Share

Ada mata-mata?

Aku senang melihat Mbok Yem masuk ke dalam kamarku. Dia membawakan sarapan seperti biasanya. 

 "Loh, Ibu gimana sih, harusnya duduk aja. Kalau mau kemana, bilang sama saya, biar Mbok bantu," ujarnya memaksaku duduk kembali ke kursi di depan meja rias. Dia juga memasangkan kacamata hitam yang ada di atas meja kepadaku. Kelakuannya sungguh aneh.

 "Mbok, sa." Belum selesai sudah disela Mbok Yem.

 "Ini makan dulu. Duduk yang benar, biar Mbok suapin," ucapnya lagi menyuapiku sembari mengedipkan sebelah mata. Lalu, seperti memberi tanda lewat sorot matanya, mengarah ke perempuan muda yang sedang sibuk merapikan tempat tidur. 

 Ya, setiap hari datang dua pekerja tambahan, untuk membantu Mbok Yem membersihkan rumah ini. Mereka tidak menginap, cuma bekerja sampai pekerjaan mereka selesai.

 "Oh ya, tolong ka." Aku tidak bisa meneruskan perkataanku pada perempuan itu, karena Mbok Yem dengan cepat menyuapkan makanan ke mulutku.

"Nah, bagus. Buka mulutnya lebar-lebar," ucapnya membuatku kesal. Baru kali ini Mbok Yem selancang itu memperlakukanku. Aku tahu dia sudah lama ikut dengan keluargaku, bahkan dari aku kecil, tapi nggak begini juga seharusnya. 

 Aku ingin melepas kacamata yang bertengger di pangkal hidung, tapi dihalangi oleh Mbok Yem. 

 Mulai marah. Kudiamkan Mbok Yem, dengan muka ketus tanpa mau menerima suapan makanan lagi darinya.

 "Kalau Ibu tidak makan, bagaimana mau lekas sehat. Makan itu baik lo, buat menyembuhkan mata. Jadi secepatnya mata ibu bisa melihat, di sini, sudah saya kasih banyak wortel." Perkataan Mbok Yem membuat keningku berkerut. Sejak kapan dengan makan bisa menyembuhkan mata.

 Aneh, tapi apa maksud Mbok ngomong begitu? Bukankah aku sudah bisa melihat. Kulihat mata Mbok Yem seolah berbicara kepadaku. Dia selalu menunjuk ke arah perempuan yang sedang bersih-bersih di dalam kamar. Apa jangan-jangan ….

 "Ehm … Mbok. Mbak di sini sudah selesai belum membersihkan kamar saya?" 

 ""Din, sudah selesai belum?" Mbok Yem menanyai perempuan itu. Aku tidak melihatnya, karena fokus mataku ke arah Mbok Yem. Sepertinya aku mulai mengerti apa maksud dari tingkah aneh Mbok Yem sekarang.

"Ini, dikit lagi," sahut perempuan tersebut. 

 "Kemari! Siapa namamu?" Titahku. Penasaran.

 "Nama saya Dini, Bu." Dia berjalan mendekatiku.

"Ibu mah, suka gitu. Nggak pernah nanya siapa pekerjanya. Dini ini, dari lima bulan yang lalu sudah bekerja di sini. Dimasukkan sama Pak Heru. Itu, sama Sari, kebetulan dia lagi beres-beres di lantai bawah." Mbok Yem menjelaskan kepadaku tentang dua orang tersebut. 

 Aku manggut-manggut, karena baru tahu siapa saja yang bekerja di rumah ini. Aku memang tidak tahu, karena tiga orang yang dulu bekerja di sini, secara serentak berhenti kerja. Kecuali Mbok Yem. Kata Mas Heru, alasannya karena mereka bosan dan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dibanding di sini. Padahal gaji mereka sudah cukup besar. Aku pun sering membantu keluarga mereka. Namun sepertinya, itu tidak mempengaruhi mereka untuk tetap betah bekerja di sini.

 "Panggil temanmu itu, suruh kesini. Saya mau kenalan," ucapku tegas.

 Dini tampak terkejut, tapi dengan cepat mengangguk dan segera berlalu dari kamarku.

 Melihatnya sudah pergi, kutepuk pelan paha Mbok Yem. "Ada apa sih Mbok?" Bisikku menanyakan.

 "Mereka itu mata-mata yang dikirim Pak Heru," balasnya dengan suara pelan. Aku terkejut mendengarnya.

 Mata-mata? Maksud Mbok Yem apa?

 Saya nggak ngerti, jelaskan!" Bisikku lagi.

 "Pergerakan saya di sini tidak bebas selama ada mereka. Nanti setelah siang atau sore, baru Mbok bisa bernapas lega. Cuma sayangnya keburu Pak Heru yang datang."

 Aku tambah tidak mengerti. Benarkah suamiku memata-mataiku selama ini? Kenapa? 

 Terdengar dua pasang langkah kaki masuk ke dalam kamarku. Dini dan temannya yang bernama Sari telah sampai. Mereka kini berdiri di hadapanku.

 Aku menatap mereka dari balik kacamata yang sedang kupakai. "Nama saya Delia, saya belum pernah berkenalan dengan kalian. Jadi tolong perkenalkan diri kalian masing-masing," titahku kepada keduanya.

 Keduanya saling pandang, lalu saling sikut. Seperti tidak ada yang berani memulai lebih dulu.

 "Kamu dulu!" tunjukku pada perempuan yang badannya lebih berisi.

 "Nama saya Sari Bu."

 "Saya Dini, Bu," sahut Dini pula menimpali Ucapan Sari.

 "Betah kerja disini? Berapa gaji kalian?" 

Lagi, mereka saling melempar pandang. 

 "Ehm … siapa pun boleh menjawab." Aku mulai jengah melihat sikap mereka.

 "Betah, Bu, dan gaji kami sama, delapan ratus ribu sebulan," jawab Dini.

 "Ehm, membersihkan rumah sebesar ini cuma delapan ratus ribu? kecil itu. Mbok! Gaji Mbok berapa sebulan?"

 "Enam juta, Bu."

 Mereka berdua seperti terkejut mendengarnya.

"Saya bisa menaikan gaji kalian di sini tapi dengan satu syarat," ucapku memancing.

 "Apa Bu?" Sari terlihat antusias bertanya. Matanya berbinar terang.

 "Saya tanya dulu, tugas kalian di sini selain bersih-bersih, apa lagi? Jelaskan!"

 "Maaf, Bu. Saya nggak ngerti," jawab Dini. Mataku menyipit melihatnya. Lalu kacamata ini kulepaskan. 

 "Kalau saya telepon orang suruhan saya," jedaku sambil menjentikkan tangan. "Dalam lima menit saya bisa tahu identitas kalian sampai ke kakek dan buyutmu, paham!" Jelasku penuh tekanan.

 "Ibu bisa melihat?" tanya Dini kaget seraya menggerakkan tangannya ke depan wajahku.

 "Din, jangan kurang ajar gitu sama Ibu," bentak Mbok Yem keras dengan menepis tangan Dini.

"Maaf, jadi Ibu sudah bisa melihat? Saya dan Sari cuma kerja di sini sebatas itu Bu, nggak ada yang lain." Terlihat gugup.

"Yakin? Jangan sampai saya marah, kalian bisa saya pecat dan saya jebloskan ke penjara, karena sudah berani memata-matai saya di rumah ini," ancamku dengan mata melotot menakuti mereka.

 "Ibu tahu? Aduh, maaf, Bu. Jangan. Jangan, Bu. Saya masih mau kerja. Saya juga nggak mau dipenjara. Saya cuma dikasih tugas tambahan buat ngawasi Mbok Yem sama Ibu. Katanya jangan sampai Mbok Yem berlama-lama berduaan saja sama Ibu di rumah ini, atau ngomong kayak rahasia gitu sama Ibu," aku Sari. Kelihatan kalau Sari lebih lemah dan takut dibanding Dini. 

 "Benar Din?" 

 Dia mengangguk pasrah. "Maaf, Bu. Tolong jangan pecat kami. Itu semua perintah dari Nyonya Lastri."

 "Tunggu, apa kamu bilang? NYONYA LASTRI? Sejak kapan kalian memanggilnya nyonya dan saya cuma ibu? Yang nyonya di rumah ini saya, bukan dia. Yang berhak gaji kalian itu saya, bukan dia. Ngerti!" Emosiku naik mendengarnya. Aku berdiri dengan berkacak pinggang. 

 Bisa-bisanya Lastri mengakui diri sebagai nyonya di rumah ini. Kurang ajar.

 "Maaf, Bu. Kami tidak tahu. Katanya …" Sari menyikut lengan Dini. Mereka seperti takut bicara.

 "Apa? Ngomong yang jelas sama Bu Delia. Mau dipecat sekarang?" Mbok Yem membantuku menakut-nakuti mereka.

 "Katanya, nyonya besar di rumah ini Bu Lastri. Karena beliau istri Pak Heru juga. Makanya kami manut sama perintah beliau."

 Aku menggeleng mendengarnya. "Benar Mbok, Lastri ngomong gitu?" 

 "Saya tidak tahu Bu. Cuma memang Bu Lastri, semenjak Bu Del nggak bisa lihat, suka sok gitu ngatur rumah ini. Berasa jadi nyonya." 

 "Ya sudah, saya perjelas sama kalian semua. Saya, Delia Anggun Wardani, adalah pemilik SAH rumah ini. Saya juga istri SAH dari Pak Heru. Jadi apa pun yang berkenaan dengan rumah ini, semua atas izin saya, dan si Lastri itu bukan siapa-siapa suami saya. Apalagi ngaku istrinya. Satu lagi. Kalian berpura saja masih menuruti semua perintahnya, nanti kabari saya apapun itu, dan masalah saya sudah tidak buta, diam saja. Ini rahasia. Gaji kalian saya naikkan jadi dua juta, bagaimana? Deal?" Aku berusaha bernegosiasi dengan mereka berdua.

 Senyum merekah terlihat dari Sari dan Dini. Mereka kompak mengangguk setuju.

 Satu masalah sudah selesai. Masih banyak tugas lain yang harus segera kubereskan. 

Setelahnya, mereka kembali melanjutkan pekerjaan mereka yang terhenti olehku. Aku juga memerintahkan Sari untuk mengganti sprei alas tidur di kamar tamu dengan yang baru. Rasanya jijik mengingat apa yang terjadi di sana. Kalau perlu ambil saja sprei itu. Aku tidak ingin menyimpan kenangan apa pun dari aktivitas tercela mereka. 

Komen (11)
goodnovel comment avatar
Pur Wanto
saya pernah baca ini di finzzo,kok sekarang pinda aplikasi
goodnovel comment avatar
Yuli Defika
lanjutkan perjuangan
goodnovel comment avatar
Henry Dyrga
sangat tegas
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status