Aku menuruni tangga dengan pelan. Tongkat di tangan dan kacamata hitam tidak lupa kukenakan. Memang seperti inilah seharusnya penampilanku. Bukankah aku masih berpura buta?
Saat di anak tangga terakhir, aku bisa melihat sosok laki-laki muda dengan kemeja biru langit duduk di sofa di ruang tengah.
Kuhampiri dia dengan berjalan pelan. Dia menoleh ke arahku.
Masih muda. Sepertinya seumuran denganku. Apa benar dia adalah dokter yang akan memeriksaku?
"Selamat siang Bu Delia, saya Ryan, dokter yang akan memeriksa anda, menggantikan tugas dokter Richard," sapanya datar.
"Siang," jawabku.
"Silakan duduk," tawarku. Dia mengangguk dan segera menghempaskan bokongnya ke atas sofa.
"Mbok Yem, tolong
"Sudah lah Bu, jangan terlalu dipikirkan, Mbok Yakin, dokter Dian itu orangnya baik," ucap Mbok Yem sambil meletakkan sebuah cangkir berisi teh hangat ke atas meja, di samping tempat dudukku. "Ryan, Mbok. Bukan Dian," ucapku membenarkan. "Iya, salah dikit saja, Ryan," sanggah Mbok Yem, ikut duduk di sebelahku. "Tapi Bu, kalau Pak Heru nanya tentang CCTV gimana? 'kan ketahuan Bu. Wong saya lihat jelas sekali tuh alat ada dimana-mana." "Sengaja Mbok, saya mau lihat reaksinya nanti," jawabku. Aku yakin Mas Heru akan melakukan sesuatu setelah melihat banyak CCTV terpasang di rumah. Selain CCTV yang tampak terlihat, ada juga yang ukuran kecil terpasang di tempat tersembunyi, khususnya di dalam kamar baca--tempat Brankas tersimpan dan kamar tamu. Kurasa itu merupakan tempat favorit Mas Heru saat ini. &
Hari ini aku senang sekali. Rasanya malam tadi aku tertidur sangat nyenyak. Kulihat Mas Heru masih terlelap di tempat tidur, entah jam berapa dia berbaring di sampingku. Aku yakin pasti malam tadi dia susah tidur karena memikirkan kode PIN tersebut. Puas sekali menyaksikannya dalam kebingungan. Ini baru permulaan Mas, masih ada kejutan berikutnya.Aku ke bawah lebih awal. Kupinta Mbok Yem menyiapkan sarapan yang spesial pagi ini. Aku ingin menyambut tamu agung yang ingin berkunjung ke rumahku, sesuai dengan yang kudengar semalam. Lastri--dia akan datang kemari menemui suamiku, pasti untuk membahas kode PIN brankas yang tidak bisa dibuka. Lucu membayangkan mereka panik dan dalam kebingungan.Aku sudah berada di ruang makan. Duduk dengan santai sambil menikmati segelas teh hangat tanpa gula. Tidak perlu pemanis, karena hari ini bakalan menjadi hari yang manis untukku.
Aku dan Mbok Yem duduk dengan wajah tegang. Tangan kami saling menggenggam penuh kecemasan. Tidak disangka, Lastri yang kami kerjai pingsan, setelah lima kali keluar-masuk toilet. Sesekali kami saling lirik berbicara lewat tatapan mata. Aku yakin dosis yang Mbok Yem masukan ke makanan Lastri kecil, karena aku sendiri yang menakarnya. Seharusnya efeknya tidak sampai begini. Dia juga baru lima kali masuk toilet. Masa segitu saja sudah ko-it.Memang kentara sekali perubahan wajah Lastri setelah dia mengeluh sakit perut. Awalnya aku dan Mbok Yem menikmati kesakitannya, tapi lama-lama malah membuat kami cemas. Apalagi saat Lastri keluar dari toilet dengan wajah yang pucat. Warna merah wajahnya memudar.Lalu yang mengejutkan terjadi. Dia pingsan.***"Lastri, Lastri, kamu kenapa?" Mas Heru panik setelah Lastri yang
Mas, kita harus secepatnya ke rumah sakit. Aku nggak mau kenapa-napa sama anak kita," pinta Lastri setelah duduk di tepi ranjang."Kecilkan suaramu, aku nggak mau sampai terdengar oleh orang lain, apalagi Delia," jawab Mas Heru mengawasi pintu kamar."Aku yakin Mas, sakit perutku ini kerjaan Mbok Yem. Tadi saja, dia terlihat gugup saat kutuduh di depan kalian." Lastri bersungut kesal."Sudahlah Las, jangan nuduh Mbok Yem lagi. Sekarang bagaimana perutmu, masih sakit?" Mas Heru mengelus lembut perut Lastri."Sedikit. Aku capek, Mas, keluar masuk toilet terus," keluhnya sambil bersandar ke bahu Mas Heru."Ya sudah. Sekarang kita ke rumah sakit.Aku juga tidak mau kenapa-napa dengan kandunganmu. Semoga anak kita-baik saja, jangan lagi kamu keceplosan bicara begitu, aku
Aku membuka gorden jendela kamar, saat terdengar deru suara mobil Mas Heru memasuki halaman rumah. Kutengok arloji yang melingkar di pergelangan tangan dengan tersenyum, 'sepanik inikah kamu, Mas, hingga memutuskan pulang cepat ke rumah?' dapat kuhitung kalau dia menempuh jarak hanya dua puluh menit saja untuk sampai ke rumah. Padahal normalnya jarak dari rumah ke kantor dapat menghabiskan waktu empat puluh menit.Baik, Mas. Saatnya memberikanmu kejutan.Aku segera beranjak turun ke bawah, memutuskan untuk menyambutnya. Baru saja kakiku sampai di anak tangga terakhir, Mas Heru yang sudah berada di ruang tengah terpaku menatapku bergeming. Bahunya naik-turun dengan napas terengah."Mas Heru," seruku memanggilnya dengan seulas senyum terkembang.Dia masih berdiri menatapku dengan mata membulat sempur
Aku berjalan menghampiri seorang pemuda yang berdiri di samping Mbok Yem."Jadi kamu, orang yang dikirim untuk memperbaiki brankas saya?" tanyaku kepada pemuda tersebut."Iya, Bu," sahutnya mengangguk sopan."Baik, ikuti saya, kebetulan brankasnya ada di atas," ajakku dengan berjalan lebih dulu."Delia, tunggu." Mas Heru dengan cepat mencengkal lenganku."Kenapa lagi, Mas? Aku buru-buru. Nanti kita telat lo ke kantornya.""Kantor? Maksudmu ke butik? Ya sudah, kamu ke butik saja, biar Mas yang mengurus brankas kita." Matanya seketika berbinar."Bukan, Mas. Aku tidak ke butik tapi ke kantor kita. Perusahaan Angkasa group," jawabku lugas. Mata Mas Heru terbelalak kaget. Mulutnya menganga terbuka lebar.
Mas Heru masih bergeming di dekatku tampak pasrah. Wajahnya sayu seperti orang sakit. Kulingkarkan tanganku di lengannya."Mas, Del," seru Lastri melihat kami yang sudah berdiri di depannya."Kami akan ke kantor, apa hari ini kamu juga kerja?" Lastri mengangguk pasti dan menatap lekat Mas Heru."Oh, baguslah. Yuk! Mas," ajakku pada Mas Heru dengan masih menggandeng tangannya. Kutarik Mas Heru mengikuti langkahku. Lastri terbengong melihat Mas Heru yang mengacuhkan dirinya, tapi dia segera mengekor langkah kami di belakang. "Tunggu, kenapa aku ditinggal?"Aku masuk ke dalam mobil Mas Heru, duduk di depan, di sampingnya.Kulihat Lastri ingin membuka knop pintu mobil kursi belakang."Las, bukankah kamu bawa mobil sendiri? Pakai saja
Dilan menghampiriku. "Terima kasih, Bu. Sudah memberikan saya kesempatan untuk bekerja kembali di sini." Aku menganggukkan kepala dengan tersenyum padanya."Delia, kamu …, ehm bagaimana mungkin kamu bisa meminta Dilan kerja kembali di sini, dia itu sudah banyak merugikan perusahaan kita," tanya Mas Heru penuh penekanan. Dia menatap tajam ke arah Dilan."Itu karena …." Kulihat Lastri ternyata belum keluar juga dari ruangan ini. Dia mengamati kami. "Las, apa butuh bantuan untuk mengemas barangmu itu, dari tadi saya lihat kamu masih terlihat sibuk," ucapku mengusirnya secara halus.Gerakan tangan Lastri semakin cepat merapikan barang-barangnya dengan kasar, ia bahkan sudah berani menatapku nyalang menunjukkan kemarahannya padaku.Aku tak peduli. Baru begini saja kamu marah, lalu apa kabar aku yang