Share

Teater

          Lima menit kami berpikir keras akan pindah tempat persembunyian di mana, belum juga menemukan jawabannya.

          “Kalau ruang seni gimana?” Aku mencoba memberi usul.

          April menggeleng. “Nggak mungkin. Itu lantai bawah. Ini untuk menghindar dari anak-anak yang tadi di kantin bawah. Kita harus cari ruang di lorong lantai atas. Lagian ruang seni pasti ramai.” April menjelaskan dengan seksama dan serius. Sudah seperti dictator yang sedang merencanakan perang, mengatur strategi pasukan, menata tempat yang akan diserbu saja.

          “Terus di mana dong?” tanyaku menyerah pasrah.

          “Kalau perpustakan lantai atas bagaimana, Kak?” Tiba-tiba Laura membuka suara, memberi saran yang ternyata langsung disetujui April.

          “Ide yang bagus. Acara seperti ini siapa yang bakal kepikiran buat ke perpus, kan?” April berseru semangat. Aku mengangguk menyetujui.

          “Sekarang, nih?” tanyaku memastikan kapan kami akan bergerak.

          “Kita tunggu mereka lengah. Kalau pas lagi ramai-ramainya teriakan, kita langsung keluar. Cari anak tangga buat naik ke lantai atas. Mengerti?” April benar-benar sudah seperti pemimpin dalam insiden ini.

 Aku lagi-lagi hanya mengangguk, sumpek dengan hawa toilet, ingin segera keluar. Lima menit lagi kami menunggu acara di depan berlangsung heboh. April di depan memandu aku dan Laura keluar, mencari jalan, Laura berada di barisan tengah, dan aku sendiri yang di belakang, bertugas mengawasi keadaan. Lapangan benar-benar lagi heboh, drama treater di atas panggung mampu membawa seluruh penonton terbawa perasaan. Adegan yang diperankan tentang drama percintaan, beberapa murid berteriak histeris, sisanya lagi menatap terhipnotis. Pemainnya sendiri juga merupakan pasangan fenomenal dari angkatanku—angkatan kelas 9. Moment seperti itu mereka lengah, tidak akan sadar kami bertiga yang tadi menjadi perbincangan di kantin, membuat keributan, memancing segerombolan laki-laki karena membawa Laura bersama kami. Kami mengambil jalan belakang dari penonton, berpura-pura ikut menikmati reka adegan yang sedang berlangsung, sedikit demi sedikit bergeser, tidak lupa dengan mata yang selalu awas, siapa tahu gerombolan anak laki-laki di kantin tadi mengikuti, atau para geng perkepoan mengawasi keberadaan.

          Anak tangga sudah hampir sampai, aku menahan nafas, berusaha tenang, berusaha tidak gemetar, berusaha bersikap biasa saja bukan malah membuat orang sekitar curiga. April berjalan naik ke atas tangga terlebih dahulu, diikuti Laura, sebelum tiba giliranku, aku memeriksa sekitar sekali lagi, memastikan tidak ada yang mencurigai atau ada hal yang tidak beres—seperti orang yang mengawasi atau mengikuti. Aku mengembuskan nafas lega, clear , tidak ada yang menatap ke arahku, semua orang yang berada di lapangan sedang terpaku menonton drama teater. Bahkan murid yang berada di lantai atas juga menatap ke arah panggung. Kalau kalian tanya padaku drama percintaan apa yang sedang diperagakan hingga begitu bapernya penontin, aku juga tidak terlalu tahu. Yang aku tahu hanya seorang perempuan memperjuangkan kisah cintanya pada sosok laki-laki yang dia suka, sudah seperti itu, selebihnya aku tidak tahu. Karena aku tidak begitu paham. Popularitas pemeran mungkin juga menjadi salah satu factor yang jadi daya tarik penonton, sebagaimana yang memerankan adalah dua sejoli angkatan atas yang paling tersohor kisah cintanya. Parah-parah memang, masih kelas 9 sudah bucin saja.

          “Kemana saja, sih, April?”

          “Habis manggung langsung hilang, kebiasaan, deh.”

          “Dicariin anak kelas tahu dari tadi.”

          Aku mendengar kalimat-kalimat itu sambil menghela nafas kasar. Ini pasti anak-anak kelas yang mengincar artis papan atas kami. Aduh, menghambat rencana saja.

          “Hmm, anu, tadi aku dipanggil guru sebentar. Disuruh bantuin angkat berkas-berkas. Biasa lah.” April mengelak, tersenyum kikuk, berusaha bisa senormal mungkin. Aku sudah berdiri di dekat April beberapa detik yang lalu, sebelum April menjawab.

          “Eh, tunggu. Ini bukannya anak kelas 8, ya?”

          “Eh, iya. Kalian kenal sama anak inii?” Kalian yang dimaksud itu adalah aku dan April, mereka menatap kami.

          Padahal baru saja tadi aku berdoa agar mereka tidak bertanya-tanya tentang Laura, atau setidaknya menghiraukan kehadiran Laura dan lebih fokus menggodai April.

          “Kita baru kenal saja. Guru kelas sebelah yang suruh kita tadi buat nganterin anak ini.” Aku membantu April memberi alasan logis.

          “Nganterin kemana, Lin?” Sekarang mereka malah menatapku, lebih parah mereka bertanya lebih dalam.

          Gawat. Aku langsung menelan ludah, ciut nyali. Ayolah nyaliku tidak sebesar April yang menghadapi beberapa anak laki-laki di toilet tadi. Bahkan ini hanya tiga anak perempuan saja, teman kelasku, aku bisa ciut nyali duluan.

          “Emm nganterin…” Aku berusaha menjawab, menutupi gorgi meski tergagap.

          “Nganterin ambil barang dari guru perpustakaan, Kak.” Laura langsung berinisiatif menjawab, membantu kegugupanku.

          Tiga teman perempuan sekelas denganku dan April itu ber-oh pelan, mengangguk-angguk. Semoga saja mereka percaya dan segera pergi.

          “Eh, kalian mau turun lihat drama, kan?”

          “Tadi lagi seru-seruannya tahu. Mana yang cowo tiba-tiba jadi suka sama cewenya itu.” April segera mengalihkan pembicaraan dengan sangat mahir, sebelum tiga anak perempuan di depan kami itu memulai menggunakan insting kepo-nya. April mengepalkan tangannya menopang dagu, seolah gemas karena kami habis menonton drama teater tadi.  

          “Yang benar kamu, Pril?” Salah satu dari mereka bertanya memastikan, melebarkan mata, mendekatkan wajah ke April. April mundur selangkah, mengangguk pelan tiga kali.

          “Serius, Lin?” Mereka ganti menatapku. Aku menjawab “iya”, mengangguk.

          Seketika mereka bertiga menjerit heboh, berteriak ‘Ayo cepat. Keburu kelar, nih’ berlari menuruni anak tangga di belakang kami. Aku, April, dan Laura segera gesit menyingkir sebelum ditabrak tiga bocah bucin aku yang terlalu terbawa perasaan. Anak-anak yang berada di lorong lantai atas mendengar teriakan tadi, bahkan ada satu dua anak yang sampai keluar kelas, penasaran ada apa. Sama seperti anak-anak yang lain, aku menatap kepergian tiga anak perempuan tadi tanpa berkedip, mengelus dada kaget. Beberapa detik setelah mereka pergi, suasana lantai lorong atas kembali normal. Anak-anak lain kembali pada aktivitasnya yang sempat terganggu, mengobrol saling berbagi bahan gosipan, berpacaran mengadu mesra membuat iri sekitar, sebagian lagi kembali menonton drama teater dari atas, bertopang tangan di teralis pembatas. Satu dua anak yang keluar berdiri di depan pintu tadi berdecak sebal, ia kecewa ternyata hanya ulah kelas tetangga. Mereka sudah pikir ada idol cogan yang sedang diundang ke sekolahan, hingga membuat teriakan histeris.

          Aku menoleh ke seberang, di mana April tadi bergeser ke sisi kirinya, menyender di dinding. Sedangkan Laura bersamaku, kebetulan tadi tanganku refleks menyeret Laura sebelum tiga anak perempuan tadi kelabakan. April yang mengetahui sedang kutatap, medongakkan kepala, lalu mengangguk tegas, memberi isyarat untuk segera menuju perpustakaan sebelum ada halangan yang menghambat lagi. Aku mengangguk, menatap Laura yang juga menatapku, memberi senyum semangat, takut-takut kalau adik kelas satu ini bertambah terkejutnya akibat tiga teman kelasku tadi.

Thanks for reading.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status