Share

Bab 4

Orang-orang berhamburan menghampiri mobik BMW milik Zain. Mereka membuka pintu mobilnya dan menarik sang pemilik dari mobil tersebut. Sedangkan Prita sudah keluar duluan dan memuntahkan isi perutnya. Dari kecil Prita memang tidak kuasa apabila berlama-lama di dalam mobil. Jangankan naik, mencium aroma mobil saja kadang membuatnya suka mual dan pusing tiba-tiba.

Saat Prita mendongak, ia tampak tak asing dengan tempat ini. Ini adalah jalan di mana ia dan Zain bertemu kemarin malam. Tetapi anehnya saat ini Prita tak nampak pohon besar yang Prita lihat malam itu.

Prita membersihkan mulutnya dengan tangan dan melihat seorang wanita dengan dandanan ala orang pintar masuk ke mobil, sebelumnya, wanita itu memberikan senyuman yang sulit diartikan oleh Prita.

"Neng, gak apa-apa?" tanya bapak-bapak heboh memeriksa keadaan Prita.

Saat itu juga Prita baru tersadar bahwa dirinya dan Zain menambrak mobil orang dari belakang.

"Eh, g-gak apa-apa, kok, Pak." Prita menelusuri jalanan, ingin mencari seseorang yang telah ditabrak Zain.

"Mobil yang ditabrak sekarang ada di mana, ya Pak--"

Buk!

Prita meringis saat kepalanya ditimpuk tas miliknya oleh Zain.

"Untung aja nyawa gue gak melayang! Perbuatan lo ini udah membahayakan nyawa orang tau, gak?! Dasar sialan!" umpat Zain. Cowok itu mungkin terkejut dan masih syok. Zain pergi dengan mobil yang menjemputnya. Kondisi keduanya memang tidak terlalu menghawatirkan, sebab hanya terkena benturan sedikit saja.

Prita hanya mengulang kalimat yang diucapkan Zain dengan bibir maju beberapa senti. Setelah itu ia meminum sebotol air mineral yang diberikan warga yang menolongnya.

"Lagi bertengkar dengan pacarnya, ya Neng?"

"Pacarnya kejam banget, masa Mbaknya di marahin."

"Yang sabar ya, Neng."

Prita jadi bingung sendiri mendengar tanggapan mereka. Ia langsung minta diri untuk pulang ke rumahnya.

***

"Makanya Pri, kalo jalan tuh liat-liat. Masa tiang listrik kamu tabrak." Resti terus mendumel seraya terus mengompres lebam di kening putrinya. Mulutnya tak berhenti nerocos membuat Prita tak tahan ingin enyah. Namun, walaupun ibunya sangat rewel ia sangat bersyukur selalu bisa bersama dengannya.

Sebenarbya ia terpaksa berbohong. Ia tidak mau membuat ibunya khawatir jika mengetahui dirinya baru saja kecelakaan kecil. Ia takut ibunya langsung panik dengan embel-embel akan membawanya ke rumah sakit. Prita tidak mau itu terjadi.

Setelah mengkompres lebam dikening Prita, tangan Resti meraih telinga Prita dan menariknya hingga anak itu meringis.

"Aaww! Ibu kok jewer kuping Prita, sih?"

"Sekarang kamu ngaku? di mana lipstik-lipstik ibu?"

"Hah lipstik? Eggak tahu, Bu."

"Alah, gak usah berpura-pura lagi. Ibu sudah tahu. Setiap pagi bibir kamu merah pasti pake lipstik ibu 'kan."

Jleb!

"Masih sekolah udah berani dandan kayak yang mau kondangan! Ibu tahu kamu sering ambil lipstik ibu dan kasih ke ponakannya untuk si Iren!"

Ini yang lebih jleb dari semua yang sudah diketahui Resti. Darimana ibunya tahu bahwa tantenya Cici yang menyuruh mencari rahasia benda yang sering Resti pakai itu? Prita misem-misem sambil menggeser bokongnya agar perlahan menjauh.

"Maaf ya, Bu. Prita jual merek lipstik ibu!" teriak Prita setelah berhasil kabur.

Resti tersenyum smirk. "Mana mungkin si Iren nemu lipstik yang kaya aku? Wong aku bikin sendiri." Tertawa keras.

***

"A' Yudi bangun atuh, Nak. Di luar sudah ada teman kamu."

Lelaki itu malah mengeratkan selimutnya seolah suara ibunya hanya ada dalam mimpi. Yudi sangat sekali malas bertemu dengan siapa pun untuk malam ini. Ia hanya ingin beristirahat sesudah tadi beberapa orang membanting tubuhnya.

Ya, sore tadi tiba-tiba saja acara balapan yang akan dimulai malah berubah menjadi perkelahian sengit antara Zaggar dan Parpati. Semua ini gara-gara ketidak hadiran Zain di lokasi. Zaggar menganggap ketua dari Parpati tidak ada nyali dalam menerima tantangan padahal sejatinya tadi sore Zain dilarang keluar karena baru saja ia kecelakaan. Meskipun tidak ada hal serius, Zeno tetap khawatir jika Zain ikut balapan di saat seperti ini.

Brak!

Lancang. Ya, pria bertubuh tinggi itu masuk begitu saja ke kamar Yudi. Sang ibu pergi keluar untuk mengambil obat setelah Zain datang.

Zain membuka selimut Yudi. Mulutnya tampak setengah terbuka. Cukup terkejut dengan lebam di paha hingga perutnya.

"Aduh, ibu. Yudi mau istirah--"

"Eh, Zain ...." Yudi nyengir kuda ketika mengetahui Zain ada di sini.

"Zaggar yang lakuin ini?" Tatapannya menohok.

"Saha dei?"

"Brengsek!" Ia merapatkan giginya menahan amarah.

"Mereka ketawa karena maneh gak datang Zai. Apalagi si borokok yang namanya Danu. Udah merasa menang aja."

"Sialan!" Tanggap Zain semakin kesal.

***

"Pamali tau Pri kalo yang polesin masker itu gue. Lo 'kan mau tidur jadi roh kita tuh sering jalan-jalan kemana-mana. Terus nanti pas dia liat wajah lo yang cemong dia gak bakal ngenalin raga lo dan roh lo mungkin aja nyasar ke raga orang lain. Mau lo kayak gitu?"

"Ah, masih aja percaya hal begituan. Udah cepetan maskerin wajah gue, habis ini lo gue izinin balik." Tentu Prita masih menggunakan akal sehatnya. Yang dibicarakan Cici sama sekali tidak masuk di akal.

Prita berbaring. Bersiap untuk diolesi masker madu bercampur yogurt. Cici mengembuskan napas dan menurut saja.

Di tempat lain, Yudi dan Zain saling berdebat mengenai siapa yang paling memikat.

"Ganteng doang, tujuh belas tahun menjomblo!" sindir keras Yudi.

"Emang lo gak jomblo?" Membalas dengan wajah datar.

"Jomblo sih, tapi aing teh pernah punya pacar. Emang bos besar cuma ganteng doang tapi gak laku-laku--" Yudi segera Menutup mulutnya saat Zain menatapnya tajam. Beginilah jika bercanda dengan Zain, siapa pun harus hati-hati dengan mata elangnya.

"Lo gak lihat setiap pagi di meja gue banyak hadiah-hadiah dari siswi di sekolah? Sayangnya kita baru kenal pas SMA. Lo gak tau aja sejak Tk sampai SD gue udah sering ditembak cewek," timpalnya membuat Yudi kalah telak. Ya, siapa juga yang bisa meragukan ketampanan Zain Mahesa Andara. Sekali lirik mereka langsung tertarik.

"Sini muka lo gue coret pake spidol!" Zain menarik wajah Yudi mendekat.

Yudi secara tiba-tiba juga membuat wajah Zain khas eropa itu dipenuhi coretan tidak jelas. Mungkin jika bukan karena sedang ada masalah sama Joan Zain tidak akan datang ke sini untuk mendengar kabar anak-anak PARPATI. Walaupun terkadang Yudi sering kekanak-kanakkan, tetapi jika ada masalah di antara keduanya ialah yang jadi penengah.

Sudah hampir pukul sepuluh malam, Zain pamit. Di luar Zeno sudah menjemput dirinya. Zain sangat menyayangi beliau, sebab sedari kecil Zeno sudah dianggap kakak kandungnya sendiri begitupun apa yang Zeno rasakan pada Zain. Mereka tumbuh bersama sejak ibu Zain tiada.

"Muka lo udah kayak kucing garong aja tau gak!" Zeno cukup terkejut melihat penampakan Zain saat masuk mobil.

"Kucing garong berwajah tampan?"

"Yang manamnya kucing mau tampan atau kagak kelihatannya tetep aja kucing. Ada-ada aja lo."

Sang empu hanya menggedikkan bahu tak peduli. Zain mencari-cari tisu di sekitar, tetapi takjumpa.

"Gak ada sapu tangan atau tisu. Udah nanti aja di cuci muka lo di rumah. Lagian permainan kalian itu kayak anak Sd tau gak. Norak!"

"Gue cuma mau lebih dekat aja sama Yudi. Lo tahu kan dia sering jadi peredam amarah gue kalo lagi kesel sama Joan."

"Ooh, ceritanya lagi kesel sama Joan? Apa karena kedatangan Joy?"

"Udahlah gue males omingin beginian!" Zain berbalik ke arah jendela. Melihat jalanan yang lumayan sepi.

***


Comments (1)
goodnovel comment avatar
MoonNj Ki
ngakak wkwkw
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status