Mataku mengerjap terbuka. Gelap. Apa mati lampu? Atau aku sudah mati? Aku ingat, rasanya aku baru saja mengalami kecelakaan. Mobilku menghantam pohon besar, yang sengaja kualihkan stirnya ke sana untuk menghindari tabrakan dengan mobil lainnya. Entah kenapa rem mobilku tidak berfungsi. Padahal baru diservis kemarin. Kutepuk pipiku pelan. Masih gelap. Aneh. Kutepuk lebih keras. "Aww," lirihku meringis kesakitan. Perih.
"Delia? Kamu sudah sadar Sayang. Tunggu biar kupanggilkan dokter."
Itu suara suamiku. Dokter? Benar aku tidak bermimpi. Ini pasti di rumah sakit. Syukurlah aku masih hidup. Namun kenapa cahayanya gelap.
"Mas Heru? Kamu di mana? kenapa gelap? Aku tidak bisa melihat apapun." Kusentuh kedua mata. Aku yakin tidak sedang bermimpi. Apa di sini mati lampu? "Mas, tolong! Ada apa dengan mataku." Tanganku bergerak di udara mencoba menggapai sesuatu tapi tidak tersentuh apa pun.
"Tenang Delia, tenang. Kamu diam dulu. Dokter apa yang terjadi dengan istri saya? Kenapa dengan matanya. Di sini kan terang, kenapa dia bilang gelap? Apa istri saya," Kudengar Mas Heru ikutan panik dan menanyai seseorang di depanku. Pasti dokter.
Tunggu, apa mataku … buta? Apa itu yang ingin dikatakan Mas Heru? Tidak! Apa aku tidak bisa melihat? Ini tidak mungkin.
"Tidak Dok, saya tidak ingin buta. Bantu saya Dok, tolong!" Pintaku sangat dengan berderai air mata.
"Iya, tenang dulu. Biar saya periksa," ucapnya memberikan pengertian.
Mataku diperiksanya satu per satu. Dibukanya lebar kedua mata ini. Tetap tidak ada perubahan, masih gelap. Aku merasa dia menggerakkan suatu benda di depan mataku, tapi sayangnya, aku tidak merasakan apapun. Setelahnya, tidak ada pergerakan lagi yang kutangkap dari tangannya.
Kudengar desahan berat keluar dari mulut seseorang. Kenapa? Siapa? Aku tidak tahu itu Dokter apa Mas Heru. Aku pun tidak tahu di ruangannya ini siapa saja yang hadir.
"Pak Heru, bisa ikut saya. Ada yang harus saya sampaikan kepada Anda tentang kondisi pasien."
"Tidak Mas Heru, aku takut, Mas. Dok, katakan saja di sini, jangan tinggalkanku sendiri," pintaku memohon. Rasanya dalam kegelapan ini aku seperti sendirian. Sepi, dan penuh dengan ketakutan. Aku tidak ingin ditinggalkan.
"Tenang Del, di sini ada Lastri, dia yang akan menemanimu. Aku pergi sebentar ya. Las, titip Delia ya," ujarnya berlalu pergi, terdengar dari langkah kakinya yang semakin menjauh.
Lastri. Ada sedikit kelegaan saat mendengar nama itu disebut. Dia salah satu sahabat yang kumiliki saat ini. Dia selalu ada disaat Suka dan duka. Kami berteman sangat lama, bahkan sebelum aku mengenal Mas Heru.
***
"Las, aku takut. Kenapa bisa jadi begini?" Keluhku.
Tanganku berusaha menggapainya. Aku merasa tenang saat memegang tangan seseorang.
"Sabar ya. Ini mungkin sudah takdir-Nya. Kamu kuat kok. Pasti secepatnya sembuh, aku doain," ujarnya lembut menenangkanku. Kugenggam tangannya, takut ditinggal sendiri.
Selang beberapa menit berlalu. Kudengar suara langkah kaki masuk ke dalam ruangan ini. Genggaman tangan Lastri terlepas.
"Sayang, yang sabar ya," ucap Mas Heru berganti menggenggam tanganku.
"Mas Heru? Memangnya kenapa, Mas? Mataku bisa sembuh kan? Ada apa dengan mataku? Aku tidak buta kan?" Kucecar dia dengan ribuan pertanyaan dariku. Panik. Aku takut hal yang tidak diinginkan terjadi.
"Kata dokter ada kerusakan di kornea matamu, mungkin ini akibat kecelakaan mobil yang kamu alami. Benturan keras di kepala adalah salah satu yang menjadi penyebabnya."
"Lalu?" Tanyaku tidak sabaran.
"Tapi kamu jangan khawatir. Matamu bisa sembuh. Dokter menjanjikan itu. Kita tinggal menunggu adanya transplantasi kornea mata," jelasnya lagi.
"Lakukan apapun Mas Heru, apa pun itu agar mataku bisa melihat lagi," jawabku.
"Tentu Sayang, sabarlah. Kata dokter sekitar tiga bulanan lagi baru bisa melakukan operasi tersebut."
"Kenapa selama itu? Kenapa tidak sekarang?" Desakku.
"Antri Sayang, kita harus menunggu panggilan. Ketersediaan pendonornya juga terbatas. Lagi pula kamu harus menjalani serangkaian pemeriksaan dulu, baru bisa dioperasi."
"Usahakan secepatnya, aku takut. Aku takut Mas hidup dalam kegelapan. Bukankah kamu tahu kalau aku takut gelap?"
"Iya, secepatnya Sayang, sabar ya. Ini ujian untuk kita."
***
Aku terpaku di depan cermin hias. Memandangi wajahku dan melihat dengan jelas dua bola mata di pantulan cermin ini. Mata ini sudah sembuh. Aku bisa melihat lagi. Namun kenapa sebuah mimpi buruk yang tercipta. Tiga bulan yang lalu aku berhasil dioperasi. Kukira setelah selesai maka mataku dapat langsung melihati. Ternyata tidak. Kata dokter harus menunggu sekitar dua hingga enam bulan lebih untuk melihat reaksinya. Apakah operasi itu berhasil atau tidak. Cocok apa tidak untuk di mataku. Ditunggu dua bulan tidak ada perubahan. Aku kecewa dan putus asa. Walau masih ada kesempatan dan menunggu lagi selama enam bulan, rasanya terlalu lama. Pupus sudah harapanku selama ini, tidak ada perubahan berarti. Semua masih gelap. Jadi kujalani hidup dengan kepasrahan. Aku belajar banyak untuk mempersiapkan apapun yang terburuk. Dari belajar huruf braile, menghitung setiap langkah kakiku bergerak. Menghitung jarak antar tempat, dan Menajamkan pendengaran. Itu semua kupelajari selama enam bulan. Bahkan aku membeli ratusan kacamata hitam dan tongkat beraneka warna untuk menunjang aktivitasku bila akhirnya aku benar-benar buta. Itulah aku, disatu sisi menderita seperti orang depresi, tapi di sisi lainnya malah semangat mempersiapkan semuanya.
Sampai kemarin, akhirnya harapan itu ada. Aku tidak tahu, tiba-tiba saja dapat melihat. Awalnya hanya melihat seberkas cahaya kecil, itu dimulai saat bangun di pagi hari. Semakin berjalan waktu, berkas cahaya kecil itu berubah jadi semakin besar, lalu membentuk sebuah bayangan yang samar. Lama-kelamaan saat menjelang sore hari, penglihatanku jadi jelas. Aku bisa melihat. Aku tidak menyangka itu semua seperti mimpi. Mimpi baik dan mimpi buruk. Keduanya datang bersamaan dalam hidupku.
Rencana indah untuk memberikan kejutan ke Mas Heru berubah jadi kejutan tersendiri untukku.
***
Aku tersentak. Lamunanku akan masa lalu buyar. Suara ketukan pintu berhasil menghentikanku dari aktivitas menyisir rambut di depan cermin.
"Masuk, tidak dikunci," seruku dari dalam.
Mbok Yem yang datang. Aku tersenyum melihatnya. Baguslah, ini kesempatanku menanyainya. Mas Heru sudah berangkat kerja. Katanya dia lembur hari ini di kantor. Huh! Terserahlah Mas, aku sudah tidak peduli dengan apapun yang akan kau lakukan. Entah itu bersama Lastri atau siapa pun.
Kasihan juga Lastri, tengah malam tadi dia harus memanggil taksi untuk pulang dari rumah ini. Dengan tergesa-gesa pula. Aku sempat melihatnya dari kaca jendela depan. Dandanannya masih sangat berantakan. Baju yang dikenakannya terbalik. Namun aku malah senang melihatnya.
Baik, Mas, Las, nikmatilah waktu bersenang kalian, karena setelahnya, aku tidak yakin kalau kalian akan bisa tersenyum lagi.
Aku senang melihat Mbok Yem masuk ke dalam kamarku. Dia membawakan sarapan seperti biasanya."Loh, Ibu gimana sih, harusnya duduk aja. Kalau mau kemana, bilang sama saya, biar Mbok bantu," ujarnya memaksaku duduk kembali ke kursi di depan meja rias. Dia juga memasangkan kacamata hitam yang ada di atas meja kepadaku. Kelakuannya sungguh aneh."Mbok, sa." Belum selesai sudah disela Mbok Yem."Ini makan dulu. Duduk yang benar, biar Mbok suapin," ucapnya lagi menyuapiku sembari mengedipkan sebelah mata. Lalu, seperti memberi tanda lewat sorot matanya, mengarah ke perempuan muda yang sedang sibuk merapikan tempat tidur.Ya, setiap hari datang dua pekerja tambahan, untuk membantu Mbok Yem membersihkan rumah ini. Mereka tidak menginap, cuma bekerja sampai pekerjaan mereka selesai.&
Baru enam bulan aku tidak dapat melihat dunia, rasanya banyak yang berubah di dalam rumah ini. Dari orang baru, hingga dekorasi di dalamnya. Kuamati setiap jengkal dari sisi rumah. Banyak dekorasi dan penempatan barang yang dirubah. Kata Mbok Yem, ini semua ulah Lastri. Heran, apa haknya di rumah ini. Dia hanya orang asing bergelar teman. Tidak seharusnya mengotak-atik isi dalam rumahku.Aku juga mengamati bagaimana Dini dan Sari bekerja. Cukup bagus. Sejauh ini mereka cekatan dalam membersihkan rumah. Bahkan sampai tugas berkebun dikerjakan oleh mereka pula. Secara bergantian.Taman belakang, yang dulu sering dikunjungi sebagai tempat favoritku, ternyata masih indah dan terawat dengan baik. Katanya Sari dan Dini yang merawatnya. Syukurlah. Tidak ada salahnya tetap mempekerjakan mereka di rumah ini.***&nbs
Kosong? Kemana perginya? Untuk apa Mas Heru mengambil semua perhiasanku?Aku terkejut, saat mendapati bagian atas dalam brankas kosong. Di bagian atas adalah tempat untuk menyimpan perhiasan. Di sana, terdapat lima kotak perhiasan full set, dan tiga kotak kecil berisi cincin berlian. Kebanyakan, perhiasan yang kumiliki adalah berlian. Terus, ada juga beberapa perhiasan emas yang memang kuletakkan begitu saja tanpa kotaknya. Itu juga raib. Padahal kalau di total, jumlah keseluruhan perhiasanku itu bernilai miliaran rupiah. Untungnya, surat menyurat di bagian bawah dalam brankas masih ada dan lengkap. Sudah kulihat isi dalamnya, tidak ada yang berubah dan surat-suratnya kuteliti masih asli.Aku duduk melantai, dan tersandar ke dinding ruangan, memikirkan ini semua. Kuambil ponsel yang tergeletak di lantai, ingin menghubungi seseorang yang penting."Halo, Pak Darwin? selamat siang. Maa
Aku menuruni tangga dengan pelan. Tongkat di tangan dan kacamata hitam tidak lupa kukenakan. Memang seperti inilah seharusnya penampilanku. Bukankah aku masih berpura buta?Saat di anak tangga terakhir, aku bisa melihat sosok laki-laki muda dengan kemeja biru langit duduk di sofa di ruang tengah. Kuhampiri dia dengan berjalan pelan. Dia menoleh ke arahku. Masih muda. Sepertinya seumuran denganku. Apa benar dia adalah dokter yang akan memeriksaku?"Selamat siang Bu Delia, saya Ryan, dokter yang akan memeriksa anda, menggantikan tugas dokter Richard," sapanya datar."Siang," jawabku."Silakan duduk," tawarku. Dia mengangguk dan segera menghempaskan bokongnya ke atas sofa."Mbok Yem, tolong
"Sudah lah Bu, jangan terlalu dipikirkan, Mbok Yakin, dokter Dian itu orangnya baik," ucap Mbok Yem sambil meletakkan sebuah cangkir berisi teh hangat ke atas meja, di samping tempat dudukku. "Ryan, Mbok. Bukan Dian," ucapku membenarkan. "Iya, salah dikit saja, Ryan," sanggah Mbok Yem, ikut duduk di sebelahku. "Tapi Bu, kalau Pak Heru nanya tentang CCTV gimana? 'kan ketahuan Bu. Wong saya lihat jelas sekali tuh alat ada dimana-mana." "Sengaja Mbok, saya mau lihat reaksinya nanti," jawabku. Aku yakin Mas Heru akan melakukan sesuatu setelah melihat banyak CCTV terpasang di rumah. Selain CCTV yang tampak terlihat, ada juga yang ukuran kecil terpasang di tempat tersembunyi, khususnya di dalam kamar baca--tempat Brankas tersimpan dan kamar tamu. Kurasa itu merupakan tempat favorit Mas Heru saat ini. &
Hari ini aku senang sekali. Rasanya malam tadi aku tertidur sangat nyenyak. Kulihat Mas Heru masih terlelap di tempat tidur, entah jam berapa dia berbaring di sampingku. Aku yakin pasti malam tadi dia susah tidur karena memikirkan kode PIN tersebut. Puas sekali menyaksikannya dalam kebingungan. Ini baru permulaan Mas, masih ada kejutan berikutnya.Aku ke bawah lebih awal. Kupinta Mbok Yem menyiapkan sarapan yang spesial pagi ini. Aku ingin menyambut tamu agung yang ingin berkunjung ke rumahku, sesuai dengan yang kudengar semalam. Lastri--dia akan datang kemari menemui suamiku, pasti untuk membahas kode PIN brankas yang tidak bisa dibuka. Lucu membayangkan mereka panik dan dalam kebingungan.Aku sudah berada di ruang makan. Duduk dengan santai sambil menikmati segelas teh hangat tanpa gula. Tidak perlu pemanis, karena hari ini bakalan menjadi hari yang manis untukku.
Aku dan Mbok Yem duduk dengan wajah tegang. Tangan kami saling menggenggam penuh kecemasan. Tidak disangka, Lastri yang kami kerjai pingsan, setelah lima kali keluar-masuk toilet. Sesekali kami saling lirik berbicara lewat tatapan mata. Aku yakin dosis yang Mbok Yem masukan ke makanan Lastri kecil, karena aku sendiri yang menakarnya. Seharusnya efeknya tidak sampai begini. Dia juga baru lima kali masuk toilet. Masa segitu saja sudah ko-it.Memang kentara sekali perubahan wajah Lastri setelah dia mengeluh sakit perut. Awalnya aku dan Mbok Yem menikmati kesakitannya, tapi lama-lama malah membuat kami cemas. Apalagi saat Lastri keluar dari toilet dengan wajah yang pucat. Warna merah wajahnya memudar.Lalu yang mengejutkan terjadi. Dia pingsan.***"Lastri, Lastri, kamu kenapa?" Mas Heru panik setelah Lastri yang
Mas, kita harus secepatnya ke rumah sakit. Aku nggak mau kenapa-napa sama anak kita," pinta Lastri setelah duduk di tepi ranjang."Kecilkan suaramu, aku nggak mau sampai terdengar oleh orang lain, apalagi Delia," jawab Mas Heru mengawasi pintu kamar."Aku yakin Mas, sakit perutku ini kerjaan Mbok Yem. Tadi saja, dia terlihat gugup saat kutuduh di depan kalian." Lastri bersungut kesal."Sudahlah Las, jangan nuduh Mbok Yem lagi. Sekarang bagaimana perutmu, masih sakit?" Mas Heru mengelus lembut perut Lastri."Sedikit. Aku capek, Mas, keluar masuk toilet terus," keluhnya sambil bersandar ke bahu Mas Heru."Ya sudah. Sekarang kita ke rumah sakit.Aku juga tidak mau kenapa-napa dengan kandunganmu. Semoga anak kita-baik saja, jangan lagi kamu keceplosan bicara begitu, aku