Share

Pesona Sang CEO
Pesona Sang CEO
Penulis: Zedanzee

Bab 1. Sebuah Pilihan

Bagaimana jika dirimu diberi dua pilihan yang sama-sama punya konsekunsi besar? Bertahan dengan orang yang salah atau pergi dengan sejuta dendam?

Tepat pukul satu dini hari Devi sampai pekarang rumah, di badannya masih melekat pakaian formal, bekas rapat siang tadi di Surabaya. Bibir dipenuhi senyuman, kedua netra tertujuh pada kue coklat lengkap dengan tulisan anniversary satu tahun dan satu lilin yang menyala di tengah-tengah kue.

Langkah kaki jenjang dengan balutan celana panjang warna hitam dan alas kaki sepatu flat dengan bungga di bagian tengah,  penuh kehati-hatian melangkah menuju pintu. Satu tangannya  merogoh saku blazer hitam yang melekat di tubuhnya, mengambil kunci rumah yang sengaja ia bawa. 

Dengan sangat hati-hati Devi mendorong pegangan pintu agar tak mengeluarkan suara, berharap kejutan untuk suaminya sesuai harapan. Langkah kakinya masuk ruang tamu yang remang-remang minim cahaya. Hanya ada satu lampu kecil yang menerangi ruang tamu itu.

Tapi untuk menerangi benda di sekitarnya masih sangat jelas, kini bola mata yang berbinar berubah menjadi mata seekor elang yang tajam. Devi hampir tak percaya dengan apa yang dirinya lihat. Tanganya bergetar hebat diikuti detak jantung berirama keras. Kelopak matanya berkedip keras memastikan yang dilihatnya salah.

Sepatu wanita, tas mungil warna merah jambu, long dres di atas sofa.

Kini telinganya merdengar suara cekikian mesra sepasang manusia di kamar tengah, yang selama ini kosong. Devi seperti dihatam batu besar pas mendarat di telinga.

“Kamu luar biasa sayang.” Suara serak khas Devan dari dalam kamar.

           

 “Kamu bisa aja mas!”

Suara perempuan itu terdengar sangat manja, membuat bulu halus di tubuh Devi serasa berdiri tegak. Badannya bergetar hebat, tubuh terasa panas, giginya gemeletuk menahan amarah.

Perlahan kini langkahnya menuju pintu, berusaha tidak mengeluarkan suara apapun.

“Gimana kalo Devi tahu aku di sini Mas?” wanita dalam kamar itu bertanya.

“Tenang saja! Katanya Devi pulang besok sore sayang. Jangan berfikir macam – macam! ” kata Davin sambil mencium kening wanita yang sedang di sampingnya. Kecupan itu sampai terdengar keluar kamar.

 “Kapan Mas Davin nikahin aku? Masak aku jadi simpanan terus? ”

 “Bentar sayang, nanti aku atur waktu dulu!”

Devi meletakan telingan di pintu, percakapan itu jelas masuk ke indra pendengarnya. Tak lama kemudian terdengar suara gelora vitalitas dua insan yang sedang memadu kasih. Suara ciuman dan desahan saling bergantian.

Devi berusaha berjijit memercingkan mata di lobang kecil yang letaknya sedikit di atas. Meskipun kecil untuk sekedar melihat kondisi kamar tetap terlihat jelas.

Pakaian dalam berceceran, dua insan diatas ranjang tanpa busana sedang bermadu kasih. Cukup tiga detik saja Devi melihatnya. Devan pasangan yang sangat ia cintai saat ini sedang diatas tubuh seorang wanita.

 Menjijikan!

Perempuan yang bersama Devan, sosok yang sangat dikenal Devi. Tak menyangka Si Ular Dewi sejauh ini akan mengoda suaminya.

Air mata Devi mengalir deras, dua kali menutup mulutnya berusaha tidak mengeluarkan suara. Tubuhnya lemas, saat itu juga terduduk di depan pintu kamar.

Suara erangan itu masih berlanjut seolah-olah dunia ini milik mereka berdua hingga melumpuhkan akal sehat membuat semakin gemuruh di dalam dada Devi tubuhnya serasa semakin lemas  ia  tak tahan berusaha berdiri dan melangkah cepat menuju kamar. Sekotak perhiasan ia masukkan ke dalam tas , kemudian Devi kembali menuju meja ruang tamu meraih kue coklat sekilas ke deua mata Devi melihat lilin sudah meleleh merusah dekorasi kue. Kemudian melangkah keluar menutup pintu dan melanjutkan langkahnya lantas melempar kue coklat dengan sekuat tenaga ke dalam got depan rumah.

Tangisan itu akirnya pecah di dalam mobil, air mata wanita malang menetes bercampur keringat dingin di sekujur tubuhnya. Berkali-kali memukul stir di hadapanya, mengigit kotak tisu tanpa maksut yang jelas.

"Dasar bangsat, keparat!" umpat Devi kasar.

Suara lolongan anjing dan hewan malam saling bersautan menambah ngilu hati siapapun yang mendengar tangisan kemarahan wanita malang itu. Tubuhnya merangkul erat stir mobil seolah-olah hanya benda itu yang menjadi sadaranya. Merintih dengan suara sangat memelas meratapi nasibnya.

“Maafkan Mama nak! Maafkan mama! ”

Devi mengusap perutnya yang masih rata dan terus mengulai kata yang sama, terus menerus. Air matanya terus menetes seolah-olah tak bisa berhenti.

Raungan itu kini terhenti, tapi air mata tak kunjung ingin berhenti. Kini Devi menangis tanpa suara. Terdiam dalam sepi, pikiranya kosong nyaris seperti orang gila.

Ingatanya tegelam saat sebelum Devi berangkat ke Surabaya, Devan masih mendekapnya dan menciumnya dengan mesra. Siapa sangka kekasih hatinya juga melakukan hal yang sama dengan Dewi. Menjijikan!

“Sayang kapan mau berhenti kerjanya? Kalo kamu sering ke luar kota terus kapan kita fokus ke progam hamil, ” tanya Devan sambil menerapkan Devi dari belakang.

 “Iya sayang, sebentar lagi kantor lagi sibuk banget ini. Aku janji jika kewajibanku sudah kelar aku berhenti kerja,” ujar Devi dengan lembut.

“Minggu lalu 2 hari di Surabaya sekarang Surabaya lagi!” keluh manja Devan sambil mengoyangkan badan Devi ke kanan-kiri. “Biar Ibu tambah sayang sama kita kalo kita bisa kasih cucu.”

 “Iya sayang.”  Devi meraba ubun-ubun Devan.

 "Ya udah kita coba lagi yuk!” pinta Devan sambil mencium pundak Devi.

Devi hanya diam pasrah saat Devan mencumbuhnya. Hingga terjadi perang yang sama-sama di inginkan sepasang kekasih.

“Semoga kita berhasil ya sayang!” ucap,” jawab Devan sambil mencium ubun-ubun Devi.

Kini Devi menangis sendiri, di tengah malam gelap gulita. Perlahan kakinya menekan gas mobil terus melesat di kesepian malam. Pergi dari surga yang pernah menjadi tempatnya untuk pulang. 

Hatinya hancur tak berbentuk, orang yang dia cintai menghianati cintanya. Kekasih hatinya kini telah menjadi seorang bajingan. Harapan hidupnya kini segumpal orok yang menyatu dengan tubuhnya.

Sudah dua minggu tamu bulanan tak kunjung datang, dengan berdebar mencoba melakukan tes urin secara mandiri, dan hasilnya garis merah dua. Dirinya yang tak percaya mencoba mengulangi kembali, memasukan ujung test pack yang masih baru ke dalam urin. Hasilnya sama, garis dua. Hingga lima alat test pack Devi masukan ke dalam urin menunjukan dirinya telah positif hamil.

Tanpa keraguan sedikit pun, Devi bermaksut menjadikan test pack itu kado spesial satu tahun pernikahanya.

Devi dengan sengaja membatalkan semua rapat yang dilakukan di Surabaya untuk kembali ke Solo, memberi kejutan pada Devan. Saking bahagianya Devi tak perduli jika nanti di pecat dari perusahanya toh dia akan benar-benar berhenti berkerja.

Seperti janjinya dia akan berhenti kerja dan fokus progam hamil. Tapi tanpa progam hamil Tuhan telah mengabulkan doanya.

Tapi rencana itu dulu, sebelum Devan berhianat, mungkin rencana itu akan berubah mulai malam ini atau mungkin selamanya. Karena harapan yang ia miliki telah sirna!

Apakah ini karma dari Yang Maha Kuasa? Bisik dalam hati Devi tenggelam dalam isi kepala dengan sejuta pertanyaan mengapa hidupnya penuh sial.

Komen (5)
goodnovel comment avatar
Arief Mixagrip
bagus ceritanya
goodnovel comment avatar
Suci Larasati
untung saja belum sampek nikah Kak, bisa cari pandangan lain
goodnovel comment avatar
M Badol
sangat wooo
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status