Kamal. Ia memelukku.

Aku mengangguk. “Iya. Mas Kamal sih ... dua bulan di Jakarta, dua bulan lalu di Bengkulu. Kaya yang punya istri simpenan aja.”

“Jangan bilang gitu! Ucapan itu doa, loh!” katanya.

“Ya, istri mana coba yang mau dimadu? Mmm ... ada sih, istri yang mau dimadu, ya ... kalau suaminya mau diracun. Hahaha.” Aku tertawa terbahak-bahak.

“Ih, ada-ada aja,” ucapnya seakan tak mau membahas lebih jauh.

“Mmm ... memangnya orang tua Mawar mau datang jam berapa?" tanyaku.

Tok! Tok! Tok!

Terdengar suara pintu diketuk. "Nah, itu kayanya mereka,” kata Mas Kamal.

"Beneran, Mas?" Aku segera beranjak dari pangkuannya dan Mas Kamal pun melepaskan rangkulannya.

"Coba kita lihat!" ajak suamiku. Ia berjalan terlebih dahulu.

"Rambutku udah rapi? Lihat! Di wajahku ga ada bumbu yang nempel, Mas?" tanyaku sambil mengekor di belakangnya.

"Ga ada. Lagian ngapain juga kamu yang sibuk?" Mas Kamal tertawa kecil. Ia mencubit pipiku, gemas.

"Hehe. Malu aja, Mas." Aku cengengesan.

Sampai di depan, Mas Kamal pun membuka pintu dan nampaklah dua orang paruh baya di sana. “Sepertinya benar ini orang tua Mawar. Mereka cepet banget datangnya!” pikirku.

“Eh, Pak Yanto?” sebut suamiku seolah berpura-pura terkejut.

"Kamal? Ini rumahmu?" tanya Bapak Mawar yang Mas Kamal sebut dengan nama Pak Yanto itu.

"Iya, Pak!" jawab Mas Kamal. Ia meraih tangan kedua orang tua itu dan mengecup punggung tangannya. Begitu pun denganku, kulakukan hal yang sama sebagai tanda hormat.

"Masuk, Pak, Bu!" Aku tersenyum sambil mempersilahkan mereka masuk. Lalu kuambil air dari dapur dan kuletakkan di meja.

"Jadi ... dia istrimu?" tanya Bapak Mawar. Mas Kamal menatapku tajam.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status