Share

Bab 4. Menghapus Kenangan

Hay pembaca yang baik hati, saya Zedan Zee sebagai penulis mengucapkan terimakasi telah menikmati tulisan saya. Oh ya… kalian dapat mengomentari setiap paragaf yang kalian baca, dengan klik paragaf yang ingin kalian beri komentar, lalu klik icon komentar. Dan saya harap kalian meluangkan waktu untuk memberikan bintang lima untuk karya saya!

Memberi bintang lima itu gratis dan saya akan bahagia jika kalian melakukanya. Ingat! Membahagikan orang lain itu pahalanya banyak, maukan dapat pahala yang banyak? Selamat membaca!

*

Tepat hari ini Devi terakir di kantor, sekilas itu termenung  memandang ruangan kerja yang selama ini menjadi tempat ternyaman setelah rumah, yang sekarang sudah menjadi neraka. Pikiranya terus menari-nari tak menentu, kecerdasan otaknya saat ini rasanya benar-benar menghilang. Nyaris ia frustasi dengan garis takdirnya.

“Tuhan, aku harus bagaimana?” keluh Devi sambil meremas kepala.

Kini ingatanya berputar ke masalalu, tempatnya waktu ingin menikah dengan Devan. Dirinya dan Devan memohon restu pada Lydia yang terus saja membisu, seolah-olah tak perduli. Perjuangan dua orang untuk sebuah ridho ibu, lalu setelah menikah perjuangan itu dilupakan begitu saja.

Cinta terhalang oleh umur, hanya karena alasan Devi lebih tua tiga tahun dari Devan. Usia Devi dua puluh sembilan dan Devan dua puluh enam. Lydia juga tak merestui hubungan mereka dan alasan-alasan lain yang tak masuk akal, seperti arah rumah Devi dengan Devan yang jadi pantangan (larangan).

Lydia sebagai penganut tradisi budaya Jawa yang ketal, percaya jika arah rumah menjadi faktor penentu langgengnya sebuah rumah tangga. Ngalor-ngulon (utara-barat) sebuah mitos yang dipercaya akan membawa kesialan jika pasangan terus saja melangsungkan pernikahan.

“Ya sudah Bu kita jual saja rumah ini! Atau Devan beli rumah di selatan biar bisa nikah sama Devi,” kata Devan di hadapan Lydia.

“Ngak! Ini rumah warisan Bapak kamu. Ibu ngak mau pindah! Apa pun alasanya Ibu tidak setuju!” ketus ucapan yang keluar dari mulut Lydia.

“Bu…” keluh Devan dengan suara sangat paruh.

“Dia itu perawan tua! Kamu bisa cari yang lebih muda dari dia!” Ucapan Lydia semakin pedas.

“Banyak Bu orang-orang yang menikah tapi jarak umur tidak menghalangi kebahagian mereka.” Wajah Devan semakin lesu.

Devi yang berada di dalam mobil hanya bisa mengigit bibir mendengar ucapan Lydia, antara marah, sedih dan ingin mengumpat, bersatu di dalam pikiranya.

Untung saja Lydia calon mertuanya, kalo orang lain pasti Devi sudah mengumpat kasar di hadapanya.

Entah wangsit dari mana setelah beberapa bulan berjuang, akirnya Lydia dengan setengah hati mempersilahkan putra sulungnya menikah dengan gadis pilihanya. Ya… meskipun sikap dingin terhadap Devi masih saja melekat.  

Setiap minggu sekali Devi dan Devan mengunjungi Lydia. Dan selalu ditemui Dewi di rumah itu. Dewi adalah teman sedari kecil Devan, dan orang tua mereka akrab. Itulah yang membuat Dewi begitu percaya diri dan yakin Devan suka padanya. Seperti perasaan yang berkobar dalam hatinya, tapi ternyata perkenalanya dengan Devi yang terhitung hanya beberapa bulan mampu melumpuhkan hati Devan.

Dewi sebenarnya lumayan cantik, tapi jika di banding Devi. Kalah jauh, lebih menawan Devi. Badannya tak terlalu tinggi, sekitar seratus lima puluh lima, kulit putih bersih, rambutnya panjang lurus dengan warna hitam, tubuhnya padat berisi dengan dua buah di dada yang lumayan besar dan seksi. Sekilas jika di lihat tubuhnya mirip penyanyi Marion Jola, sama-sama montok.

Dewi juga sangat pintar bebicara, tak heran Lydia begitu dekat dengannya. Tidak heran kalo pun setelah Devan sudah menikah Dewi masih sering ke rumah Lydia.

Bahkan Lydia-lah yang selalu minta tolong pada Dewi mengantar makan siang ke kantor Devan. Hal inilah yang tidak diketahui Devi hingga saat ini.

“Sudah nak Dewi! Antar saja makanan ini bilangaja dari ibu! Ngak mungkin wanita tua ini keluar rumah setiap hari!” pinta Lydia.

“Kalo Mbak Devi marah gimana Bu?” Nampak ada secerca keraguan di diri Dewi.

“Ngak mungkin—kan ibu yang nyuruh! Devi itu sibuk ngak sempet ngurus suami. Jadi tolong kamu bantuin ibu ya!”

Hal itu di gunakan Dewi untuk mengoda Devan. Dengan sengaja memakai baju dres press body dengan belahan dada yang dalam, menunjukan separoh isi nya. Atau memakai rok di atas lutut menampilakan betisnya yang mulus.

Laki–laki mana yang tak tergoda? Dulu Devan tak tergoda karena belum merasakan hangatnya tubuh wanita, tapi setelah menikah dia mana tahan? Terlebih lagi Devi wanita karir. Kadang sampai rumah hanya sisa–sisa kelelahan.

Hanya butuh waktu dua bulan Dewi mampu menggoda Devan, hampir setiap hari datang membawa bekal makan siang dengan pakean yang super sexy.

Lydia seorang janda. Sudah dua tahun lalu suaminya meninggal. Dua orang putranya semua sukses, Devan menjadi manajer di sebuah perusahan farmasi dan Rangga adiknya sukses dengan menjadi pengusaha muda.

Sejak dua tahun lalu cafe yang di didirikan Rangga maju pesat, dan buka cabang di setiap kota besar di Indonesia, bahkan saat ini akan membuka cabang di negeri tetangga. Wajar saja jika sering luar kota meninggalkan Lydia sendiri di rumah.

Tapi hal itu digunakan untuk Dewi untuk mencuri perhatian dari Lydia. Sering datang ke rumah bahkan menginap untuk menemani Lydia saat Rangga luar kota.

Kalo memang kakaknya tidak aku dapatkan siapa tau adiknya! Niat terselubung Dewi.

“Gimana udah hamil belum Dev?” tanya Lydia yang berdiri di ambang pintu.

“Doain ya bu!” jawan Devi pelan.

“Makanya Van, istrimu itu suruh di rumah ngerawat rumah ngerawat suami! Jangan kerja! Kayak suaminya gak bisa kasih nafkah saja! Fokus punya anak!” ucap pedas Lydia sambil menepuk pundah Devan

Devi hanya terdiam membisu, tak mampu mengatakan sepatah kata pun. Jika dulu alasan membenci Devi karena arah rumah dan umur, kini alasan itu semakin berkembang karena Devi belum hamil. Sial benar nasib Devi, kisah cintanya tak semulus karirnya.

Devan dan Lydia melangkah lebih dulu, Devi masih membeku di ambang pintu masuk. Langkahnya kecil mengikuti dua orang di depannya.

“Ayo makan dulu! Ini Dek Dewi yang masak!” kata Lydia.

Devi terdiam hanya melirik ke arah Dewi. Tidak ada rasa tersisihkan dirinya dalam satu meja makan dengan Dewi. Seorang wanita dewasa waktunya habis untuk nongkrong sana sini dan bersolek. Untuk beli lipstik saja minta bapaknya, yang menjabat DPR.

Anak satu–satunya yang sangat dimanja, bak ikan kecil. Bebas mau apa aja.

Devi menyiapkan sepiring nasi lengkap lauk pauk untuk Devan. Baru mengambil sedikit nasi lauk untuk dirinya sendiri.

“Enak ini Dek Dewi masaknya!” puji Lydia.

“Saya kan cuma bantuin Ibu masak,” ujar Dewi.

“Memang kalo jadi wanita itu baiknya anteng di rumah, tidak usah neko–neko (macam-macam). Bisa nyiapin masakan buat keluarga sudah kodratnya wanita,” tutur Lydia berbicara dengan Dewi.

“Saya nanti kalo udah punya suami juga akan anteng di rumah Bu, ngak usah kerja cukup nerimo (terima) apa yang diberi suami,” ucap Dewi.

Devi hanya menelan ludah dengan semua yang di katakan Lydia. Benar–benar menyakitkan telinganya. Selalu ada saja hal untuk menyudutkan dirinya.

Devan hanya diam tidak mengatakan apa pun, sekilas matanya melirik iba Devi. Pembelaan untuk istrinya sebagai wanita karir tidak keluar dari mulutnya. Devi memang sibuk, tapi untuk merawat suami dia selalu menomor satukan.

Rela jungkir balik untuk tetap menjadi istri yang baik tapi tetap punya prestasi. Tak seburuk yang diucap Lydia.

Justru kali ini Devan asik makan, seperti tidak mendengar pembicaraan  Lydia dengan Dewi.

“Aku kenyang Mas, aku tinggal ke belakang dulu ya!” ucap Devi sambil berdiri meniggalkan meja makan.

Devan baru menyadari jika Devi mulai tidak nyaman di meja makan.

“Eh, sayang mau kemana?” tanya Devan sambil berdiri.

Lydia melotot tajam, sepertinya bola matanya mau keluar saat itu juga “Dewi sudah masak, kamu yang cuci piring ya Devi!” teriak Lydia.

“Iya Bu, saya Cuma mau kebelakang sebentar kok.” Ujar Devi berhenti sejenak dan memaksa senyuman di bibirnya ke arah mertunya.

Devan baru satu langkah mengikuti Devi tapi Lydia menghentikanya. “Eh, Van makanmu belum habis! Hambiskan dulu! Temenin Dek Dewi sama Ibu makan!” ucap Lydia.

Telinga Devi benar–benar panas, langkahnya semakin cepat meninggalkan ruang makan itu. Berharap suaminya melangkah menyusulnya.

Tapi tidak sesuai harapan Devi. Suaminya menuruti perkataan ibunya. Duduk di meja makan bertiga, membiarkan Devi seorang diri menangis sendu di belakang rumah. Rumah mertuanya.

Dan kejadian tadi malam membuat Devi sadar mengapa waktu itu ia tidak mengikuti langkahnya, dan lebih memilih terdiam. Alasanya adalah Dewi, si ular berbisa.

Cepat-cepat Devi menghapus air matanya, berusaha untuk tidak larut dengan kenangan buruk, hal itu hanya akan menambah suasana buruk dalam hatinya. Kini ia berdiri mengambil barang-barang miliknya di atas meja kerjanya dan dalam laci, lalu di masukan dalam sebuah kardus kosong.

Hari sudah semakin sore, Devan melirik jam tangan yang melingkar di lengannya. Waktu menunjukan pukul dua lebih lima puluh menit. Kini ia mulai resah, istrinya Devi sama sekali belum menghubunginya. Ia juga sudah dua kali menelfon tapi sama sekali tidak ada jawaban.

Dua pesan telah terkirim tapi sama sekali belum ada balasan. Jangankan balasan symbol sudah di baca saja belum terlihat.

“Mungkin sekarang dia lagi di rumah. Kan-seharusnya hari ini Devi udah pulang dari Surabaya.” Bisik dalam hati Devan. “Tapi kok tumben Devi tidak menghubungi aku seharian. Ah sudahlah!”

Kini Devan berusaha untuk kembali fokus menatap layar computer di hadapanya. Menyingkirkan firasat-firasat buruk yang menghampirinya.

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Farah raisa
ikutan sedih bacanya...
goodnovel comment avatar
Made Tisna Jatmika
keren jalan ceritanya
goodnovel comment avatar
Purwanti Retno Yudhani
ceritanya bagus, dan bikin penasaran, sukses selalu untuk Thor...️...️......
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status