Hay pembaca yang baik hati, saya Zedan Zee sebagai penulis mengucapkan terimakasi telah menikmati tulisan saya. Oh ya… kalian dapat mengomentari setiap paragaf yang kalian baca, dengan klik paragaf yang ingin kalian beri komentar, lalu klik icon komentar. Dan saya harap kalian meluangkan waktu untuk memberikan bintang lima untuk karya saya!
Memberi bintang lima itu gratis dan saya akan bahagia jika kalian melakukanya. Ingat! Membahagikan orang lain itu pahalanya banyak, maukan dapat pahala yang banyak? Selamat membaca!
*
Tepat hari ini Devi terakir di kantor, sekilas itu termenung memandang ruangan kerja yang selama ini menjadi tempat ternyaman setelah rumah, yang sekarang sudah menjadi neraka. Pikiranya terus menari-nari tak menentu, kecerdasan otaknya saat ini rasanya benar-benar menghilang. Nyaris ia frustasi dengan garis takdirnya.
“Tuhan, aku harus bagaimana?” keluh Devi sambil meremas kepala.
Kini ingatanya berputar ke masalalu, tempatnya waktu ingin menikah dengan Devan. Dirinya dan Devan memohon restu pada Lydia yang terus saja membisu, seolah-olah tak perduli. Perjuangan dua orang untuk sebuah ridho ibu, lalu setelah menikah perjuangan itu dilupakan begitu saja.
Cinta terhalang oleh umur, hanya karena alasan Devi lebih tua tiga tahun dari Devan. Usia Devi dua puluh sembilan dan Devan dua puluh enam. Lydia juga tak merestui hubungan mereka dan alasan-alasan lain yang tak masuk akal, seperti arah rumah Devi dengan Devan yang jadi pantangan (larangan).
Lydia sebagai penganut tradisi budaya Jawa yang ketal, percaya jika arah rumah menjadi faktor penentu langgengnya sebuah rumah tangga. Ngalor-ngulon (utara-barat) sebuah mitos yang dipercaya akan membawa kesialan jika pasangan terus saja melangsungkan pernikahan.
“Ya sudah Bu kita jual saja rumah ini! Atau Devan beli rumah di selatan biar bisa nikah sama Devi,” kata Devan di hadapan Lydia.
“Ngak! Ini rumah warisan Bapak kamu. Ibu ngak mau pindah! Apa pun alasanya Ibu tidak setuju!” ketus ucapan yang keluar dari mulut Lydia.
“Bu…” keluh Devan dengan suara sangat paruh.
“Dia itu perawan tua! Kamu bisa cari yang lebih muda dari dia!” Ucapan Lydia semakin pedas.
“Banyak Bu orang-orang yang menikah tapi jarak umur tidak menghalangi kebahagian mereka.” Wajah Devan semakin lesu.
Devi yang berada di dalam mobil hanya bisa mengigit bibir mendengar ucapan Lydia, antara marah, sedih dan ingin mengumpat, bersatu di dalam pikiranya.
Untung saja Lydia calon mertuanya, kalo orang lain pasti Devi sudah mengumpat kasar di hadapanya.
Entah wangsit dari mana setelah beberapa bulan berjuang, akirnya Lydia dengan setengah hati mempersilahkan putra sulungnya menikah dengan gadis pilihanya. Ya… meskipun sikap dingin terhadap Devi masih saja melekat.
Setiap minggu sekali Devi dan Devan mengunjungi Lydia. Dan selalu ditemui Dewi di rumah itu. Dewi adalah teman sedari kecil Devan, dan orang tua mereka akrab. Itulah yang membuat Dewi begitu percaya diri dan yakin Devan suka padanya. Seperti perasaan yang berkobar dalam hatinya, tapi ternyata perkenalanya dengan Devi yang terhitung hanya beberapa bulan mampu melumpuhkan hati Devan.
Dewi sebenarnya lumayan cantik, tapi jika di banding Devi. Kalah jauh, lebih menawan Devi. Badannya tak terlalu tinggi, sekitar seratus lima puluh lima, kulit putih bersih, rambutnya panjang lurus dengan warna hitam, tubuhnya padat berisi dengan dua buah di dada yang lumayan besar dan seksi. Sekilas jika di lihat tubuhnya mirip penyanyi Marion Jola, sama-sama montok.
Dewi juga sangat pintar bebicara, tak heran Lydia begitu dekat dengannya. Tidak heran kalo pun setelah Devan sudah menikah Dewi masih sering ke rumah Lydia.
Bahkan Lydia-lah yang selalu minta tolong pada Dewi mengantar makan siang ke kantor Devan. Hal inilah yang tidak diketahui Devi hingga saat ini.
“Sudah nak Dewi! Antar saja makanan ini bilangaja dari ibu! Ngak mungkin wanita tua ini keluar rumah setiap hari!” pinta Lydia.
“Kalo Mbak Devi marah gimana Bu?” Nampak ada secerca keraguan di diri Dewi.
“Ngak mungkin—kan ibu yang nyuruh! Devi itu sibuk ngak sempet ngurus suami. Jadi tolong kamu bantuin ibu ya!”
Hal itu di gunakan Dewi untuk mengoda Devan. Dengan sengaja memakai baju dres press body dengan belahan dada yang dalam, menunjukan separoh isi nya. Atau memakai rok di atas lutut menampilakan betisnya yang mulus.
Laki–laki mana yang tak tergoda? Dulu Devan tak tergoda karena belum merasakan hangatnya tubuh wanita, tapi setelah menikah dia mana tahan? Terlebih lagi Devi wanita karir. Kadang sampai rumah hanya sisa–sisa kelelahan.
Hanya butuh waktu dua bulan Dewi mampu menggoda Devan, hampir setiap hari datang membawa bekal makan siang dengan pakean yang super sexy.
Lydia seorang janda. Sudah dua tahun lalu suaminya meninggal. Dua orang putranya semua sukses, Devan menjadi manajer di sebuah perusahan farmasi dan Rangga adiknya sukses dengan menjadi pengusaha muda.
Sejak dua tahun lalu cafe yang di didirikan Rangga maju pesat, dan buka cabang di setiap kota besar di Indonesia, bahkan saat ini akan membuka cabang di negeri tetangga. Wajar saja jika sering luar kota meninggalkan Lydia sendiri di rumah.
Tapi hal itu digunakan untuk Dewi untuk mencuri perhatian dari Lydia. Sering datang ke rumah bahkan menginap untuk menemani Lydia saat Rangga luar kota.
Kalo memang kakaknya tidak aku dapatkan siapa tau adiknya! Niat terselubung Dewi.
“Gimana udah hamil belum Dev?” tanya Lydia yang berdiri di ambang pintu.
“Doain ya bu!” jawan Devi pelan.
“Makanya Van, istrimu itu suruh di rumah ngerawat rumah ngerawat suami! Jangan kerja! Kayak suaminya gak bisa kasih nafkah saja! Fokus punya anak!” ucap pedas Lydia sambil menepuk pundah Devan
Devi hanya terdiam membisu, tak mampu mengatakan sepatah kata pun. Jika dulu alasan membenci Devi karena arah rumah dan umur, kini alasan itu semakin berkembang karena Devi belum hamil. Sial benar nasib Devi, kisah cintanya tak semulus karirnya.
Devan dan Lydia melangkah lebih dulu, Devi masih membeku di ambang pintu masuk. Langkahnya kecil mengikuti dua orang di depannya.
“Ayo makan dulu! Ini Dek Dewi yang masak!” kata Lydia.
Devi terdiam hanya melirik ke arah Dewi. Tidak ada rasa tersisihkan dirinya dalam satu meja makan dengan Dewi. Seorang wanita dewasa waktunya habis untuk nongkrong sana sini dan bersolek. Untuk beli lipstik saja minta bapaknya, yang menjabat DPR.
Anak satu–satunya yang sangat dimanja, bak ikan kecil. Bebas mau apa aja.
Devi menyiapkan sepiring nasi lengkap lauk pauk untuk Devan. Baru mengambil sedikit nasi lauk untuk dirinya sendiri.
“Enak ini Dek Dewi masaknya!” puji Lydia.
“Saya kan cuma bantuin Ibu masak,” ujar Dewi.
“Memang kalo jadi wanita itu baiknya anteng di rumah, tidak usah neko–neko (macam-macam). Bisa nyiapin masakan buat keluarga sudah kodratnya wanita,” tutur Lydia berbicara dengan Dewi.
“Saya nanti kalo udah punya suami juga akan anteng di rumah Bu, ngak usah kerja cukup nerimo (terima) apa yang diberi suami,” ucap Dewi.
Devi hanya menelan ludah dengan semua yang di katakan Lydia. Benar–benar menyakitkan telinganya. Selalu ada saja hal untuk menyudutkan dirinya.
Devan hanya diam tidak mengatakan apa pun, sekilas matanya melirik iba Devi. Pembelaan untuk istrinya sebagai wanita karir tidak keluar dari mulutnya. Devi memang sibuk, tapi untuk merawat suami dia selalu menomor satukan.
Rela jungkir balik untuk tetap menjadi istri yang baik tapi tetap punya prestasi. Tak seburuk yang diucap Lydia.
Justru kali ini Devan asik makan, seperti tidak mendengar pembicaraan Lydia dengan Dewi.
“Aku kenyang Mas, aku tinggal ke belakang dulu ya!” ucap Devi sambil berdiri meniggalkan meja makan.
Devan baru menyadari jika Devi mulai tidak nyaman di meja makan.
“Eh, sayang mau kemana?” tanya Devan sambil berdiri.
Lydia melotot tajam, sepertinya bola matanya mau keluar saat itu juga “Dewi sudah masak, kamu yang cuci piring ya Devi!” teriak Lydia.
“Iya Bu, saya Cuma mau kebelakang sebentar kok.” Ujar Devi berhenti sejenak dan memaksa senyuman di bibirnya ke arah mertunya.
Devan baru satu langkah mengikuti Devi tapi Lydia menghentikanya. “Eh, Van makanmu belum habis! Hambiskan dulu! Temenin Dek Dewi sama Ibu makan!” ucap Lydia.
Telinga Devi benar–benar panas, langkahnya semakin cepat meninggalkan ruang makan itu. Berharap suaminya melangkah menyusulnya.
Tapi tidak sesuai harapan Devi. Suaminya menuruti perkataan ibunya. Duduk di meja makan bertiga, membiarkan Devi seorang diri menangis sendu di belakang rumah. Rumah mertuanya.
Dan kejadian tadi malam membuat Devi sadar mengapa waktu itu ia tidak mengikuti langkahnya, dan lebih memilih terdiam. Alasanya adalah Dewi, si ular berbisa.
Cepat-cepat Devi menghapus air matanya, berusaha untuk tidak larut dengan kenangan buruk, hal itu hanya akan menambah suasana buruk dalam hatinya. Kini ia berdiri mengambil barang-barang miliknya di atas meja kerjanya dan dalam laci, lalu di masukan dalam sebuah kardus kosong.
Hari sudah semakin sore, Devan melirik jam tangan yang melingkar di lengannya. Waktu menunjukan pukul dua lebih lima puluh menit. Kini ia mulai resah, istrinya Devi sama sekali belum menghubunginya. Ia juga sudah dua kali menelfon tapi sama sekali tidak ada jawaban.
Dua pesan telah terkirim tapi sama sekali belum ada balasan. Jangankan balasan symbol sudah di baca saja belum terlihat.
“Mungkin sekarang dia lagi di rumah. Kan-seharusnya hari ini Devi udah pulang dari Surabaya.” Bisik dalam hati Devan. “Tapi kok tumben Devi tidak menghubungi aku seharian. Ah sudahlah!”
Kini Devan berusaha untuk kembali fokus menatap layar computer di hadapanya. Menyingkirkan firasat-firasat buruk yang menghampirinya.
Mario memasukkan kedua tanggannya ke dalam saku celana, kedua bola matanya memandang pemandangan sedih. Devi memeluk rekan-rekanya di kantor satu persatu. Semua jajaran staf dan manajer sudah berusaha untuk mengurungkan niatnya, tapi pecuma. Devi tetap ingin mengundurkan diri.Setiap rekannya bertanya alasan ia mengundurkan diri, hanya satu kata yang terlontar “bosan”. Jawaban bohong dan tak masuk akal. Hanya Mario-lah yang tahu persis alasan Devi mengapa ia berhenti berkerja.Devi memang terkenal dengan sikapnya yang keras kepala, ucapanya tegas dan singkat. Tidak bisa di ganggu gugat. Ya… oleh itu ia terkenal manajer paling angkuh, jangan sampai membuat kesalahan kalo tidak mau dicerca sampai tengah malam. Tapi di dalam dirinya memancarkan karisma, mungkin kalo laki-laki ia begitu berwibawa.Dia juga terkenal baik kepada semua rekan kerja, dari jabatan office boy sampai CEO sekalipun. Tidak pel
Udara malam di musim kering terasa dingin, kalo orang Jawa bilang musim bedidih. Tak heran jika siang panas seperti membakar kulit, jika menjelang malam udara seperti di puncak gunung. Dingin sekali.Seorang wanita usia hampir kepala tiga narik nafas panjang sambil memandang langit, luas tak terbatas, kedua lengan tanganya menyila di depan dadanya merasakan hawa dingin menyapu kulitnya.Masih sama seperti dulu di saat merasakan gundah gulana, Devi akan selalu menatap langit. Sambil mengucapkan sesuatu dalam hatinya“Masalahku kecil, di banding nikmat yang Kuasa.” Kalimat itu yang selalu terbesit jika ia merasa resah. Semacam matra ajaib yang selalu ia ulang-ulang dalam hatinya.Semua berawal dari Ayah Devi sewaktu kecil, ketika dirinya mengeluh saat kesulitan mengerjakan PR atau hal apa pun yang membuatnya tak suka. Hingga dirinya menjelang dewasa selalu terucap dari bibir Ayah.
Cuaca panas menyengat setiap kulit yang telanjang, saat waktu masih menunjukan pukul sembilan pagi. Devi membuka pintu mobil, buru-buru melangkah sekilas menoleh mengisaratkan Tarjo untuk meninggalkanya.Tanganya mendorong hendle pintu, memasuki salon yang berdiri di jajaran ruko dua lantai.“Pagi Bu Devi!”Seru dua orang pegawai salon yang sedang merapikan majalah di atas meja.Seperti biasa Devi tak menjawab, hanya mengangguk pelan dan melanjutkan langkahnya melewati beberapa kursi yang biasa untuk pengunjung potong rambut.Di sudut ruangan paling belakang sebelahan dengan tangga tampak meja sederhana, di atasnya terdapat beberapa alat tulis, buku motifasi, buku seputar mengandung dan leptop. Perlahan Devi duduk, sambil tangannya menyalakan leptop di hadapnya.Perlahan lapak tangannya membelai halus perut yang mulai buncit.
Tak pernah terbayangkah sebelumnya jika proses menyusui begitu menyakitkan. Tidak sekedar mengeluarkan tetek di balik baju lalu dekatkan di mulut bayi. Tak sesederhana itu bagi ibu baru, termasuk Devi.Ketika mulut mungil warna kebiruan dengan lahap berusaha menghisap tonjolan di dada Devi. Rasanya luar biasa perih, sakit seperti diiris dengan sebilah pisau. Rasa itu semakin menyakitkan ketika si mungil Jessy tiba-tiba menangis setelah satu menit menghisab tonjolan di dada Devi.Tak ada air berwarna putih yang keluar dari tubuh Devi, yang ada cairan kental berwarna kuning . Itu pun keluar saat Devi menekan keras bagian ujung putingnya. Bukan hanya buah dadanya saja yang sakit, tapi hatinya juga ikut merasakan ngilu. Ibu mana yang tak merana jika air kehidupan tak kunjung keluar?Namy terus mendesak untuk memberikan susu formula pada bayi Jessy, kuatir dengan cucu kesayangnya telah menguning sebab ku
Tiga bulan yang lalu, sebelum Jessy lahir Devi sudah merasakan beban berat soal uang. Empat orang yang berkerja untuknya. Tarjo, Mbok Min dan dua pegawai salon semua harus di gaji. Uang tabungan hampir terkuras habis untuk modal, sedangkan salon Devi belum seberapa ramai walapun setiap harinya selalu ada peningkat pengunjung.Keuntungan salon cukup untuk membayar dua pegawai dan membeli kebutuhan salon. Perkiraan satu tahun baru berjalan normal, syukur-syukur semakin meningkat.Dengan sangat terpaksa Devi berniat memperhentikan Tarjo, berkurangnya satu pegawai bisa mengurangi beban pikirnya. Toh dirinya bisa mengendari mobil sendiri.Uang warna merah empat puluh lembar sudah siap di amplop, Devi berniat menghampiri Tarjo yang sedang duduk di teras. Siapa sangka orang tua itu sedang berbicara di telefon.Devi tidak tahu persis Tarjo bicara dengan siapa yang jelas menganggil
Waktu berlalu begitu cepat tak terasa proses mengandung, melahirkan hingga menyusui telah terlewati dengan susah payah. Tiga tahun penuh perjuangan. Bukan hanya soal merawat anak dan mendidiknya tapi proses pemulihan luka yang terus saja dicoba dan dicoba lagi namun tak kunjung sembuh dengan sempurna. Tidak semua kesakitan melahirkan nestapa. Kadang kesakitan melahirkan kekuatan bagi mereka yang mau berjuang Devi memang gagal dalam urusan cinta tapi untuk hal lain dirinya pemenangnya. Patah hati tidak menghancurkan seluruh hidupnya. Luka yang masih membara setiap kali melihat pelupuk mata gadis kecil yang kini berusia dua tahun, dua bola mata itu mengingatkan pada sosok bajingan, sosok lelaki yang pernah Devi cinta dan selalu dibanggakan. Tapi hanya gadis kecil itu yang menjadi semangat hidup Devi, ambisinya besar untuk memberikan semua hal yang istimewa. Termasuk
Hay pembaca yang tersayang, saya mengucapkan permintaan maaf yang sebesar-besarnya jika up date bab terlambat hingga tiga minggu lamanya. Bismillah dengan ini saya lanjutkan lagi menulis untuk menghibur kalian semua. * Kini Jessy kecil menangis meronta di pelukan Devi yang berjalan meninggalkan pusaran makam ayahnya. Pria di sebarang mulai melepas kaca mata yang melingkar di kedua bola matanya, seolah-olah menganggu pandanganya, kini matanya tajam melihat Devi yang mulai menjauh. “Sudah sayang, itu bukan mainan!” Devi mencium kening Jessy yang masih meraung-raung. Secepat kilat tangan kanannya membuka pintu mobil dan masuk, seolah-olah bersembunyi di dalam mobil. Jantungnya kini berdekat kencang, matanya terus melihat kebelakang tak memperdulikan Jessy yang tantrum. Devi benar-benar kwatir jika sosok itu menghampirinya. Tapi yang terlihat hanya tubuh gemuk Namy yang menuju mobil. &nbs
Rangga mulai menyadari sikap kakak iparnya yang semakin dingin. Setatusnya sebagai adik kandung Devan tidaklah pantas jika ikut campur rumah tangga yang mereka jalani, memang lancang tapi rasa penasaran tidak bisa ia bendung. Apa lagi pertemuannya dengan Jessy membuat hatinya terus bertanya-tanya sebenarnya apa yang terjadi dengan rumah tangga kakaknya. “Saya minta maaf Mbak, jika tidak sopan,” celetuk Rangga memecah keheningan, sorot matanya begitu tenang tapi tak ada keberanian untuk memandang Devi. Devi tak menjawab hanya mengangguk pelan, beberapa kali menarik nafas panjang berusaha membuang semua sumbatan di dalam dadanya. “Hmmm, Jessy itu anak Mbak?” Devi tersenyum kecut. “Ya,” jawabnya. Kali ini air mata Devi menetes perlahan, bibir warna kemerahanya perlahan menyampaikan tutur kata masalalu yang teramat kelam. Nadanya tak beraturan kadang tinggi sesaat kem