Share

Bab 5. Secerca Harapan

Mario memasukkan kedua tanggannya ke dalam saku celana, kedua bola matanya memandang pemandangan sedih. Devi memeluk rekan-rekanya di kantor satu persatu. Semua jajaran staf dan manajer sudah berusaha untuk mengurungkan niatnya, tapi pecuma. Devi tetap ingin mengundurkan diri.

Setiap  rekannya bertanya alasan ia mengundurkan diri, hanya satu kata yang terlontar “bosan”. Jawaban bohong dan tak masuk akal. Hanya Mario-lah yang tahu persis alasan Devi mengapa ia berhenti berkerja.

Devi memang terkenal dengan sikapnya yang keras kepala, ucapanya tegas dan singkat. Tidak bisa di ganggu gugat. Ya… oleh itu ia terkenal manajer paling angkuh, jangan sampai membuat kesalahan kalo tidak mau dicerca sampai tengah malam. Tapi di dalam dirinya memancarkan karisma, mungkin kalo laki-laki ia begitu berwibawa.

Dia juga terkenal baik kepada semua rekan kerja, dari jabatan office boy sampai CEO sekalipun. Tidak pelit untuk memberikan tip pada office boy yang setiap pagi mengantar teh panas untuknya.

Dialah orang pertama yang akan mengatarkan kado besar jika rekannya ulang tahun. Ya … sikapnya memang kaku, bicaranya memang kadang terdengar ketus tapi sebenarnya orang baik, penuh kasih sayang walapun bibirnya tidak pernah mengucapkan, Devi bukan seorang pemimpin jahat, sewenang-wenang macam seperti di novel roman.

Kini semua meninggalkan ruangan Devi, setelah menyadari menjadi pusat perhatian seorang Mario. Kaki panjang Mario melangkah mendekat Devi, yang sibuk menghapus air mata, berusaha tersenyum.

“Kamu tetap akan keluar dari perkerjaan yang sudah membesarkan namamu?” Mario duduk di kursi putar depan Devi.

Kepala Devi mengangguk dua kali. “Iya Pak.”

“Oke, jika kamu sudah bulat dengan keputusanmu! Aku tetap akan memberikan kamu pesangon,” ucap Mario.

“Saya sanggat terimakasih untuk hal itu Pak Mario.” Kedua bola mata Devi kembali berkaca-kaca.

“Di mana kamu tempat tinggalmu di Surabaya? Barang kali kita bisa bertemu jika saya ada acara di sana,” tanya Mario.

“Belum tahu, mungkin nanti untuk dua atau tiga hari saya akan menginap di hotel… kalo ngak di rumah sahabat saya.”

“Saya ada rumah di Surabaya, di sana hanya di jaga seorang saja. Kamu sementara bisa tinggal di sana. Itung-itung kamu bisa menghemat pengeluran.”

Devi yang merasa terharu dengan kebaikan Mario berkali-kali menganggukan kepala dan berkata, “te-terimaksih.” Lima detik Devi terdiam, bibirnya terucap kembali, “Pak Mario saya minta tolong untuk merahasikan kepergian saya dan kehamilan ini dari Devan,” pinta Devi dengan penuh harapan.

Hari semakin senja, Devi memasukan kardus  kedalam mobil. Sekilas matanya menatap gedung luas nan tinggi yang tempatnya meraih kesuksesan. Beberapa saat kemudian ia memacu mobilnya di tenggah keramain jalan Slamet Riyadi kota Solo.

Empat puluh menit kemudian Devi mobil Honda Jazz warna putih sudah sampai di pekarangan rumah Namy, kemudian ia melangkah masuk rumah menujuh. Ia memanggil ibunya dua kali.

“Ibu di kamar, kemarilah! Ini masih repot.” Terdengar suara Namy dari dalam bilik kamar.

Devi lantas tak langsung masuk kamar, ia memilih duduk di kursi ruang tamu. Sejenak menyenderkan tubuhnya di badan kursi jati yang usianya lebih tua dari dirinya. Merasakan lelah yang ia rasakan.

Baru satu menit ia duduk santai, benda pintar di dalam tas terasa bergetar. Ia baru teringat seharian sama sekali belum memeriksa ponselnya. Tak ada gairah untuk mengeceknya.

Kini jatungnya berdetak lebih kencang, darahnya mendidih melihat notifikasi chat dari Devan.

Devan {sayang kamu lagi di mana? Aku kangen banget. Aku sudah di rumah, kamu sekarang di mana?}

Bangsat! Ektingmu luar biasa! kata Devi, tersenyum miris.

Devi mengambil kartu sim dari ponselnya, lalu melemparkan ke tempat sampah. Ia benar-benar tidak ingin Devan mengusik hidupnya. Tak ingin larut dalam rasa tak menentu, akirnya ia berdiri dan melangkah menuju kamar Namy.

“Gimana Ibu, sudah beres semua?” tanya Devi, menghampiri Namy, sedang sibuk memasukan baju ke koper.

“Sedikit lagi. Jam berapa kita akan berangkat ke Surabaya?”

“Selepas magrib.”

Devi benar–benar meninggalkan kota kelahiranya. Hatinnya semakin mantap untuk bisa menghapus kenangan perih di kota itu dan memulai kehidupan baru. Keputusanya sudah bulat tidak ada yang bisa menghalingi langkahnya.

Malam ini ia akan berangkat ke Surabaya bersama Namy dan Tarjo. Tarjo adalah sopir pribadi Devi waktu belum menikah, tapi setelah menikah memilih kemana-mana sendiri. Alasan lebih hemat setelah berkeluarga demi membeli rumah impiannya bersama Devan waktu itu.

Karena Devi merasa tak mampu menyetir seorang diri, ia berinisiatif menghubungi Tarjo kembali, dan menawarkan dirinya untuk jadi sopir pribadinya kembali.

*

Hari semakin gelap, azan magrip telah berkumandang. Langit yang berwarna oren kini mulai menghitam. Dua bola mata Devan memandang arah keluar rumah berharap sesuatu. Tapi ternyata belum ada tanda-tanda Devi pulang. Kini ia merasakan firasat tidak nyaman, meskipun dirinya telah mendua tapi rasa cinta masih didominasi untuk Devi. Wajar saja jika ia mulai cemas.

Devan meraih ponselnya, berkali-kali menelfon Devi tapi nomornya selalu di luar jangkauan. Dengan kasar ia mengusap rambut ikalnya, sesaat kemudian ia masuk ke rumah untuk mandi. Siapa tahu Devi pulang, dan dirinya sudah bersih, wangi.

Lima belas menit kemudian Devan keluar dari kamar mandi, dengan cepat ia meraih ponselnya. Berharap Devi telah menghubunginya, tapi ternyata nihil. Seharian sudah Devi tidak ada kabar.

Tak berfikir panjang Devan langsung berkemas, meraih kunci mobilnya menuju hotel tampat Devi berkerja. Hari mulai gelap menambah suasana hatinya gelisah tak menentu. Devan semakin resah, kembali mengambil ponsel dan mencoba menelfon Devi.

“Kamu di mana sih?” cakap Devan, sambil melihat layar ponselnya.

Sebuah mobil dari berlawanan arah hilang kendali, Devan sudah berusaha menghindar tapi naas mobil itu terlampau kencang dan menabrak mobil Devan.

Seketika itu jalanan mendadak macet, setelah terjadi kecelakanan dua mobil. Mobil Devan terbalik dan bagian body depan mobil Devan rusak parah hampir tak berbentuk. Kaca-kaca mobil berserakan.

Semua mata yang melintas tertujuh pada kengerian kecelakan maut yang menimpa dua mobil. Tidak ada satu pun orang berani mendekat, hanya berani memandang dari jauh. Bukan karena rasa tidak empati tapi takut orang yang di dalamnya meninggal, lebih baik pihak yang berwajib menangani kecelakaan itu. Beberapa orang langsung menuju kantor polis, melaporkan kecelakan maut itu.

Devan merasak sakit luar biasa di bagian lengan tangannya, panas, ngilu rasanya seperti copot. Badanya sesak, bibir tak mampuh bicara. Pandanganya mulai rabun, sekuat tenaga melambaikan tangan berharap ada manusia yang dapat menolongnya.

Segerombolan orang datang menghampiri, menekan urat nadi leher Devan.

“Ini hidup, ayo cepet tolongin!”

Segerombolan laki-laki dengan jaket hijau datang beramai-ramai, melakukam evakuasi secepat mungkin. Agar Devan cepat diselamatkan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status