Share

Siswi Perempuan

Kurang dari lima menit peforma April selesai. Benar saja bukan kataku, bahwa April akan mendapat sorak sorai dari seluruh penonton, bahkan juri pun ikut berdiri. Tepuk tangan meriah bergema di lapangan. Teman-teman lain di lantai atas juga tidak ketinggalan show menakjubkan tadi, ikut bersorak, beberapa membawa balon yang digunakan untuk tepukan, menambah gebyar semarak.

          April tersenyum lebar di sana, membungkuk-bungkuk, berucap terima kasih berulang kali. Hingga pembawa acara maju ke depan, memberi ucapan selamat pada April, lalu April menyerahkan mikrofon pada pembawa acara itu, berjalan menuruni tangga mini panggung.

          “Oliiinnnn.” April berteriak, berjalan ke arahku dengan wajah sumringahnya.

          Belum sempat aku membuka suara memberi selamat. April sudah dulu memeluk tubuhku erat hampir susah bernafas, aku yang tidak punya tenaga besar membalas pelukan dengan menahan nafas.

          “Aku berhasil lagi. Terima kasih, ya.” April melepaskan pelukan, membuatku merasa lega bisa bernafas lancar.

          “Kan, apa aku bilang,” ujarku masih mengambil oksigen sebanyak-banyaknya.

“Iyaaa.” Untuk sekali lagi tanpa aku ketahui geraknya. April memelukku erat, lebih erat dari sebelumnya. Beruntungnya juga tidak lebih lama dari pada sebelumnya.

“Kantin. Aku yang traktir.” April sudah memegang lenganku, menatapku, menawari untuk pergi ke kantin.

“Ya sudah. Gas kalau ditraktir,” kataku tertawa kecil.

April ikut tertawa. Kami berjalan berdampingan menuju kantin dengan tangan April yang masih mengenggam lenganku.

***                                                                    

          Sesampainya di kantin, April melepas pegangan tangan, bergumam pelan padaku untuk menunggu di bangku. Aku mengangguk, mengikuti saja, lagi pula aku sedang ditraktir, tidak akan mengeluarkan uang sepeser pun. Itung-itung aku menghemat penggeluaran minggu ini, memanfaatkan kebaikan April hari ini.

          Sekolah ini memiliki satu ruang kantin dengan tiap ruang ada tiga stand makanan di setiap lantainya. Karena aku dan April berada di lapangan, langsung saja kita menuju kantin yang berada di lantai bawah. Kantin ramai diisi anak-anak yang tidak terlalu tertarik dengan acara classmeet begini. Mereka lebih senang nongkrong di kantin, mengobrol apa saja sambil menikmati makanan yang dipesan. Dominan dari mereka semua adalah siswa laki-laki yang bodoa matan. Dua menit kemudian April menghampiriku yang menunggu di bangku sendirian.

          “Kamu pesan apa?” tanyaku.

          “Mie instan pakai telur,” jawab April, matanya memandangi arah lain, seperti mencari sesuatu.

          “Nyari siapa?”

          “Anak-anak lain,” lirih April menatapku.

          Aku paham maksudnya. April mewaspadai teman-teman lain akan tiba-tiba datang dan ikut meminta jatah traktir.

          “Aku lagi nggak bawa uang banyak. Papa pergi pagi-pagi banget tadi,” terang April, menjelaskan alasan dia hanya bisa mentraktirku, tidak lagi ingin mentraktir seluruh anak sekelas.

          Aku manggut-manggut sudah paham. Pesanan datang ke meja kami dibawakan oleh ibu kantin.

          “Tadi es tea jusnya dua, ya?” Ibu kantin itu bertanya menatap April, memastikan pesanan.

          “Iya, benar, Bu,” jawab April. Aku hanya memandangi mereka bergantian.

Lantas Ibu kantin itu berjalan masuk stand, tidak lama kembali ke meja kami membawakan pesanan es. April dan aku serempak berucap terima kasih, mengangguk. Dua mie instan pakai telur rebus matang dan dua gelas es tea jus. Dalam hati aku menebak kalau tea jus yang dipesan April adalah tea jus rasa lemon.

“Lin.” April membuka suara, berusaha memotong mie yang panjang di dalam mangkok dengan sendoknya.

“Apa?” Aku merespon panggilan, sebelum akhirnya memasukkan satu suap mie ke dalam mulut, menatap April, menunggu kalimat selanjutnya.

“Kamu ada rencana akan masuk sekolah mana lulus nanti?” Satu pertanyaan klise dari April, ia masih keukeh memotong mie dengan sendok.

“Belum tahu, sih.”

“Kalau kamu bagaimana?” Aku menjawab sekaligus memberi melempar pertanyaan yang sama.

“Papah menyuruhku masuk SMA pilihannya. Yang paling terbaik dari yang terbaik, katanya.” April membanting pelan sendok ke dalam mangkok, mendesah kesal, mengambil garpu dari tempatnya.

Aku hanya bisa menatap heran sekaligus kasihan. Heran kenapa tiba-tiba April melempar sendok, seperti sedang meluapkan kekesalnnya, kasihan karena mengapa tidak sedari tadi ia menggunakan garpu, malah lebih memilih untuk keukeh memotong mie dengan satu sendok yang dimana pasti melelahkan tangan.

“Wah. Pilihan yang bagus dong.” Aku memuji pilihan Papahnya April, beliau memang selalu memberikan yang terbaik untuk April.

“Bagus apanya. Kalau aku tidak nyaman dan suka. Tetap saja kesannya nggak bagus.” April menggerutu, ia baru bisa mengunyah mie sambil cemberut.

“Memangnya kamu sudah ada pilihan sendiri?” tanyaku ingin tahu.

“Belum juga sih.” April menatapku sejenak lalu kembali sibuk dengan garpu baru dan mangkok mienya.

Kantin lama-kelamaan ramai didatangi penghuni sekolah lainnya, mungkin karena acara show di lapangan sedang dijeda, jadi anak-anak yang kelaparan memutuskan menunggu membeli camilan di kantin, mengisi lambung yang mengembung bosan. Pasangan muda yang jalan berdua, duduk berdekatan, saling bercanda gurau merupakan hal familiar yang akan kita dapat lihat dalam kegiatan classmeet. Mereka sangat pandai memanfaatkan hari bebas selama sekitar empat hari ini untuk mendekap rindu, mencairkan hati yang beku, memeluk perih yang mengringkih. Hei, hanya duduk berdua, memberi canda tawa, berbagi banyak hal, bukankah sudah cukup membawa euphoria dalam jiwa.

“Gimana?” April menatapku, mengangkat dagu. Aku menatapnya balik dengan kening berkerut, tidak paham. Gadis itu suka sekali menjeda bicaranya, membuat lawan bicaranya terlihat bodoh atau menatap tidak mengerti.

“Gimana rasa tea jusnya? Segar nggak?”

Aku ber-oh pelan. Ternyata April menanyakan minuman kesukaannya yang sedang ku pegang, belum sempat ku minum. Mie instan di mangkokku sudah habis sejak jawaban April tentang sekolah baru.

“Belum juga masuk ke mulut, Pril,” kesalku.

April nyengir. Bodohnya aku juga ikut terkekeh pelan. Ketika gelas es tea jus itu hampir menyentuh bibirku, seorang anak menabrak bangku meja makan kami lalu tak sengaja badannya menyenggol lenganku. Alhasil, jatah minuman segelas tea jusku itu tumpah mengenai seragam olahragaku, gelas plastiknya jatuh ke lantai. Untung saja gelasnya bukan gelas kaca, jadi tidak menimbulkan pecahan yang bisa saja harus bayar ganti rugi nantinya.

“Maaf, Kak. Maaf.” Seorang siswi perempuan yang menabrakku tadi berucap meminta maaf berulang-ulang, tangan kananya kirinya mengambil gelas yang jatuh, sedangkan tangan kananya sibuk mengusap bagian mata dan pipi.

April memberikan gelas minumnya padaku yang berusaha membersihkan seragam dari basah manis air es tea jus tadi, tatapannya seperti mengatakan ‘minum saja punyaku.’

“Kamu kenapa?” Bukannya menanyaiku, April malah mendekati siswi perempuan tadi.

“Eh, nggak kenapa-kenapa, kok, Kak. Maaf, ya, Kak,” ucap siswi perempuan itu dengan menundukkan pandangan, punggungnya bergetar.

“Kamu jangan bohong. Kamu kenapa?” April masih kurang puas dengan jawaban anak itu, bertanya menyelidiki, berusaha mengintip wajah siswi perempuan yang sudah membuat seragamku basah dan manis rasanya.

Thanks for reading.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status