Share

Exit
Exit
Penulis: Aksara Raya

Classmeet Terakhir

November pada bulan di mana aku menduduki kelas 3 SMP.

          Namaku Olin Arda Efrosin. Bisa dipanggil Olin, Arda, atau bahkan biasanya orang rumah menyebutku dengan panggilan sinchan. Padahal aku tidak memiliki alis hitam setebal ulat bulu seperti milik karakter kartun sinchan itu. Mungkin karena tubuh pendek dan sangat menyukai warna merah, orang rumah menyamakan aku dengan karakter film kartun sinchan. Tidak apa lah, setidaknya mereka tidak menyebutku dengan sesuatu yang lebih buruk dan menyakitkan dari pada itu.

Umurku baru saja menginjak lima belas tahun tiga bulan lalu. Tentu saja aku sedang tidak memiliki pacar. Tahun depan ujian untuk mengakhiri masa SMP akan diadakan serentak. Tidak ada waktu senggang untuk membahas perihal pacaran sekarang ini. Meskipun aku bukan anak yang genius, yang selalu mendapat ranking nomor satu, bukan juga ambisius, yang akan berusaha sepenuh jiwa meraih juara satu seantero sekolah, belajar pagi siang sore malam tanpa kenal lelah. Setidaknya aku menjunjung tinggi harga diri untuk tidak merosot di peringkat sepuluh besar dari belakang. Sangat memalukan.

Semester satu kelas 3 SMP sudah berjalan sekitar empat bulan lamanya. Rasanya terlalu cepat untuk keluar sekolah lama, lalu masuk sekolah baru, bertemu manusia baru dengan beragam karakter, berkenalan satu persatu, mengadaptasi diri, berbaur berteman seperti pada umunya.

“Olin.” Seseorang meneriaki namaku, aku berhenti dari langkah kaki yang ingin segera masuk ke dalam kelas, menoleh kanan kiri melihat siapa yang barusan memanggil.

“Heii.”

Entah datang darimana. Seseorang itu sekarang sudah berada di sisi kanan ku, berdiri menatap tanpa dosa. Padahal baru saja sedetik lalu aku menoleh ke sisi kanan dan tidak ada apa-apa. Lalu seketika persis menoleh lagi ke kanan sosok itu muncul di depan mata ku, berjarak tidak ada satu jengkal, sambil menepuk pundakku. Bukan main aku terjengkal ke belakang, terkejut, mengusap-ngusap dada. Jantung satu-satunya ini hampir saja lepas karena sosok itu.

“Punya dendam kesumat apa, sih, kamu ke aku, Pril?” tanyaku kelewat kesal.

Namanya April Agustine. Aku tidak tahu kenapa ada imbuhan ‘Agustine’ di belakang namanya. Sedangkan anak itu lahir di bulan April, bukan Agustus. Aku saja yang lahir pada bulan Agustus tidak menambahkan embel-embel bulan itu. Dia malah mencuri nama bulan lahirku yang terpaut jauh dari bulan lahirnya. Seperti namanya, orangnya juga aneh dan tidak nyambung. April ini teman pertamaku di bangku SMP. Selama tiga tahun kita barengan, meski ketika kelas 2 tidak sekelas, namun akhirnya Tuhan menjodohkan kita bertemu lagi di kelas 3 yang sama.

          “Sebentar lagi gue tampil. Lihat dulu, kek.” April tidak memperdulikan kesalku, ia malah asyik mengenggam lenganku, bersikap sok imut dan kasihaniable—orang yang perlu atau lebih cocok dikasihani.

          Hari ini adalah akhir dari classmeet yang diadakan setiap selesai mengikuti ujian semester. Hari akhir biasanya ditutup dengan pentas seni dancer, penari, menyanyi, dan drama teater. April ikut ke dalam salah satu peserta acara kali ini. Tebak saja ia akan menampilkan apa. Dan beri tepuk kaki jika show-nya tidak begitu baik. Aku bercanda, April jago di bidang ini. Percayalah, atau tidak karena percaya itu hanya ke Tuhan saja tentunya. Kamu tahu sendiri bukan bahwa kalau percaya ke manusia hasil akhir yang didapat pasti banyak kecewanya. Terlalu berharap, terlalu bergantung. Begitulah kurasa.

          “Iya, baiklah. Aku akan lihat kamu disoraki sama seluruh penonton juga juri,” gurauku tertawa seolah meledek. Masih kesal karena rasa kaget tadi menciptakan degub jantung berdebar, sudah seperti ketika crush atau doi mengirim pesan berkabar akan jumpa mengungkap rasa.

          “Aduh, sakit.” April baru saja mencubit pelan lenganku, aku tertawa demi melihat raut muka April yang cemberut, terlipat jadi beberapa bagian, keningnya ikut mengekerut, bibirnya dimajukan dua senti.

          “Kamu, tuh, ya, Olin.”

          “Maskudnya tuh, sorak sorai karena tampilanmu memukau pasang mata, Pril.” Aku berhenti tertawa, berhasil membuat April kesal sekali saja sudah cukup menyenangkan bagiku.

          “Makanya kalau orang bicara tuh didengerin dulu. Ayo!” tambahku, mengenggam tangan April, membawa selebriti papan atas yang akan tampil di panggung besar. Kulihat April tersenyum kembali.

          Kami turun dari lantai dua sekolah, berpapasan dengan teman-teman lain yang menikmati acara. Ada yang bergerombol memenuhi lorong, sebagian berdiri di pembatas lorong, beberapa lagi berseliweran, lalu lalang tidak bisa diam mencari entah apa. Kami saling balas sapa dan menyapa. Panggung berada di lapangan tengah sekolahan, lapangan yang biasanya untuk upara hari senin, juga merangkap lapangan basket, futsal, dan voli. Lapangan sekolahan kami memang cukup luas meski aku tidak tahu berapa ukuran tepatnya.

          Setibanya kami di lapangan, berdiri di samping panggung yang berhiaskan balon, tali warna-warni seperti beludru atau bukan-itu adalah plastik kaku berwarna. Background panggung ramai oleh hiasan, banner besar terpampang di belakang. Kemeriahan ini hampir mengalahkan acara ulang tahun sekolah.

          “Baiklah. Untuk peserta selanjutnya, kita panggilkan April Agustine dari kelas 9A.” Suara MC di atas panggung langsung disambut tepuk tangan oleh penonton.

          April menatapku dengan sorotan mata binar. Aku memberi tepukan pelan di pundaknya, menarik lengkung bibir, mengangguk mantap, bergumam “Kamu selalu bisa, April.”

          April berjalan menuju panggung, menaiki tangga mini. Untuk tampil kali ini, April menggenakan style fashion yang sudah seperti penyanyi andalan bangsa. Baju putih polkadot dengan bahu sebelah kiri bertingkat, ikat tali yang sama melingkar rapi di pinggang April, senada dengan warna celana kain putih yang membalut lengkuk kaki April. Ditambah dengan sepatu hak tahu standart berwarna hitam. Rambut panjang kecokelatan gadis itu dikuncir satu ke belakang, menyisakan poni berbelah panjang di depan. Sangat memukau para penonton dengan style-nya.

          MC perempuan dari pihak anak OSIS yang masih berdiri di sana memberi satu buah mikrofon untuk April, mengangguk lalu melangkah mundur ke tempatnya menunggu. April menatap kerumunan di depannya, penonton setianya sejak tiga tahun terakhir tampil, pasti gadis itu sedang mengumpulkan keberanian, menghalau gugup. Sebentar lagi akan menatap ke arahku. Benar saja, tidak ada lima detik April menatapku, aku yang paham April akan tetap grogi meski sudah berkali-kali tampil memberi senyum paling lebar, mengacungkan jempol. Persis ketika itu juri bersuara mempersilahkan. April kembali menatap ke depan, mengangguk, membungkuk memberi hormat.

          Aku tetap berdiri menunggu di samping panggung, menyaksikan temanku itu tampil membawakan sebuah lagu dari Raisa yang berjudul kali kedua. Aku akui, suara April enak didengar, nada-nadanya pas tanpa meleset. Bahkan mampu menghipnotis para juri juga seluruh penonton untuk ikut bernyanyi bersamanya. Juri juga menatap terpukau, penonton bagian depan melambaikan tangan seolah ini memang konser. Hanyut bersama lirik-lirik pada lagu yang dinyanyikan April.

Thanks for reading.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status