Share

Who?

Suara kegaduhan di luar sudah tidak terdengar, atau memang sudah tidak ada. Aku masih membayangkan insiden yang diceritakan oleh Laura. Jika kalian ikut mengetahui cerita Laura, aku tidak tahu kalian akan merespon dengan ekpresi wajah yang bagaimana. Entah mungkin kalian akan merasa ini terlalu lebay atau sama sepertiku yang ikut menatap prihatin mendengarnya, hati tersentuh iba rasanya. Kenop pintu diputar, Laura refleks bersembunyi di belakang badankuku, sedangkan aku menahan nafas. Ketika pintu terbuka, barulah aku bisa kembali bernafas lega. April yang datang masuk, aku dan Laura sudah parnoan terlebih dahulu.

“Kalian kenapa?” Itu kalimat sambutan April yang baru saja masuk tanpa aba-aba, yang berhasil membuat suasana mencekam selama beberapa detik.

          Aku menghela nafas, menahan kelas yang bisa kapan pun aku tumpahkan pada April. Tapi tidak kulakukan, di sampingku ada Laura yang masih gemetar ketakutan.

          “Seharusnya aku yang tanya. Kamu tadi kenapa? Ada apa di luar?” Akhirnya aku bisa melampiaskan kesal pada April dengan memberondonginya dua pertanyaan sekaligus.

          “Kamu mungkin sudah tahu sebagian dari anak itu.” April tidak menatapku sama sekali, ia menunjuk Laura dengan tatapan matanya yang tanpa ekpresi, tenang dan datar.

          Eh, aku kembali dibuat bingung oleh April, menoleh bengong bergantian menatap April dan Laura.

           “Maksudnya gimana, sih, Pril?” tanyaku dengan raut muka betapa akulah orang paling bodoh di muka bumi.

          “Iya. Yang tadi di luar toilet tuh ada hubungannya sama anak di dekatmu itu.”

          “Benar apa yang dibilang sama April, Ra?” Aku menoleh ke belakang, bertanya ke Laura kalau semua ini memang ada sangkut paut dari dia. Bukan hanya ulah April saja.

          Laura mengangguk pelan sebagi jawaban.

          “Kamu tenang saja. Kita nggak akan buat ini lebih parah.” April kembali dengan nada suara lembut, tatapan prihatin.

          “Kalau kamu nggak mau cerita sama aku. Aku bolehkan dengar ceritanya dari Olin?” April bertanya, masih menatap Laura.

Aku menyaksikan saja di tengah-tengah mereka, sambil bertanya heran dalam hati, kenapa bisa April tahu kalau anak itu habis bercerita padaku. Padahal aku tidak memberitahukannya pada April.

“Iya, boleh, Kak,” jawab Laura lirih menatap April.

Mata Laura masih sembab, berbenjol, skleranya memerah karena habis menangis, hidungnya mancung ke depan juga terlihat memerah.

“Olin cerita di sini atau aku sama Olin yang ke luar dulu?” tanya April pada Laura, memastikan kekuatan anak itu untuk mendengar ulang kisah kelamnya.

Laura terlihat berpikir.

“Kalau kamu nggak kuat. Kita bisa cerita di luar saja, kok,” tambah Olin.

“Emmm, di sini saja, Kak.”

Hening sejenak.

“Ceritain di sini saja, Lin.” April menatapku seraya merangkul bahu Laura.

Aku terkesiap, mengumpulkan keberanian untuk membuka suara. Kutatap Laura, ia memberi senyum tipis padaku, dengan tatapan seakan ‘Gapapa, ceritakan saja, Kak’. Baiklah, aku akan menceritakannya kembali pada April.

          ***

          Tidak ada yang aku sembunyikan dari cerita Laura, tidak ada juga yang aku tambah-tambahin untuk memberi kesan terlalu dramatis. Semua sama persis seperti apa yang disampaikan Laura kepadaku beberapa menit lalu sebelum April datang. Lagi pula aku tidak suka cerita yang mengada-ngada. Kalian pasti pernah lah mengalami ketika mendengar cerita dari mulu ke mulut dengan sengaja atau tidak, lalu kalian bertemu dengan yang bersangkutan atau sudah tahu menahu tentang yang diberitakan. Setelah kalian teliti, pahami, dan mendengarkan secara seksama. Cerita yang menyebar itu tidak sama persis dengan cerita yang kamu dengar sebelumnya, atau tidak sama seperti ketika kamu mendengarnya dari pihak pertama. Ada saja bagian yang dikurangi atau dilebih-lebihkan hanya untuk memuaskan para mulut penggosip. Akhirnya menjadi sebuah berita hoax. Seolah tidak apa-apa menyudutkan pihak pertama demi bahan pergosipan. Tidak. Itu sangatlah tidak patut ditiru. Meski, meski ada saja manusia modelan begitu. Ya, mau bagaimana, namanya juga manusia yang hidup bersosialisasi. Tidak akan bisa lepas dari omongan-omongan tanpa kebenaran, apa lagi jika omongin di belakang. Lagi-lagi kamu tidak bisa apa-apa kecuali menutup telinga sendiri, karena dua tanganmu nggak akan pernah mampu untuk membungkan ribuan mulut dengan lidah lentur itu.

          April mengelus pelan punggung Laura ketika aku menceritakan pada bagian yang kelam, pada insiden yang menyedihkan bagi Laura. Aku juga berhati-hati ketika menceritakan ulang, takut apa bila suaraku terlalu keras, atau ada kalimat yang salah. April manggut-manggut ketika aku menutup cerita pada bagian akhir, bagian di mana Laura yang tidak sengaja menabrak meja kami di kantin sekitar satu jam yang lalu.

          “Sekarang gantian kamu, Pril.” Aku berseru, April menatapku tidak mengerti.

          “Gantian kamu yang kasih tahu siapa yang di luar tadi,” tambahku tidak sabaran, tidak perduli raut muka April yang bingung atas kalimatku.

          April ber-oh pelan, baru mengangguk paham. Suara mikrofon dari lapangan terdengar, acara show di luar sana masih berlanjut. Agaknya sebagian murid lain yang tidak pergi ke kantin lantai bawah, tidak tahu menahu soal kejadian ini. Hanya murid yang berada di kantin lantai bawah saja yang menyaksikannya, juga gerombolan anak laki-laki yang sempatku lihat tadi. Atau bisa jadi kenyataan paling rasionalnya mereka di luar sana sedang menggosip sambil menikmati acara show lainnya.

          “Tapi sebaiknya kita pindah tempat dulu, deh. Yang nyaman tapi nggak banyak manusianya.” April memberi saran, mengedarkan pandangan ke toilet yang kami tempati untuk sembunyi.

          Aku setuju sih dengan apa yang April bilang. Toilet ini tidak kotor, tapi tidak nyaman saja kalau sampai pulang harus bersembunyi di sini. Akan tetapi, aku juga masih takut kalau tiba-tiba di jalan bertemu orang-orang yang tadi mengedor pintu, belum lagi Laura masih kelihatan ketakutan.

          “Tapi mau pindah ke mana?” tanyaku, menyender di dinding toilet, capek saja rasanya padahal tidak sedang mengerjakan hal berat.

          April berdehem, terlihat sedang berpikir keras, menopang dagu, matanya memutari ruangan toilet kecil ini. Ada tiga wastafel, empat bilik toilet, dan satu cermin kaca yang menempel di dinding dekat bilik paling ujung.

          “Kalau lantai kelas atas nggak akan beresiko, kan?” April bergumam, entah sedang bertanya padaku atau berbicara dengan dirinya sendiri.

          “Maksudmu di kelas kita?” tanyaku.

          April dengan cepat menggelengkan kepala, “Nggak-nggak. Anak-anak di kelas bakal lebih kepo dari pada anak-anak yang ada di kantin tadi.”

          “Lagian nanti bisa-bisa kalau mereka ingat. Mereka bakal nagih jatah traktir.” April terkekeh pelan, mengingat dirinya sedikit mencurangi berlaku tidak adil kepada teman sekelas dengan hanya mentraktiku saja. Kalau bisa dikatakan karma, mungkin kejadian ini adalah azab dari Tuhan karena aku dan April tidak mengajak teman sekelas makan bersama, bersembunyi dari mereka.

Thanks for reading.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status