Share

Bab 6. Mantra

Udara malam di musim kering terasa dingin, kalo orang Jawa bilang musim bedidih. Tak heran jika siang panas seperti membakar kulit, jika menjelang malam udara seperti di puncak gunung. Dingin sekali.

Seorang wanita usia hampir kepala tiga narik nafas panjang sambil memandang langit, luas tak terbatas, kedua lengan tanganya menyila di depan dadanya merasakan hawa dingin menyapu kulitnya.

Masih sama seperti dulu di saat merasakan gundah gulana, Devi akan selalu menatap langit. Sambil mengucapkan sesuatu dalam hatinya

“Masalahku kecil, di banding nikmat yang Kuasa.” Kalimat itu yang selalu terbesit jika ia merasa resah. Semacam matra ajaib yang selalu ia ulang-ulang dalam hatinya.

Semua berawal dari Ayah Devi sewaktu kecil, ketika dirinya mengeluh saat kesulitan mengerjakan PR atau hal apa pun yang membuatnya tak suka. Hingga dirinya menjelang dewasa selalu terucap dari bibir Ayah.

“Ingat! Nikmat Allah lebih banyak dari pada masalahmu!”

Biasanya Ayah akan mengucapkan itu sambil mengusap kasar ubun-ubun Devi, lengkap dengan senyuman lebar dan sesekali mencubit pipi putri kesayanganya.

Berjalannya waktu, kata-kata itu menjadi mantra ketika ia merasa sedang dihimpit kesulitan.

Tarjo sibuk memasukan koper satu persatu ke bagasi mobil Honda Jazz milik Devi, Namy mengunci rumahnya. Sekilas ada roda wajah sedihnya meninggalkan rumah yang penuh kenangan itu.

Rumah yang sederhana khas Solo. Dinding depan dengan papan kayu jati yang usianya sudah puluhan tahun, lengkap pintu kayu yang berdiri kokoh. Bagian belakang dan samping berdinding batu bata merah. Bagian depan terdapat emperan (pendopo) yang cukup luas  dengan empat pilar (tiang). Itulah rumah warisan turun temurun dari nenek dan buyut Devi, yang sudah mengalami beberapa kali renovasi. Dari rumah adat murni Jawa kuno sekarang beralih ke Jawa lebih modern.

“Apakah Ibu sedih meninggalkan rumah ini?” tanya Devi yang mendekati Namy.

Namy berusaha menahan air mata yang meronta-ronta ingin keluar. “Lumayan, tapi tidak masalah. Nanti kalo kita kangen rumah ini, kita pulang,” kata Namy.

Devi lebih dulu membukaan pintu mobil untuk Namy, baru dirinya melangkah ke samping mobil, masuk dan duduk di sabelah Namy. Sesaat kemudian Tarjo membawa laju mobil melintasi jalan raya Solo.

Sepuluh menit mobil itu melaju, dari arah berlawaan mobil ambulan melaju kencang dengan lampu menyala di atasnya, lengkap dengan suara sirine nyaring. Mobil-mobil di jalan  seketika mingir, memberi jalan.

Hanya perlu beberapa detik suara sirine itu menghilang, pasti sopir di dalamnya kesetanan membawa orang yang sedang butuh bantuan medis.

Sekitar lima belas menit mobil Devi yang dikemudikan Tarjo melaju melewati area kecelakan yang sudah di beri garis polisi, berwarna kuning. Ada dua mobil derek di sana dan sekitar sepuluh orang dengan seragam polisi wora wiri di sekitar area kecelakaan, memberi tanda putih di jalan raya.

Sekali lagi, Devi hanya memandang satu detik sebuah mobil Avanza warna hitam bagian depan rusak parah, dan sebelahanya mobil tidak terlalu terlihat, karena minim cahaya. Cepat-cepat Devi mengalihakan pandangan matanya. Dia benar-benar menghindari pemandangan yang semakin merusak suasana hatinya.

“Itu kayaknya kecelakanya parah ya?” celetuk Namy.

“Iya Bu, saya lihat mobilnya ringsek,” ujar Tarjo.

Sesaat dalam mobil itu kembali sunyi tanpa ada suara manusia, hanya suara derung mesin mobil. Menyusurui jalan kota Solo menuju jalan tol Trans Jawa.

*

Empat jam perjalanan akirnya mobil Honda Jazz putih turun di tol Satelit Surabaya Barat, Devi melirik jam tangan mungil yang melingkar di pergelangan tangannya, waktu tepat pukul sebelas lebih empat puluh menit. Kemudian Devi memberi arahan kemana Tarjo akan mengemudi.

“Itu rumah siapa Dev?” tanya Namy

“Bos saya Bu saat aku kerja di Solo, beliau meminta Devi tinggal di rumahnya yang kosong, untuk sementara.” Terlukis senyuman tipis dari wajah Devi.

Namy yang sudah letih mengurungkan sejuta pertanyaan dalam hatinya. Memilih terdiam seribu bahasa.

Sampailah di pintu masuk dengan gapura megah besar. Ada dua pos satpam di sebelah kanan kiri, di sebelah samping ada dua pohon palem di dalam pot ukuran besar, diamernya dua puluh lima centi meter. Tinggi pohon palem itu kira-kira satu meter dengan daun mirip kipas dengan ujung pada daun meruncing. Tanaman hias yang menarik untuk dipandang.

Terjo turun menyapa salah satu security. Bertanya alamat rumah yang akan ditujuh. Namy menurunkan kaca mobil di samping tempat duduknya. Ikut mendengar interuksi dari satpam perumahan itu.

“Deket kok Pak! Lurus! Nanti ketemu perempatan belok kiri ke jalan Paviliun. Lihatin aja setiap nomor setiap rumah!” kata salah satu laki-laki yang berhadapan dengan Tarjo.

Satu menit kemudian Tarjo masuk mobil. “Tidak jauh dari sini Bu rumahnya. Katanya lima menit dari pintu masuk,” tutur Tarjo.

Devi tak menjawab hanya mengangguk pelan. Matanya terus memandang jalan pemukiman yang cukup mengagumkan. Lampu berwarna putih berjejer di setiap lima meter jalan, tepat di tengah-tengah tumbuh pohon palem ekor tupai yang tinggi hampir tujuh meteran, ciri khas perumahan elit.

Rumah megah di sisi jalan kanan dan kiri, yang begitu mewah lengkap dengan gerbang gagah yang di depan pekarangan. Bebarapa lampu menerangi sisi sudut ruangan. Mengingatkan Devi akan cita-citanya bersama Devan, untuk memiliki rumah mewah dengan fasilitas lengkap di dalamnya. Ya setidaknya seperti rumah-rumah yang ia lihat malam ini.

Ingatan itu membuatnya mual, tanpa Devi sadari dirinya menundukan pandanganya. Patah hati membuat seseoran menjadi kacau, jangankan melihat rumah yang pernah di cita-citakan berdua! Lihat tai ayam saja bisa mengingatkan gerangan.

“Kamu baik-baik saja?” Namy menyentuh pundah Devi.

Devi mengangkat wajahnya dan mengeleng pelan. “Ngak apa-apa Bu.”

Mobil itu berhenti di depan rumah dengan nuansa minimalis modern. Wajah Tarjo  yang terlihat kusut menoleh ke belakang. “Bu ini rumah nomor 15,” tutur Tarjo.

Devi tak menjawab, hanya tersenyum tipis lalu menoleh memastikan jika ini rumah nomor 15. Tarjo yang terbiasa dengan sikap Devi pelit bertutur kata tak ambil pusing, dirinya bergegas turun. Dengan cepat membukakan pintu untuk Namy.

Devi dengan cepat turun matanya tertujuh pada bangunan rumah model minimalis modern. Gerbang dengan papan kayu warna coklat cerah yang mengkilat di bawah cahaya lampu di sisih kanan dan kiri gerbang.

Sebelah gerbang berdiri tembok tinggi dua meter, dengan dinding batu palimanan, warna coklat kekuningan dengan pemukaan yang bergelombang meningkatkan kesan natural.

Devi segera menekan bel kecil di bawah lampu lampion sisi kanan gerbang. Sesaat wanita tergopoh-gopoh membuka kunci pagar.

“Anu-Mbak Devi ya? Silahkan masuk! Maaf saya ketiduran.” Wanita yang terlihat rambutnya mulai beruban menebarkan senyuman.

“Iya saya Devi, rekan Pak Mario-,” suara Devi terhenti ketika wanita di hadapanyanya memotong ucapnya.

“Saya sudah tahu. Tuan tadi telfon saya, kasih tahu kalo rumah ini bakal ada yang huni. Saya seneng sekali. Akirnya ada temanya.” Mulutnya yang tipis dan kulitnya yang mulai keriput begitu lihai bercakap. “Oh ya! Belum kenalan. Namanya Mina pangil saja Mbok Min.”

“Mbok Min.” Kedua alis Devi mengkerut sedikit heran dengan nama orang yang bakal menjadi asisten rumah tangganya.

“Iya. Ada yang salah?” tanya Mbok Min bercanda.

Devi terpaksa tersenyum sedikit kecut. “Oh ngak kok Mbok.”

“Lihat tubuh saya yang tidak seberapa tinggi! Teman-teman saya waktu SD suka panggil saya Min alisan Minus, minus tinggi. Min… Min… Min ya sudah saya biarkan saja.” Mbok Min terus saja bersilat lidah, seolah lupa mempersilahkan masuk tamu di hadapnya.

Devi hanya nyengir dengan dongeng Mbok Min, kalo buka pertama kali bertemu pasti dirinya sudi meladeni ocehan Mbok Min di tengah malam, di depan pagar pula.

“Bu… ini kopernya di taruh mana ya?” Tarjo bertanya di belakang Devi.

“Aduh saya kok lupa ngak tak suruh masuk. Ayo masuk!” Mbok Min membuka pagar dengan lebar.

Devi menarik nafas sedalam-dalamnya, hatinya digelitik dengan sikap konyol Mbok Min. Kedua kakinya melangkah masuk kepekarang rumah.

Dua daun pintu dari kayu dengan sedikit ukiran di tengahnya, terbuka sedikit. Lampu gantung berbentuk bulat mirip sekali dengan lampion, terkesan klasik menyala dengan cahaya warna kuning. Tepat berada di pelafon yang berwarna coklat. Perpaduan yang pas. Sederhana tapi tidak meninggalkan kesan mewah

Mbok Min berjalan terlebih dahulu di ikuti Devi dan Namy sedangkan Tarjo sibuk wora wiri memasukan koper ke dalam rumah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status