Share

Arda Eatery

Jalanan depan sekolah tidak terlalu sepi, juga tidak terlalu ramai. Biasa-biasa saja. Di siang jam kerja ini siapa yang mau keluar jalan-jalan kecuali memang itu profesi mereka. Kalau profesi di bagian dalam ruangan, seperti pegawai kantor mau apa keluar jika tidak ada keperluan. Parkiran motor siswa siswi yang biasanya dititipkan di rumah orang yang berada di dekat sekolahan sudah sepi. Sekolah tidak menyediakan parkiran motor. Karena memang seharusnya anak seusia kami belum boleh mengendarai sepeda motor, selain tidak memiliki SIM, usia kami masih di bawah umur untuk diperbolehkan naik sepeda motor, ikut berlalu lalang di jalan raya yang ramai kendaraan lain. Namun, mau bagaimana lagi, tidak semua anak menurut dan patuh. Malah kebanyakan dari anak-anak itu membangkang, tetap keras kepala meminta untuk naik motor sendiri ke sekolah. Mirisnya lagi, jika ada anak yang sampai mogok sekolah hanya karena tidak dibelikan motor sesuai keinginannya—biasanya mereka mengikuti teman. Tentu kejadian seperti itu pernah terjadi di setiap sekolah, barang hanya satu dua anak. Namun, bukankah kasihan terhadap orang tua, apa lagi jika orang tua itu kurang mampu. Dan, mental anak akan menjadi seperti itu ‘mengancam’ pada hal-hal lain. Dia hanya akan mau melakukan sesuatu jika permintaannya terkabul. 

 Toko foto copy di sebelah parkiran motor—yang biasanya anak sekolahan juga berlangganan di situ untuk membeli alat-alat tulis, guru-guru juga sering mampir untuk foto copy soal tugas. Toko foto copy itu jam siang begini sepi, hanya ada dua anak yang datang entah memesan apa. 

 “Lin? Mau bareng saja nggak?” April menanyaiku. Mobil jemputannya baru saja sampai di depan kami.

 “Kayaknya nggak usah, deh. Mama juga bakalan sampai sepuluh menit lagi mungkin,” jawabku, menggelengkan kepala pelan, tersenyum agar tidak kelihatan seolah aku sedang kesal. 

 “Serius, nih?” April masih tidak yakin, berdiri di dekat mobil, tangannya memegangi pintu mobil yang sudah dibuka. Laura berdiri di sampingnya. 

 Aku balas mengangguk, tersenyum lebar hingga tarikan bibir terasa sakit demi menyakinkan April. 

 “Tapi besok kamu masuk, kan?” April belum habis dengan wawancaranya. Bukannya Laura yang sedang memiliki masalah, kenapa jadi aku yang terkena sidang interogasinya. 

 “Ya sudah, deh. Aku duluan, ya, Lin.” April masuk ke dalam mobil.

 “Duluan, ya, Kak Olin.” Laura menoleh sekilas padaku, tersenyum, lalu mengikuti April masuk. 

 Laura sebenarnya juga antar jemput mobil pribadi. Tetapi karena harus menginap di rumah April, jadi sekalian saja dia ikut mobil April. 

 “Hatu-hati, ya, kalian.” Aku berseru ketika April membuka kaca mobil. 

 “Kamu juga hati-hati. Awas kalau diculik mas-mas SMA sebelah.” April memulai candaannya. 

 “Dih, apaan, sih.” Aku berseru sebal. 

 “Mas-mas mana yang bakal mau sama aku,” ketusku. 

 Di jalanan sebelah, setelah melewati lampu merah juga pertigaan dengan jam besar di tengah jalan. Ada satu SMA yang termasuk dalam sepuluh besar urutan SMA paling terfavorite di kota. Kalau dalam hitungan terfavorite di daerahnya, mungkin bisa masuk lima besar. 

 “Bakalan ada suatu hari nanti. Jangan pesimis dulu.” April sok memberi ceramah denganku. Aku mengabaikannya saja, bukan karena tidak setuju dengan ucapan April. Tapi karena masalahnya, April itu juga jomblo, tidak punya pasangan. Sama sepertiku sekarang. 

 “Bye, Olin.” 

 April melambaikan tangan singkat, menutup kembali kaca mobil, menyuruh sopirnya untuk menjalankan mobil. Aku menghela nafas pelan, menatap mobil yang ditumpangi April hingga hingga di kelokan jalan sana. 

 ***

 Setelah kepergian April dan Laura, tinggal aku sendiri yang berdiri di depan sekolah, menunggu jemputan mama. Sepuluh menit, dari pada kakiku kram berdiri di tengah jalan seperti anak yang hilang. Aku memutuskan mencari bangku duduk yang disediakan di trotoar. Sampai akhirnya mama datang dengan sepeda motornya. 

 “Nunggu lama?” Kalimat tanya sambutan mama ketika tiba menjemputku di sekolah. 

 “Cuma sekitar sepuluh menit saja, kok, Ma,” jawabku, memasangkan helm ke kepala, lalu naik ke jok motor, duduk di belakang Mama. 

 Mama tidak merespon apa-apa lagi, menarik setir gas, motor melaju membawa aku dan Mama pulang. Sudah hampir selama tiga tahun aku diantar jemput seperti ini oleh Mama sendiri. Ia tidak pernah membolehkanku menaiki kendaraan bermotor sendirian di jalan raya, bahkan selalu memperingati untuk hal itu. Aku menurut saja, dari pada membantah lalu berdebat. Aku bukan tipe anak yang suka sekali berdebat. Maka dari itu, aku bahkan terkejut dan ingin menolak ikut atas apa pun rencana, maksud, dan tujuan April untuk esok atau lusa nanti. Apa lagi ikut campur masalah orang. Aduh, aku tidak bisa membayangkan bagaimana nantinya. Tapi, mau tidak ikut pun rasanya tidak adil bagi Laura, karena aku termasuk salah satu sanksi yang sudah pernah menjadi tempat Laura sharing cerita. 

 Dua puluh menit perjalanan. Tiba lah aku dan Mama di sebuah rumah makan. Iya, kami mampir dulu ke rumah makan yang tidak jauh dari pusat kota. Rumah makan bernama Arda Eatery ini adalah rumah makan milik Mamaku sendiri. Rumah makan yang didirikan Mama ini sudah lama, semenjak aku kecil rumah makan itu malah sudah ada. Berumur lebih tua dariku, lalu apa aku akan memanggilnya sebagai kakak? Tentu tidak. Aku hanya bercanda. Meski memang ternyata jokesku sama recehnya dengan April, bahkan aku lebih receh dari sekedar receh lagi. 

 “Kapan pengambilan raportnya?” Mama bertanya ketikaaku turun dari atas motor, membuka helm pelindung kepala. 

 “Mungkin lusa, Ma. Surat pengambilannya akan dikasih besok,” jawabku, meletakkan helm ke spion motor.

 Mama mengangguk, menstandarkan motor, turun dari atas jok motor, membuka helm sama sepertiku. Kami berdua masuk ke rumah makan. Interior yang sederhan, lampu gantung di tengah-tengah ruangan rumah makan, meja kayu kotak, kursi bundar yang sama memuat dua sampai enam orang. Ada kursi panjang dengan meja lonjong untuk acara makan keluarga atau rombongan yang berkelompok lebih dari enam orang

 “Dek Olin.” Salah seorang pegawai di rumah makan Mama menyapaku.

 “Hai, Kak Lela,” sapaku balik mendekati meja pemesanan.

 Kak Lela itu salah satu pegawai Mama di rumah makan ini yang paling dekat denganku, bagian pelayanan yang menghantarkan makanan ke meja pelanggan. Anaknya menyenangkan, sih, kalau bicara denganku bisa nyambung dengan pembicaraan topik itu. Bagaimana, ya, menjelaskannya, mungkin nyambung saja karena aku tidak ada teman ngobrol lagi kalau di rumah makan. Atau karena Kak Lela yang menggantikan posisi kakak bagiku di rumah makan ini

 “Baru pulang?” tanya Kak Lela.

 “Iya, Kak. Classmet terakhir hari ini,” jawabku, duduk di belakang meja pemesanan dengan Kak Lela dan Kak Mary sebagai kasir dan pemesanan utama rumah makan.  .  .  

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status