Share

Part 2

“Tidaaakkkk!!!”

Jenna tersentak kaget mendengar suara jeritan dari samping tubuhnya yang begitu memekakkan telinga. Ia bangun terduduk dengan keras, melihat Liora yang sudah duduk dengan wajah horor dan basah oleh keringat. Juga berlinang air mata. Melihat itu, Jenna dengan sigap memeluk sang kakak. Mengelus kepala Liora dengan lembut berusaha menenangkan gemetar yang menyerang tubuh itu.

“Sshhhh ... semua baik-baik saja, Liora.”

Liora semakin terisak, kepalanya bergerak ke kanan dan kek kiri dengan kalut. “Dia tahu, Jenna. Dia tahu aku mengkhianatinya. Dia menyuruh orang-orang itu memerkosaku sebelum membunuhku. Aku sangat takut.”

Mata Jenna terpejam. Mulai bertanya-tanya apakah Jerome memang seburuk itu? Hingga membuat seseorang mengalami mimpi buruk seperti ini. “Shh, Aku di sini. Itu hanya mimpi.”

Liora menarik dirinya. Air matanya yang bercucuran tak bisa berhenti. Kedua tangannya memegang pundak Jenna. “Hanya kau yang bisa membantuku. Hanya kau yang bisa menghadapinya.”

Jenna tak bisa menjawab. Mengangguk ataupun menggeleng.

“Aku mohon padamu, Jenna. Hanya kau yang bisa menyelamatkan kami berdua. Tak ada yang lain. Hanya wajahmu yang bisa menolong kami.” Liora menyentuh perutnya. “Aku tak mungkin menggugurkan anak ini.”

Pandangan Jenna turun ke arah perut Liora. Ia pun tak akan tega membiarkan Liora menggugurkan anak tak bersalah itu. Hanya Liora satu-satunya keluarga yang ia miliki di dunia ini. Kedua orang tua mereka meninggal sejak mereka masih berumur tiga belas tahun. Keduanya hidup sendiri, saling mendukung walaupun setelah beranjak dewasa Liora lebih memilih kehidupan di kota besar yang lebih menjanjikan kesejahteraan dan bahkan kemewahan yang sangat disukai oleh sang kakak.

Walaupun  begitu, komunikasi mereka tetap lancar, Liora pun juga sering mengunjunginya di hari-hari libur. Wanita itu memang tak perlu bekerja dengan kekasih loyal yang selalu memenuhi kebutuhan dan keinginan Liora. Dan satu kesalahan fatal membuat wanita itu harus jatuh ke lubang ketakutan.

“Tolong kami, Jenna,” ratap Liora penuh permohonan.

“Aku akan mempertimbangkannya.” Jenna tak tahu kenapa kata-kata itu keluar begitu saja lewat mulutnya. Bahkan di saat hatinya menolak untuk menggantikan tempat Liora selain karena keterpaksaan. Hanya kata itu yang bisa menenangkan Liora, untuk saat ini. Keputus-asaan bahkan akan membuat wanita itu rela menjilat kaki Jenna.

Seketika senyum terbit di bibir Liora yang sudah berhenti bergetar. Wanita itu menarik Jenna ke dalam pelukannya dengan erat. “Terima kasih, Jenna. Terima kasih banyak.”

***

“Makanlah sedikit lebih banyak,” pintah Jenna melihat Liora yang hanya mengambil tiga gigitan roti dan langsung mendorong piring itu menjauh. Mata kakaknya masih sedikit terlihat membengkak. Karena tidur yang tak nyenyak, menangis, atau mungkin terlalu banyak tekanan dalam pikiran.  

Liora menggeleng tak berselera. “Mungkin karena kehamilan ini, selera makanku berkurang drastis.”

Jenna tak tahu jika kehamilan memang bisa membuat selera makan turun. “Apa kauingin makan sesuatu sebagai gantinya?” tawarnya berharap itu bisa membuat perut Liora terisi. Ia tak tahu apa pun tentang kehamilan, tapi sepertinya jelas butuh makanan dua kali lipat dari orang tidak hamil, kan.

Liora menggeleng. Mengambil jus jeruk dan meneguknya setengah. Saat ia meletakkan gelasnya di meja, ponsel di samping piringnya bergetar. Membaca pesan singkat di ponsel tersebut dan wajahnya berubah seputih kapas.

“Ada apa?” tanya Jenna dengan kerutan di kening. Menjulurkan lehernya ke arah layar ponsel Liora.

Liora menunjukkan pesan singkat dari Jerome. ‘Tak sabar ingin melihat wajahmu besok, Jenna sayang.’

“Apa? Besok?” Mata Jenna membelalak.

Liora mengangguk. “Pernikahan kami Selasa depan. Dia akan menjemputku di bandara. Inilah satu-satunya kesempatan kita bertukar tempat. Aku tak bisa pergi kemari lagi setelah kembali.”

“Kenapa begitu mendadak?”

“Dia hanya memberiku dua hari untuk datang ke tempat ini. Aku beralasan ingin mengunjungi makam orang tua kita sebelum menikah. Dia bahkan ingin ikut, tapi beruntung pekerjaannya sangat sibuk karena urusan pernikahan kami.”

“Aku bahkan belum bicara dengan Juna. Apa yang akan kukatakan pada Juna? Aku tak mungkin mengatakan padanya aku harus pergi untuk menikahi tunangan kakakku, kan?”

Liora terbungkam.

Jenna bangkit berdiri, menggusurkan jemari ke rambutnya dengan mata terpejam. Menahan geram di dalam gerahamnya.

“Apa kau begitu mencintainya?” Liora tampak was-was dengan pertanyaan yang diajukannya. Penuh rasa bersalah.

Jenna mendelik dengan pertanyaan tersebut. “Kaupikir?”

“Aku berangkat kerja,” pamit Jenna sambil meyambar tasnya di kursi, berangkat ke tempat kerja lebih pagi dari biasanya, dan mungkin tak akan pergi ke tempat kerjanya. Itu hanya alasan yang ia katakan pada Liora. Ia hanya butuh keluar rumah, menjauh dari Liora dan berpikir. Namun langkah kakinya membawanya ke apartemen Juna. Ia ingin bertemu pria itu. Untuk terakhir kalinya? Entah sampai kapan ia akan menggantikan tempat Liora. Dan entah apa yang akan dikatakannya pada pria itu.

Mengatakan ia akan ke luar kota mengunjungi Liora untuk menghadiri pernikahan kakak kembarnya? Ia sudah mengatakan rencana itu seminggu yang lalu pada Juna.

Mengatakan ia mendapat tiket liburan ke luar kota? Alasan paling konyol yang pernah terpikirkan oleh otaknya. Ia bahkan tak bisa berpikir dengan benar.

Lift berhenti di lantai tujuh. Liora berjalan keluar dan melewati tiga pintu sebelum berhenti. Menekan bel dan menunggu Juna muncul. Biasanya pria itu bangun tepat jam tujuh pagi. Setengah jam yang lalu.

Dua dan tiga kali pintu di depannya masih tertutup. Jenna mengambil ponsel di tas, mencoba menelpon pria itu. Mungkin Juna sedang tidak ada di apartemen. Tapi mendadak pintu di depannya terbuka.

Ponsel di tangan Jenna meluncur ke lantai, jantungnya berhenti berdetak, dan keterkejutan besar tercipta di wajahnya hanya dalam sepersekian detik.

Di hadapannya, berdiri wanita cantik yang tidak ia kenali. Dengan rambut berantakan khas bangun tidur, bekas memerah di leher yang tak bisa Jenna pikirkan bagaimana bekas itu ada di sana, karena wanita itu ada di dalam apartemen Juna. Belum dengan pakaian, ah wanita itu tidak mengenakan apa pun selain kemeja yang sangat dikenali Jenna milik Juna. Tidak, itu bahkan kemeja hadiah ulang tahun yang diberikan Jenna dua bulan yang lalu. Kemeja itu hanya dikancing satu di tengah dada, yang otomatis menampilkan bayang-bayang dada wanita itu yang berukuran besar. Di sana juga ada bekas merah.

“S-siapa kau?” Suara Jenna parau total.

Wanita itu hanya mengedikkan bahu. Membalikkan tubuh dan memberi jalan bagi Jenna untuk melihat lebih di dalam.

Kaki Jenna yang bergetar bergerak maju, hanya butuh tiga langkah baginya untuk melihat pemandangan super mengejutkan yang kini menyempurnakan prasangkanya. Di sana, di atas ranjang. Tubuh Juna berbaring telanjang, hanya tertutupi oleh selimut di bawah pinggang. Tempat tidur itu berantakan, dan Jenna tak perlu bertanya apa yang sudah terjadi di sana.

Air mata Jenna pecah ketika ia berbalik, sesak di dadanya semakin menguat, begitu juga gerakan kakinya untuk meninggalkan tempat itu. Bersama kehancuran yang meremukkan dadanya.

‘Apa kau begitu mencintainya?’

Sekarang pertanyaan Liora seakan-akan menertawakannya. Cinta yang ia banggakan kini berbalik mengkhianatinya.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Gusty Ibunda Alwufi
akhirnya jenna jd gantinya sebagai kakaknya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status