Share

Ide April

Beberapa pengunjung kantin menonton keributan kecil yang dibuat siswi perempuan itu denganku dan April. Ibu kantin yang tadi membawakan pesanan kami juga diam melihat dari dalam standnya. Sudah tiga kali April bertanya, tiga kali juga siswi perempuan itu tidak menjawab dengan benar, hanya meminta maaf, dan keinginin untuk pergi tapi tangan kiri April sudah mengenggam tangan kanan siswi perempuan itu, menahan siswi itu untuk kabur entah apa yang ada di kepala April. Aku benar-benar tidak tahu.

“Ayo!” Mendadak April menyeret tangan kananku dengan tangan kanannya, juga mengajak siswi perempuan itu ikut dengan kami.

“Bu, bayarnya nanti sebelum pulang, ya,” teriak April pada ibu kantin yang diam di dalam stand.

April tidak menunggui jawaban dari ibu kantin. Ia segera menarik aku dan siswi perempuan itu ke luar kantin, entah mau kemana aku masih belum tahu apa yang sebenarnya ada di dalam pikiran April. Pendatang kantin yang berdiri diam menonton di samping pintu ke luar, sorot matanya mengikuti setiap langkah kami bertiga. Yang baru masuk menatap heran, ikutan berdiri di tempat, saling tanya bisik-bisik. Aku benar-benar hampir hilang kesadaran, jantung berdebar karena mendadak jadi pusat perhatian. Bagi April ini tidak masalah, anak itu sering sekali naik panggung, menerima tatapan beribu pasang mata dari penonton. Tidak masalah baginya jika mendadak jadi pusat perhatian. Namun tidak untukku yang tidak pernah naik panggung, tidak pernah menjadi pusat tatapan, serta demam panggung juga. Sama denganku, siswi perempuan di sebelah kiri April itu masih saja menunduk, rambut berantakannya yang tanpa dikuncir menutupi wajahnya, anak rambut di dahinya basah karena cairan keringat. Kalau tidak salah lihat juga, pipinya juga ikutan basah. Apa mungkin keringatnya mengalir hingga ke pipi?

Sebelum benar-benar ke luar dari ruangan kantin, saat di ambang pintu. Aku sempat menoleh ke belakang, menatap sekilas meja yang beberapa menit tadi aku dan April duduki menikmati semangkuk mie instan pakai telur matang, membicarakan tentang sekolah baru, April yang tiba-tiba kerasukan membanting sendoknya ke dalam mangkok. Eh, tapi mataku tidak sengaja juga menangkap segerombolan anak laki-laki datang dari arah samping pintu kantin yang di mana ialah belakang area sekolah. Gerombalan anak laki-laki itu sekitar empat sampai enam orang, berhenti tepat di bangku yang tadi aku dan April duduki. Satu diantaranya melihat ke arah aku, April, dan siswi perempuan itu ke luar dari kantin. Selanjutnya aku tidak tahu apa tragedi yang terjadi di kantin detik berikutnya. Siapa gerombolan anak tadi? Sepertinya mencari sesuatu? Bagaimana raut muka penonton yang sejak kejadian melototi aku dan April, juga siswi perempuan itu? Pasti sedang berbisik-bisik, anak-anak lain yang baru datang juga akan saling bertanya, jadilah sebuah scenario yang dibuat dari mulut ke mulut. Sebenarnya siapa sih yang mengikuti siapa? Aku dan April yang terjebak atau siswi perempuan itu yang mencari masalah?  Hei, aku baru ingat bahkan kalau aku belum sempat meminum tea jus yang April berikan. Lupakan lah, pasti kalau nanti kembali juga sudah tidak dingin lagi, bisa jadi juga sudah dibuang. Belum lagi tumpahan es tea jus milikku tadi, pasti membuat pekerjaan baru untuk ibu kantin.

***                                                                                    

          Ternyata hal yang tidak pernah ada di pikiranku namun tindakan yang harus kuambil adalah pergi ke toilet. April membawaku dan siswi perempuan itu ke toilet. Ia memperintahkanku untuk mengunci pintu toilet, lalu menyuruhku agar segera membersihkan bekas tea jus, aku yang kikuk hanya berlagak membersihkan saja. Karena juga sepertinya sudah mulai mongering, noda bekasnya tidak terlalu kelihatan, hanya samar-samar saja.

          “Lin, kamu jaga pintu depan, ya.” April memerintahkan aku lagi. Sebenarnya aku kesal diperintah tanpa tahu alasannya, tapi mengingat April sebaik itu, juga aku tidak tahu harus melakukan apa-apa, memutuskan menurut saja.

          Selesai berlagak membersihkan kain bawah seragam olahraga yang terkena tumpahan tea jus di wastafel toilet. Aku beranjak mendekati pintu, menyender di daunnya, menatap April, menunggu apa yang sebenarnya yang akan gadis itu lakukan. Asli aku tidak pernah bisa masuk ke akalnya, yang dilakukan April tanpa rencana dan tidak memberi aba-aba dahulu. Susah ditebak.

“Kamu tidak bisa menyembunyikannya dariku. Kamu kenapa?  Bilang saja, tidak apa-apa.” April bertanya tenang ke siswi perempuan itu, kepalanya masih menduduk meski bibirnya yang menekuk terlihat jelas dari posisiku berdiri. Aku sempat berpikir, apa dia tidak merasakan pegal di lehernya? Menduduk selama beberapa menit? Aku bergirik ngeri, menengadahkan kepala karena rasa pegal menjalar karena aku memikirkan itu.

“Oke kamu butuh waktu. Kamu tenangin diri dulu di dalam, basuh air matamu itu.”

“Nih, rapiin juga rambut cantikmu.” April mengambil sebuah ikat rambut dari saku celana kain putihnya, memberikannya pada siswi perempun di depannya. Aku baru menyadari bahwa April sempat-sempatnya menyimpan sebuah ikat rambut juga di saku celananya.

Siswi perempuan itu meraih pelan ikat rambut dari tangan April, berucap terima kasih dengan lirih, masuk ke dalam bilik kamar mandi. April lalu menatapku, aku balas menanggapi tatapan dengan mengangkat dagu, alis menyatu, kalau diartikan seperti ‘Ada apa sih? Kenapa?’. Lagi-lagi bukannya menanggapi dengan jawaban yang memuaskan pertanyaan, April malah mengangkat bahu, raut mukanya berubah seolah tidak perduli, membuatku gemas dengan tingkahnya yang diam-diam membrutalkan massa, membuat orang bertanya-tanya.

“Ada apa, sih, heh?” Aku langsung menyerbu April, beranjak dari posisi membosankan menunggui pintu, benda mati yang jelas-jelas tidak akan bisa lari kemana-kemana, memang anak itu sepertinya punya dendam kesumat padaku. Selain mengagetkan juga menyebalkan dengan memerintah yang tidak-tidak. Apa maksudnya menunggui pintu hei?

“Kamu lihat saja nanti ada apa,” ucap April tenang, menatap seakan menembus mataku.

“Emang nggak bisa kamu ceritain sekarang, ya?” tanyaku yang terlalu gregetan, tidak sabar, kelewat kesal.

“Lebih seru kalau kamu nonton film sendiri dari pada lewat cerita orang, kan? Lebih kerasa saja gitu.” April benar-benar memang. Membrutalkan massa, membuat lawan bicaranya bertanya-tanya tapi ia tidak ingin menyuarakan apa-apa. Eh, tapi yang dibilang April ada benarnya juga. Lebih enak menonton film sendiri secara langsung dari pada mendapat spoiler dari mulut orang. Bisa-bisa merusak feel yang ada di dalam film itu sendiri.

“Baru kalau ada yang nggak dipahami kamu boleh nanya,” tambah April yang sepertinya mengasihani ekpresi wajahku yang kebingunan, bengong, plonga-plongo seperti manusia paling bego yang sedang berhadapan dengan orang sejuta akal seperti April.

Siswi perempuan itu masih ada di dalam bilik toilet. Aku ingin membuka suara, membalas segala omongan April dengan pendapatku yang meski buruk tapi berusaha untuk membuat April membuka suara. Namun belum juga membuka mulut, pintu toilet depan didobrak dari luar.



Thanks for reading.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status