Share

Laura Bercerita

Suara pukulan yang dihantamkan ke pintu terdengar berulang-ulang, menyiksa gendang telinga. Jelas juga membuatku terlonjak kaget, refleks memegang tangan April karena ketakutan. April berdecak sebal, menghela napas.

“Kan tadi aku suruh kamu jaga pintu, Oliiin.” April menoleh kepadaku, berbisik, menekankan setiap katanya, menahan kesal.

“Ya, aku pikir benda mati nggak bakal bisa lari kemana-kemana,” balasku asal-asalan, suaraku gemetar.

April memutar bola mata, melepaskan pegangan tanganku, aku hanya diam mematung kaku.

“Ya sudah. Kamu masuk bareng anak tadi ke dalam saja. Sepertinya nggak dikunci sama dia. Jangan berisik dan berusaha tenang, ya.” Lagi-lagi April memberi titah yang akhirnya membuatku mematuhinya. Duh kalau bukan karena salahku lagi aku tidak akan mau masuk ke dalam bilik toilet bareng siswi itu. Mending saja aku ke luar, tapi lagi-lagi nyaliku tidak sebesar April untuk menghadapi seseorang yang menggedor pintu.

“Jangan nakut-nakutin. Kalau bisa tenangin anak itu.” Seperti bisa membaca pikiranku April memberi peringatan, mengacungkan jempol.

Aku balas mengangguk, memutar kenop pintu, mencoba membuka pintu bilik yang dipakai siswi itu, dan benar dugaan April, pintu itu tidak terkunci. Sebelum masuk, aku menoleh sekilas ke belakang, dimana April yang sudah berjalan menuju pintu toilet.

***

Dari dalam bilik aku tidak bisa mendengar jelas apa yang sedang terjadi di luar sana. Hanya yang pasti, lawan bicara April adalah sosok laki-laki. Aku sama sekali tidak bisa berpikir jernih, untuk menerka-nerka siapa sekiranya yang sedang berbincang dengan April di luar. Mungkin pegawai kebersihan sekolah, karena tadi aku dan April membuat lantai kotor dengan air tea jus yang manis juga lengket. Mungkin juga juri laki-laki yang tadi memberikan tepuk tangan paling meriah untuk April, menyuarakan pujian berderet-deret kalimat, berniat membawa April menuju audisi ternama paling bergengsi. Mungkin juga teman kelas kami yang mengetahui bahwa tadi April mentraktirku saja, tanpa mengajak mereka semua ke kantin. Apa kalian bisa menebaknya? Siapa sosok laki-laki yang sedang beradu argument dengan April di luar toilet? Sebenarnya ini scenario cerita yang bagaimana sih? Membingungkan. Aku saja berniat ingin ke luar, tapi suara kegaduhan di depan terdengar jelas, sosok laki-laki itu membentak dengan suara besarnya. Aku mengigit bibir bawah, bagaimana nasib April temanku? Tiba-tiba aku teringat nasihat April, untuk menenangkan siswi perempuan yang sekarang ada di hadapanku.

Siswi perempuan itu masih menundukkan kepala, membuat leherku yang malah merasakan pegal. Rambut panjangnya sudah dikuncir jadi satu belakang sesuai perintah April, samar-samar wajahnya kelihatan. Bibirnya sudah tidak terlipat, namun berubah jadi bergetar. Pipinya yang tadi basah sekarang sudah mengering. Ia tidak memandangku sama sekali.

“Hei, kamu gapapa, kan?” Aku mulai bertanya, berusaha setenang mungkin meski rasanya suaraku yang terdengar bergetar.

“Engg… engga apa-apa, kok, Kak,” jawabnya terputus-putus. Kenapa, sih? Apa dia takut kepadaku karena merasa bersalah sudah menumpahkan minumanku?

“Masalah minuman tadi kamu nggak perlu mikirin. Lagian aku sama April bisa beli lagi nanti,” terangku, berusaha menenangkan siswi itu yang menurut pradugaku masih merasa bersalah tentang segelas tea jus.

“Iya. Terima kasih, Kak.”

Eh, aku mengerjapkan mata. Terima kasih untuk apa? Aku merasa tidak memberikan dia uang atau barang apapun.

“Kamu bisa ceritain semuanya ke aku nggak? Bingung aku dibuat sama April.” Aku sedikit sebal, kebingunan ini disebabkan oleh ulah April.

Entah dapat hidayah dari mana, siswi perempuan itu perlahan mengangkat kepala, menatap wajah kebingunanku, terlihat bodoh sekali diriku di hadapan adik kelas. Aku juga balas menatapnya bengong. Sepertinya aku tidak asing dengan siswi perempuan di hadapanku ini. Suara kegaduhan di luar masih terdengar, entah April masih kuat nyali atau tidak, aku lebih terfokus dengan anak di depanku. Wajahnya cantik, hidung mancung, pipi merah merona, kulit bersih. Hei, aku ingat, dia adalah pasangan yang sedang gempar di seantero sekolahan ini. Setiap istirahat aku biasa melihatnya berjalan berdampingan dengan pacarnya, seorang anak laki-laki yang juga terkenal, tidak kalah cakep dengan artis-artis penyanyi yang diidolakan April. Mereka membuat anak-anak yang lain merasa iri dengan kemesraan yang dipamerkan siswi perempuan ini dengan pacarnya. Pulang bareng, jalan-jalan weekend, hang out, saling menggoda ketika jam istirahat. Asli sudah lengket amat kayak lem.

“Namaku Laura, Kak.” Aku menghela nafas lega. Akhirnya dia membuka suara juga, aku sudah takut bahwa ia akan bungkam dan masalah ini tidak selesai-selesai. Karena aku yakin pasti aku akan ikut terseret lagi.

“Panggil saja aku Olin,” jawabku memperkenal diri, tersenyum seramah mungkin, agar tidak membuatnya takut lagi. Dipikir aku ini rentenir kali, ya. Yang bakal mengejarnya kemana pun untuk mendapatkan tagihan bulanan.

“Iya, Kak Olin.”

Aku manggut-manggut. Anaknya sopan sekali ternyata, sepertinya juga baik, tidak kelihatan memiliki kriteria jahat.

“Memangnya ada apa, sih, Laura?” Aku mendekatkan badan, ingin mengetahui yang sebenarnya terjadi dari mulut Laura.

Karena semua ini terjadi akibat Laura menyenggol tanganku, menumpahkan tea jus, lalu April membawa Laura ikut bersama kami. Eh, maksudku yang tahu semua ini, ya, hanya April dan Laura. Aku mana ngerti. Disuruh menjaga benda mati saja, main iya-iya saja. Dan sekarang masuk ke dalam bilik toilet bersama anak perempuan, hei April, aku tuh risih tahu nggak sih kamu. Awas saja nanti, akan kutarik pita suaramu agar tidak bisa menyanyi lagi.

Demi melihat wajah bingung campur kesalku, Laura mulai menceritakan awal kenapa ia bisa oleng, menabrak meja ku, dan menyenggol lengan, menumpahkan tea jus yang belum sempat masuk ke kekerongkongan yang dehidrasi ini. Selagi Laura berdongeng, aku yang mendengarkan dengan raut muka betapa bodohnya diriku. Suara kegaduhan di luar sana berangsur tidak terdengar lagi, bentakan hebat memekakan gendang telinga itu sudah tidak ada, tapi aku belum mendengar langkah sepatu hak hitam standar April yang memasuki toilet. Untuk kesekian kali, aku melihat ketrampilan April yang bisa berlari ke luar kantin dengan sepatu hak standart, ya, meski tidak setinggi high heels orang-orang. Tetapi April bisa menyeimbangkan tubuh tanpa kejengklok, bukan. Kalau aku dibandingkan dengan April yang multitalenta, ya jelas kalah telak. Anaknya menyebalkan tapi juga menyenangkan.

***

Selama hampir delapan menit aku mendengar Laura mendongeng, mencoba mencerna setiap adegan, mematut-matut memahami, merubah raut muka ikut prihatin.

“Kok bisa gitu, ya, ada manusia modelan begitu.” Komentarku heran ketika Laura menyelesaikan ceritanya. Aku dan Laura sudah pindah ke luar dari bilik toilet pengap itu sebelum Laura memulai cerita.

Siapa yang akan betah dengan hawa pengap di bilik toilet sambil mendengarkan cerita? Mematut diam menahan suasana tidak nyaman. Dari pada aku tidak bisa memahami cerita Laura, jadi aku memutuskan mengajaknya ke luar. Lagi pula aku juga kakak tingkat akhir yang mempunyai hak mengambil keputusan, ya, kan. Aku rasa Laura sama tidak tahan dengan suasana bilik itu.

Thanks for reading.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status