Share

Part 4

“Bangun ... Sayang.”

Kelopak mata Jenna bergerak pelan, sementara kesadaran perlahan memenuhi raganya. Satu kecupan yang mendarat di kening seketika menyentakkan Jenna dari kesadaran. Tubuhnya melompat kaget, menatap pria asing di sampingnya. Ingatan Jenna segera mengambil alih keterkejutannya. Liora, penerbangan, Jerome.

“Apa aku mengagetkanmu?” Jerome mengulurkan tangan menyelipkan rambut Jenna ke balik telinga.

“Sedikit.” Jenna mengusap wajahnya dan mendesah pelan. Ia tertidur di pundak Jerome.

“Kita sudah sampai. Apa kauingin menunggu sejenak untuk menghilangkan pusingmu?”

Jenna menatap keluar mobil. Mobil memasuki sebuah halaman gedung yang luas. Di kanan kiri jalan masuk gedung ada taman bunga. Menuju sebuah air mancur tinggi tepat di depan pintu utama gedung.

Luxury Apartment

Jenna membaca monumen kecil di tengah air mancur. Ah, ya. Ini apartemen tempat Liora tinggal. 2803, Jenna mengingat-ingat nomor unit Liora. Kartunya sudah ada di dalam tas.

“Masih pusing?” tanya Jerome lagi karena tak mendapatkan jawaban dari pertanyaan pertamanya.

Jenna menggeleng. Membuka pintu ketika mobil berhenti. Jerome mengambil koper Jenna di bagasi dan langsung melangkah memasuki teras gedung sambil membawa Jenna. Lengan pria itu lagi-lagi bertengger posesif di pinggang Jenna.

“Selamat siang, Tuan Lim, Nona Jenna.” Sapa seseorang yang berjaga di dekat lift khusus. Yang langsung bergegas menekan tombol lift untuk mereka.

Jerome mengangguk kecil, menarik Jenna masuk ketika pintu lift terbuka.

Rasanya aneh disapa oleh orang yang tak kita kenal dan mereka menyangka telah mengenal kita. Jenna tak banyak bicara sepanjang perjalanan menuju lantai 28. Membiarkan Jerome memimpin langkah sekaligus mempelajari denah tempat ini dalam diam karena ia tak mungkin bertanya. Pintu lift terbuka, lagi-lagi Jerome memimpin langkah mereka. Melewati dua pintu dan 2803. Ah, ini unit Liora.

Saat Jenna hendak mengeluarkan kartu apartemen yang diberikan Liora, Jerome mendahuluinya. Pria itu menempelkan kartu yang sama dengan milik Liora. Sesaat membuat Jenna tertegun dengan akses yang dimiliki oleh Jerome ke dalam apartemen Liora. Itu berarti pria itu bisa datang dan menerobos kapan pun tanpa sepengatahuannya?

“Kauingin minum?” tawar Jerome yang langsung melepaskan Jenna dan menyingkirkan koper ke dinding.

“Air putih saja,” kata Jenna ingin sejenak menyibukkan Jerome. Pandangannya berkeliling. Mengamati ruangan yang luas tersebut. Dinding kaca mengeliling mereka, ruang tamu, meja makan, dapur, dan ada dua pintu. Ia tak tahu kamar Liora yang mana.

Jerome memggulung lengan kemeja sembari melangkah menuju dapur. Sedangkan Jenna berjalan mendekati pintu yang paling dekat dengannya. Membukanya dan berharap menghampiri pintu yang benar. Sebuah kamar, Jenna berjalan masuk dan sedikit bernapas lega.

“Apa yang kaulakukan di sini?” Kepala Jerome muncul dari celah pintu yang setengah terbuka.

Jenna memutar tumitnya. Melihat Jerome memegang segelas air putih berjalan mendekatinya. Kernyitan tersamar di kedua alisnya, bukankah ia masuk ke ruangan yang tepat.

“Kupikir kau ingin segera ke kamarmu dan beristirahat.” Kerutan heran muncul di kening Jerome.

Sekali lagi Jenna mengamati seluruh ruangan. Ranjang, lemari, set kursi, dan meja bercermin yang kosong. Kamar tamu! Jenna menelan keterkejutannya ketika napasnya terhent sejenak, menyembunyikan seapik mungkin dari tatapan Jerome.

 Jenna mendekati Jerome, mengambil gelas di tangan Jerome dan meneguknya. “Aku hanya melihat.”

Sesaat Jerome mengernyit lebih dalam sebelum kemudian kerutan itu lenyap dan tersenyum. “Tidak ada apa-apa di sini yang perlu dilihat,” komentarnya.

Jenna mengangguk sambil melangkah keluar, menuju pintu satunya. Kali ini ia memasuki kamar yang lebih luas. Tempat tidur berwarna merah muda, dua lemari besar, lemari kaca yang berisi koleksi tas juga sepatu Liora, dan meja rias yang dipenuhi segala macam make up dan pernak-pernik. Ia masuk ke kamar yang tepat, desahnya lega.

Jerome mengambil gelas di tangan Jenna, meletakkannya di nakas lalu memeluk wanita itu dari belakang dan langsung mengendus cekungan leher Jenna.

Jenna menahan kesiap tak sampai lolos dari bibirnya. Ia menoleh ke samping dan Jerome langsung menyambar bibirnya. Menciumnya. Merasakan kungkungan di pinggang, Jenna memilih pasrah. Membiarkan pria itu melumat bibirnya

Jerome memutar tubuh Jenna menghadapnya, semakin merapatkan tubuh mereka dan satu tangannya naik menahan tengkuk Jenna. “Buka bibirmu,” bisik Jerome serak. Lumatannya menjadi semkain dalam.

Pandangan mereka bertemu, Jenna tak bisa berpaling. Tenggelam dalam kegelapan dan membuka mulutnya. Lidah Jerome menelusup masuk, mengabsen deretan giginya. Kemudian ia merasakan tubuhnya melayang dan punggungnya mendarat dengan lembut di atas tempat tidur.

Jenna tersadar dari pusaran tersebut ketika lumatan Jerome menjadi lebih panas dan penuh gairah. Tangan pria itu sudah menelusup di balik kaosnya. Menyentuh kulit telanjang perutnya, bergerak naik dan meremas dadanya. Desah napas pria itu menjadi lebih dalam dan mata pria itu terpejam. Menikmati setiap sentuhan dan gesekan tubuh mereka.

Jenna mulai kewalahan mengikuti cumbuan lihai pria itu, ia sudah kehabisan napas. Dalam benaknya menyangsikan pernyataan Liora yang mengatakan Jerome tak pernah meniduri wanita itu. Cumbuan sepanas ini tak mungkin berakhir begitu saja tanpa menelanjangi tubuhnya dan kepanikan mulai merayapi hati Jenna. Ia belum pernah dicium seseorang seintim ini. Satu-satunya kontak fisik yang dilakukan oleh Juna hanyalah kecupan singkat di pipi, yang itu saja sudah membuat wajahnya terbakar. Tetapi mungkin karena Juna tak menginginkan dirinya, pikiran itu muncul begitu saja. Nyatanya pria itu mampu meniduri wanita lain.

Perih di dada Jenna berdenyut nyeri. Sesaat ia hendak membiarkan Jerome bertindak lebih. Didorong keinginan untuk membalas sakit hatinya pada Juna. Namun, mendadak Jerome menarik tubuh menjauh dan tangan pria keluar dari balik pakaiannya.

Dengan napas terengah hebat menerpa wajah Jenna dan kening mereka yang masih menempel, Jerome berbisik serak, “Maaf, aku sedikit kelewatan. Aku tak bisa menahannya setelah dua hari tidak bertemu denganmu. Aku benar-benar merindukanmu.”

Jenna tak tahu harus merasa lega atau sebaliknya. Ketika Jerome menjauh, rasa sakit di hatinya kembali mendera. Masih terengah, Jerome menarik tubuhnya terduduk.

“Aku benar-benar tak sabar menunggu hari pernikahan kita.” Jerome mengecup bibir Jenna sekali. “Hari ini istirahat saja di apartemen. Nanti malam aku tidak bisa datang karena harus menyelesaikan banyak urusan. Kau tidak keberatan, kan?”

Jenna menggeleng, napasnya sudah kembali normal. Begitupun Jerome.

“Dan besok pagi aku akan menyuruh sopir menjemputmu untuk membawamu ke butik. Fitting gaun pengantinmu. Mereka ingin memastikan gaunnya pas di tubuhmu menjelang hari H.”

Jenna mengangguk.

Jerome mendekat, menyentuh dagu Jenna dan memaksa wanita itu menatap matanya. “Kau jadi lebih pendiam,” gumamnya dengan kerutan di kedua alis.

Pupil Jenna tampak melebar. “A-aku sedikit merasa tidak enak badan.”

“Hm, begitu. Apa aku perlu menyuruh dokter memeriksamu?”

“Tidak. Aku hanya ingin istirahat.”

“Baiklah. Aku akan menelponmu nanti sore. Aku pergi sekarang.” Jerome melumat bibir Jenna sekali dan beranjak pergi.

Jenna termangu di pinggiran tempat tidur. Mendesah pelan. Berharap ia berhasil mengelabui Jerome untuk saat berikutnya. Ia merapikan pakaiannya, melangkah ke satu-satunya pintu yang ia yakini adalah pintu kamar mandi.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
🌹isqia🌹
bagus ceritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status