Yudi tampak menimang-nimang apa yang akan mereka lakukan, sebab jarang sekali cewek yang menjadi target mereka.
"Mmm, kita apain, yah?"
Deo dan Jali masih menahan tubuh seseorang dalam karung yang mereka duduki di kursi kudang yang tampak sudah usang termakan waktu.
"Gelitikin aja gimana?" Jali menautkan alis.
"Ini cewek bro ... sensitif kalo main raba-raba aja."
"Gagabah maneh teh!" Semprot Yudi pada Jali.
"Eh! Eh! Buka dulu karungnya. Kasian dia kehabisan napas atuh!"
Napas Zain terdengar ngos-ngosan setelah Jali dan Deo membuka benda yang menutupi dirinya.
"Kurangajar?!" Zain berontak dan menendang lutut Yudi yang sedang duduk berhadap-hadapan dengannya.
Kedua cowok itu makin mengeratkan tali yang mengikat Zain. Mereka terkejut dengan tenaga yang barusan dikeluarkan cewek itu, sampai-sampai hampir saja Yudi terjungkal.
"Wah, buas nih! Gawat atuh ieu mah ...." Yudi mengelus dada.
"Ngapain kalian ngarungin gue? Yang seharusnya kalian karungin itu cewek itu?!" protes Zain yang bermaksud menargetkan Prita.
"Cewek yang mana? Orang Zain nyuruh kita itu elo!"
"Udah deh, glitikin aja sampe nangis. Yang penting 'kan kita udah ngasih pelajaran ke ni orang," timpal Jali final.
"Lo sentuh gue, gue bakalan ngeluarin kalian dari PARPATI?! Cepat lepasin gue!"
Ruangan langsung bergemuruh dengan tawa ketiga cowok itu. Deo mendekatkan wajahnya pada Zain.
"Memangnya lo siapa? Pacar Zain? Jika pun ia, kami gak akan nurut kecuali sama ketua Parpati!"
"Cih, gue ini Zain goblok!" umpatnya.
"Haha, sejak kapan Zain berubah jenis?"
"Udah gaes, mari beraksi! Cewek ini ternyata emang ngeselin!"
Sebelum mereka bertindak tiba-tiba pintu gudang terjeblak. Cici datang dengan sebuah sapu ditangannya juga ada Joan di samping gadis itu.
"Lepasin temen gue!" Cici bersiap untuk menyerang mereka. Sedangkan Joan berjalan santai dan berkata,
"Kalian gak ada kerjaan lain apa selain gangguin cewek ini? Prita punya masalah sama Zain bukan sama kalian."
"Zain yang nyuruh Jo."
"Kami bertiga cuma bantuin Zain--"
"Lepasin temen gue!" ulang Cici berteriak.
Ketiganya hanya saling menatap secara bergantian. Joan dengan gesit melepas tali yang melilit tubuh Zain. Wajah Zain menatap sinis ke arah Joan.
***
Tak berapa lama Cici kembali ke kelas. Ia cukup terkejut dengan kehadiran Zain di bangku Prita.
Tadi sebelum kembali ke kelas, Cici berpisah dengan Prita. Temannya itu terlihat cuek padahal baru saja Cici membantunya. Boro-boro berterima kasih, berbicara basa-basi pun tak ada.
"Waduh gawat nih," batin Cici seraya terus berjalan ke bangkunya.
Cling!
Cowok itu malah tersenyum dengan menunjukkan rentetan giginya yang putih ke pada Cici yang sekarang jantungnya mendadak maraton.
"Dari mana? Lama amat."
"E' gue, Kak?" Cici menunjuk dirinya sendiri untuk memastikan. Ia semakin dibuat gugup.
Tak berapa lama kegugupan Cici akhrinya berakhir. Bu Wida masuk kelas dan menyapa semua murid.
Cici masih celingak-celinguk menunggu Prita. "Wah, telat tuh anak."
"Zain?" Bu Wida mendekat.
"Ngapain ada di kelas sebelas?"
Saat itu juga Prita langsung menepuk jidatnya. Kenapa lagi-lagi ia lupa? Ia 'kan bukan Prita lagi.
Tanpa menjawab pertanyaan dari Bu Wida Prita langsung bergegas ke luar dengan terbirit.
Ketika di luar ia bertabrakan dengan sang pemilik raga yang atmanya tinggali ini. Prita yakin, Zain juga di usir dari kelasnya sendiri.
"Urusan kita belum selesai?!" Tajam Zain dengan pandangan membidik.
"Yeuh ... mau marah-marah gak jelas lagi sama gue?" cecar Prita tak kalah tajam. Mereka pergi ke arah berlawanan.
Setibanya di kelas Zain langsung di suruh duduk oleh Bu Wida, karena kelas akan segera dimulai.
Cici buru-buru menggeser kursinya mendekati temannya itu. Ia berbisik-bisik di tengah materi yang sedang dijelaskan guru di depan.
"Eh, eh! Tadi Kak Zain ada di kelas kita. Tau gak, mukanya itu nyeremin banget kayak anak konda."
"Kalau bukan karena dia ketua PARPATI udah gue jambak tuh rambutnya. Gemes gue Pri, pagi-pagi udah bikin anak orang terintimidasi aja--"
"Apa lo bilang? Gue kayak anak konda?" Geram Zain. Sudah jelas-jelas orang yang sedang dibicarakan Cici ada di sampingnya, cewek itu malah terus mengumpati nama Zain dengan nama binatang.
"Bukan elo Pri, tapi si Zain. Euh dasar Zain monyet! Drakula! Anj--" Cici segera menutup mulutnya saat Bu Wida mengalihkan pandangan padanya.
Zain terdiam menahan kekesalan yang hampir membuat ubun-ubunnya meledak. "Ooh, jadi lo suka ngatain gue? Awas aja ya kalian. Kalo bukan karena gue ada di tubuh cewek sialan ini, lo juga bakal gue jadiin mangsa, bego." Zain membatin.
Di sela-sela materi yang masih belum selesai Bu Wida terangkan, Cici masih saja tak berhenti mengiceh. Dan mungkin ini sudah keempat kalinya Cici berganti topik.
"Yaampun, Ci. Bibir lo pucat banget. Lo gak pake lipstik ibu lagi apa? Eh, ngomong-ngomong kemarin tante gue beli lipstik yang sama dengan merek yang lo tunjukin dan ini yang kelima kalinya lipstik yang Tante Iren beli gak sama warnanya. Aneh gak sih? Sama mereknya tapi lipstiknya berbeda?" celotehnya. Ia mulai mengeluarkan benda yang isinya cairan merah muda berbentuk gel secara diam-diam.
"Nih, olesin dulu bibir lo. Mumpung Bu Wida masih nerangin materinya."
Zain mendelik. Merapatkan giginya lalu berujar," Ngapain gue pake begituan? Gue masih normal!" bisik Zain penuh penekanan.
"Lo kenapa sih, Pri. Kok jadi aneh gini sikapnya? Lo lagi PMS, ya?"
***
Hari ini di kelas 12 sedang ada latihan soal-soal untuk menghadapi ujian di semester genap nanti. Semua siswa terfokus pada angka-angka yang jadi sarapan paginya.
Sementara di sisi lain, Prita kebingungan sendiri dengan soal-soal di depan matanya. Tentu ini bukanlah tugasnya. Ia sama sekali tidak mengerti apa yang harus ia lakukan.
"Duh, mana gue tau ... materi ini di kelas sebelas belum diajarin."
Beberapa siswa ada yang sudah mengumpulkan kertasnya.Sedangkan Prita belum mengisinya dari nomor satu pun.
Mata Prita mulai curi-curi pandang ke yang lain. Tepatnya pada siswa berkacamata di sampingnya yang entah siapa namanya.
"Mau nyontek yah?" tanya cowok itu hati-hati. Sesekali membenarkan kacamatanya yang melorot.
"Emang boleh?" jawab Prita tak kalah pelan.
Dengan gamblangnya pria itu memerikan semua jawabannya secara percuma. Prita segera mencatatnya secepat kilat.
"Walaupun ini cuma latihan uji coba, Bapak tidak mau ada yang mencontek!" sindir Pak Arga.
Cowok berkacamata wanti-wanti takut ketahuan. Ia masih berjaga-jaga agar Pak Arga tidak melirik ke sini.
"Udah belum, Zai?"
"Tar lagi beres, kok."
Mata Pria yang ada di samping Prita seakan mau keluar saat ia melihat Pak Arga sudah berjalan mendekati bangku mereka.
"ZAIN MAHESA?" gertak Pak Ardi menglihkan semua pandangan seisi kelas.
***
"Matematika 'kan pelajaran favorit lo Zai. Kok, bisa-bisanya lo nyontek sama si Jaki?"Deo dan Jali sibuk mengipas-ngipasi keringat Prita yang bercucuran setelah tadi gadis itu ketahuan mencontek dan disuruh lari keliling lapangan sebanyak tujuh kali. Ternyata guru kelas 12 lebih menakutkan daripada guru BK. Dan ini menjadi pengalaman pertama seorang Prita dihukum."Yang kenceng!" perintah Prita."Ternyata enak juga jadi dia. Punya pelayan yang siap gue suruh apa pun. Rasain kalian. Ini akibatnya karena udah berusaha mengintimidasi adik kelas." Lagi-lagi Prita menyergah dalam hati dengan penuh kepuasan."Eh, ngomong-ngomong si Joan mana, ya?" Deo mulai cari-cari pandang ke setiap sudut lapangan hingga koridor."Lagi sama si Joy kali. Lagian hubungan mereka itu gak jelas masih aja dipertahanin.""Si Joy cantik-cantik kok buaya, yah. Si Joan juga bego. Masih mau aja sama tuh cewek.""Sut! Sutt! Orangnya datang." Jali berbisik heboh.Joan
"Udah sekarang lo balik ke rumah lo! Dan gue kembali ke rumah gue. Siniin kunci motor gue! Gue gak mau pake motor butut lo lagi!""Tapi 'kan raga kita masih ketuker. Apa mereka bakal--""Gue tinggal bilang kalo gue kena kutukan gara-gara lo--""Enak aja! Ini bukan karena gue ya. Ini itu udah takdir alam. Gue yakin alam semesta ini bakalan kasih petunjuk dengan apa yang udah terjadi ini."Zain mendecih sinis, "Cih, bahasa lo!"Mata Zain teralihkan pada lebam di wajah Prita. "Obatin luka itu! Gue gak mau wajah gue yang tampan rusak. Lo harus tanggung jawab." Zain melesat setelah menaiki kendaraan mewah yang sudah ia rebut kembali dari Prita.***Pintu rumah Prita tampak masih tertutup rapat. Tandanya sang ibu masih belum pulang ke rumah.Ia langsung merebahkan tubuhnya pada kasur empuk nan nyaman. Prita memandang langit-langit dengan pikiran berkecamuk."Apa si yang udah gue lakuin? Kenapa gue bisa berubah gini?""Apa iya gue
Kelap-kelip lampu yang mengambang di kolam renang mengalihkan perhatian Prita yang baru saja masuk.Mulutnya menganga melihat kemewahan acaranya. Ternyata Zain ini benar-benar keturunan orang kaya."Zai!" panggil seorang gadis yang tampak cantik dengan gaun putih selutut.Tiba-tiba gadis itu bergelayut pada tangan Prita."Kamu datang, Zai?" Joy tersenyum.Prita kaget setengah mati mendapati Joy yang sedang memeluk tangannya.Prita tampak bingung sendiri saat Joy membawanya ke hadapan orang-orang berpakaian serba rapi dan gelamour."Anak Papa tampan sekali," kata pria yang entah siapa, Prita tidak mengenalinya.Yang lebih membuat Prita terhenyak adalah kehadiran Danu. Cowok itu berdiri di belakang Delon dengan wajah sinis. Lalu, perempuan di sebelahnya juga nampak tak suka dengan Prita yang bertubuh Zain.Sesaat kemudian, Delon melambaikan tangan kepada seseorang di belakang Prita. Prita menoleh dan lagi-lagi
Bersedekap dada dengan wajah ditekuk, itulah yang sedang Pinka lakukan ketika melihat sosok Prita berjalan melewatinya.Tak butuh waktu lama, Pinka langsung menarik tubuh Prita dari belakang. Ia dan kedua temannya menyeret gadis itu ke dalam toilet."Ngapain si lo, akhh ... lepasin!" rontak Zain brutal.Plak!"Kurangajar! Dasar cewek gak tau malu! Apa maksud lo hancurin acara pertunangan Kak Joy dan Zain?" tanya Pinka galak.Zain menyunggingkan bibirnya lalu meludah. "Cuih, peduli apa lo?"Zain tahu Pinka tidak suka dengan dirinya, ia tidak pernah berpihak padanya dan buktinya Pinka tidak mau mengakui Zain sebagai saudaranya, karena Zain tahu Pinka malu mempunyai saudara anak haram seperti dirinya.Pinka makin dibuat geram dengan tingkah Prita yang sebenarnya adalah Zain. Ia menjambak rambut panjang cewek itu dan memberikan tatapan tajam."Makin hari lo makin berani ya, sama gue!" Tekan Pinka."Dev, ambilin a
"Mau kemana? Sekarang lo gak bisa kemana-mana.""Mau ngapain si lo pada, gak ada kerjaan banget bully gue terus. Kurang kapok gue Jambak? Apa perlu gue buat darah keluar dari tubuh kalian?" Sorot Zain tajam.Mereka semua malah tertawa tanpa rasa takut. "Tutup bacot lo, ada seseorang yang ingin ketemu sama lo!""Siapa?" Sinis Zain."Kak Joy!" Pink tersenyum miring. Setelah Joy masuk pink cees keluar. Joy mendekati Zain di pojokan sana, ia sedang memerhatikan Joy yang tidak bisa ditebak."Ngapain lo ke sini?" Jutek Zain.Joy mengukir senyum di bibirnya."Kenapa si Pria? Kamu ada dendam apa?" Joy tampak mengelus rambut Zain.Beberapa saat kemudian Joy menjambaknya."Akkk, sakit bangsat!" ronta Zain. Tawa dari Joy mulai terdengar."Sakit ya, lebih sakit mana saat lo hancurin acara tunangan gue sama Zain. Lo itu siapanya Zain si? Lo gak berhak masuk ke kehidupan Zain anak kampungan!"Zain menyunggingkan seny
Mulai saat ini Cici menjauh dari Prita. Ia yakin cewek di sampingnya ini sebutnya adalah Zain. Karena dari sejak beberapa Minggu yang lalu sikap Zain yang menghawatirkannya sama persis dengan Prita.Zain menoleh pada Cici yang sedang memperhatikannya. Ia melotot tajam membuat Cici segera melihat ke papan tulis lagi."Mimpi apa gue harus satu bangku sama ni monster," batin Cici merasa takut.Di sisi lain, Prita tidak masuk sekolah, karena ia sedang mendatangi tempat kecelakaan antara dirinya dan Farel waktu lalu."Perasaan tempat ini gak keramat. Terus penyebab jiwa gue nyasar kenapa?" Prita melihat hanya melihat beberapa pohon yang sekarang di isi oleh pedagang.Refleks Prita melihat seorang wanita yang tampak berpakaian aneh sedang melihatnya sambil tersenyum miring.Wanita itu segera menyebrang jalan saat terciduk oleh Prita."Hei! Mau ke mana?" teriak Prita. Ia segera mengejar wanita tersebut.Wanita itu tetap berjalan cepat
Drrtt! Drrtt!Zain meloncat ke kasur untuk mengambil ponselnya yang sedari tadi berdering.Hep!Zain berhasil menangkap benda tersebut. Ia melepas handuk di kepala yang melilit rambut panjangnya. Zain baru saja habis keramas.Saat Zain hendak mengangkat panggilan dari Prita, Resti malah tiba-tiba datang dan segera merebut ponsel miliknya."Ketahuan kamu ya, Pri! Jam segini masih main hape. Pake teleponan segala lagi! Ibu sama kamu kan sudah sepakat bahwa kamu di jam segini belajar dan lanjut tidur! Apa gak puas seharian main hape?"Rasanya ubun-ubun Zain ingin meledak mendengarkan omelan dari Resti barusan. Di rumahnya tidak ada yang seberani ini padanya. Tidak ada seorang pun yang berani membentak. Tidak ada seorang pun yang berani memarahinya. Apalagi karena soalan sepele seperti ini."Kenapa si ibu marah-marah terus!" Zain berteriak membuat Resti semakin naik pitam."Eh, kamu! Anak gadis makin berani sama i
"Ngapain lo di sini?" sinis Zain."Maksudnya?" Joan mengangkat kedua alisnya."Gue tanya ngapain lo ke warung butut ini?" sentak Zain kasar. Membuat Joan bertambah bingung."Hah?"Plak!Resti tiba-tiba datang. Ia langsung menjitak belakang kepala Zain seenak jidat. Kala Zain menengok ke belakang, Resti menatapnya penuh kobaran api."Aduh!" ringis Zain seraya menjamah kepalanya yang tadi kena pukul Resti."Apa-apaan kamu Pri? Ngatain warung sendiri butut?" protes Resti.Perasaan Resti semakin janggal kala melihat tingkah Prita yang semakin hari semakin aneh. Resti menelisik tubuh Prita dari bawah ke atas. Resti melihat dengan lekat. Kemudian mengembuskan napas berat kala tersadar wajah Prita tetaplah wajah Prita.Zain baru sadar ia sudah bukan lagi Zain. Ia adalah seorang gadis."Haha. Bercanda, Bu." Tawa Zain dengan tangan menggaruk lehernya."Nih, pempeknya. Silakan di nikmati ya, Tuan mu