Share

Bertemu Raja Jin

Menjelang tengah hari, Aryadana dan Anggadita serta dua rekannya sudah tiba di saung padepokan, mereka membawa tiga ekor rusa hasil buruan mereka.

Wajah Aryadana dan ketiga rekannya tampak semringah. Kedatangan mereka disambut hangat dengan penuh kegembiraan oleh para murid yang ada di padepokan itu.

"Anggadita!" panggil Erlangga.

"Iya, Pangeran," sahut Anggadita, ia langsung menyerahkan busur panah kepada salah satu murid padepokan tersebut. "Tolong simpan ini, aku mau menghadap Pangeran Erlangga!"

"Baik, Ki," jawab seorang murid padepokan langsung meraih panah dari tangan Anggadita.

Setelah itu, Anggadita bergegas melangkah menghampiri Erlangga yang berdiri di depan saung aula padepokan yang tidak jauh dari kamarnya.

"Ada apa, Pangeran?" tanya Anggadita meluruskan pandangannya ke wajah Erlangga.

"Temani aku, ke tempat yang kemarin aku ceritakan!" jawab Erlangga lirih.

"Maksud Pangeran ke tempat siluman itu?" tanya Anggadita mengangkat alis tinggi.

"Iya," jawab Erlangga tersenyum balas menatap wajah sahabatnya itu.

Anggadita tampak ragu dan seperti enggan untuk ikut dengan Erlangga. Erlangga faham akan kekhawatiran yang dirasakan oleh Anggadita.

"Kamu jangan khawatir, kita ke sana bukan untuk bertarung dengan siluman itu. Aku hanya ingin berdamai dengan mereka dan meminta bantuan kepada mereka untuk memata-matai paman senapati!" kata Erlangga seperti sudah mengetahui apa yang ada dalam pikirkan pria paruh baya itu.

"Kamu yakin, Pangeran? Mereka tidak akan mencelakai kita?" Anggadita masih tampak ragu.

"Ya, sudah ... kalau kamu tidak mau ikut. Aku berangkat sendiri saja!" Erlangga langsung melangkah berlalu dari hadapan Anggadita yang masih dalam keadaan ragu dan penuh kekhawatiran.

"Tunggu, Pangeran!" Anggadita berlari mengejar Erlangga.

Meskipun dalam dirinya diselimuti rasa takut, ia tetap memutuskan untuk ikut dengan Erlangga. Anggadita banyak berhutang budi kepada Erlangga. Sehingga ia tidak peduli dengan risiko yang akan terjadi menimpa dirinya setelah bertemu dengan para siluman ganas itu.

Erlangga terus melangkah dan pura-pura tidak mendengar teriakan dari sahabatnya.

"Pangeran!" teriak Anggadita berlari kencang mengejar Erlangga yang terus berjalan tidak mengindahkan teriaknya.

Erlangga sengaja berjalan dengan mengeluarkan ajian Langkah Tereh yang memiliki kecepatan tinggi. Setibanya di ujung perbukitan, Erlangga baru menghentikan langkahnya.

Sementara Anggadita jauh tertinggal dan masih terus berlari menuju ke arah Erlangga.

Setibanya di hadapan Erlangga, pendekar paruh baya itu tampak kelelahan dengan napas terengah-engah.

"Pangeran, kau membawa air minum tidak?" tanya Anggadita dengan napas tak beraturan, peluh di kening bercucuran membasahi wajahnya.

Erlangga hanya tersenyum, kemudian menyerahkan batang bambu yang berisi air minum kepada pria paruh baya itu.

Anggadita tampak kehausan hampir menghabiskan air dalam batang bambu yang dibuat khusus untuk tempat air minum.

"Istirahat dulu, Pangeran!" pinta Anggadita duduk di antara rerumputan hijau yang tumbuh subur di ujung perbukitan itu.

Erlangga hanya tersenyum dan duduk di sebelah kiri Anggadita. "Tadi katanya tidak mau ikut?" tanya Erlangga lirih.

"Aku ini adalah sahabatmu, tidak mungkin aku membiarkan kau berjalan sendirian," jawab Anggadita.

Beberapa saat kemudian, cuaca berubah seketika. Langit yang tadinya cerah berubah menjadi gelap dengan gumpalan awan hitam beriringan menutup sinar matahari, angin berhembus kencang membawa dedaunan kering dari pohon-pohon yang berdiri tegak di pinggiran bukit tersebut.

Anggadita dan Erlangga terperanjat, mereka merasa kaget dengan pemandangan seperti itu.

"Ada apa, Pangeran?" tanya Anggadita bangkit dan berusaha menguatkan posisi berdirinya dari hempasan angin yang tiba-tiba berhembus kencang.

"Kau tenang saja, jangan panik!" pinta Erlangga berdiri di hadapan Anggadita.

Tidak lama kemudian, keadaan berangsur membaik dan kembali seperti semula. Seketika angin pun berhenti  dan langit pun kembali cerah.

Tanpa disadari oleh kedua pendekar itu, ternyata mereka sudah berada di suatu tempat yang asing yang sama sekali belum pernah mereka kunjungi sebelumnya.

"Ya, Dewata agung! Kita berada di mana ini, Pangeran?" tanya Anggadita mengerutkan kening.

Erlangga pun baru menyadari kalau dirinya saat itu, sudah berada di suatu tempat yang tidak ia kenali.

"Kamu jangan panik!" jawab Erlangga.

Tampak sebuah istana besar berdiri kokoh di antara padang rumput yang menghijau yang dikelilingi pohon-pohon besar, di sepanjang jalan yang mengarah ke istana tersebut di samping kiri dan kanan ditumbuhi tanaman bunga-bunga beraneka ragam warna yang mengeluarkan aroma wangi.

"Itu bangunan apa, Pangeran?" tanya Anggadita meluruskan dua bola matanya ke arah istana megah itu.

"Sepertinya itu istana gaib," terang Erlangga menjawab lirih pertanyaan dari sahabatnya itu. "Kita harus ke sana!" sambung Erlangga mengajak Anggadita untuk segera mendekati istana megah itu.

"Tapi, Pangeran—"

"Sudahlah, kau jangan khawatir!" potong Erlangga melangkahkan kedua kakinya untuk segera mendekati bangunan yang berdiri megah di sekitar padang rumput yang membentang luas itu.

Anggadita tidak banyak bicara lagi, ia pun segera melangkah mengikuti Erlangga. Meskipun dalam pikirannya diselimuti berbagai pertanyaan dan kecemasan.

Setibanya di depan pintu gerbang istana tersebut, Erlangga disambut dengan keagresifan para pengawal istana itu. Mereka serentak menyerang Erlangga dan Anggadita, pertarungan pun tak dapat terelakan. Dengan terpaksa Erlangga dan Anggadita melayani keagresifan dari para pengawal istana itu.

Mereka tampak berpenampilan mengerikan, wajahnya seperti hantu berambut gimbal dan bertaring serta mempunyai warna kulit merah kehitam-hitaman.

Anggadita sedikit kewalahan meladeni para prajurit jin itu, Anggadita terjatuh dan mengalami luka di pergelangan tangan karena tertusuk sebuah tombak dari para prajurit jin yang menyerangnya itu.

Erlangga langsung meloncat menghampiri Anggadita sembari terus melakukan pertarungan menangkis serangan para prajurit jin tersebut.

"Bangun, Anggadita!" teriak Erlangga.

Dengan cepat, Anggadita pun bangkit dan kembali melakukan perlawanan.

Dengan kemampuan ilmu bela diri yang dimilikinya, Erlangga berhasil mengalahkan para prajurit tersebut. Seketika para prajurit jin itu menghilang entah ke mana?

"Kamu tidak apa-apa, Anggadita?" tanya Erlangga menatap wajah kawannya.

"Tidak apa-apa, Pangeran. Hanya sedikit luka di pergelangan tanganku," jawab Anggadita melangkah mendekati Erlangga.

Tiba-tiba, pintu gerbang berderit kencang seiring dengan terbukanya pintu gerbang istana tersebut. Tampak beberapa prajurit sudah bersiap siaga dengan memegang berbagai persenjataan di tangan mereka.

Berdiri sesosok pria bertubuh besar dengan bermahkotakan emas dan mengenakan jubah kebesaran dari kerajaan tersebut. Dari penampilannya, sosok tersebut diduga kuat sebagai pimpinan para prajurit jin tersebut.

"Sampurasun!" ucap Erlangga bersikap ajrih di hadapan makhluk yang diduga kuat sebagai raja di istana gaib itu.

"Rampes," jawab makhluk yang mengenakan mahkota tersenyum lebar memandang wajah Erlangga.

"Mereka ini orang jahat, Baginda!" seru salah seorang punggawa istana. Ia melangkah mendekati sang raja. "Dia itu yang dulu menghajarku," sambungnya.

"Tunggu dulu! Jangan gegabah, dia menghajarmu mungkin karena tindakanmu yang ceroboh!" cegah sang raja tampak bijaksana.

"Daulat, Baginda," pria itu mundur beberapa langkah ke belakang.

"Silahkan masuk, Pangeran!" sambut raja itu tersenyum manis menatap wajah Erlangga.

Erlangga terkejut mendengar ucapan raja jin itu. Ia merasa heran kenapa raja jin itu mengetahui jati dirinya sebagai pangeran.

"Dia mengenali Pangeran," bisik Anggadita.

"Diam saja, kita ikuti ajakan mereka!" Erlangga balas berbisik kepada Anggadita.

"Terima kasih, Baginda," jawab Erlangga tersenyum ramah dan langsung melangkah masuk ke dalam halaman istana yang tampak megah dihiasi berbagai pernak-pernik yang terbuat dari emas.

Raja tersebut adalah Wanakerta, ia merupakan penguasa kerajaan gaib yang ada di sekitar perbukitan tersebut, dan punggawa yang tadi menuduh Erlangga dan Anggadita sebagai penjahat, itu adalah Sulima seorang senapati dari kerajaan gaib tersebut.

Erlangga dan Anggadita terus berjalan mengikuti langkah Wanakerta dan Sulima menuju ke dalam istana.

* * *

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status