Share

Suamiku Pengacaraku (Bahasa Indonesia)
Suamiku Pengacaraku (Bahasa Indonesia)
Penulis: ZB

Kenangan

"Kupikir kamu akan menjadi imam selamanya untukku, ternyata kamu memiliki makmum selain aku."

Januari 2019 

"Dik, coba kamu telepon Shabir, kenapa sudah pukul delapan belum sampai. Kepala KUA sudah nanyain itu, katanya kalau masih jauh, beliau mau ke Bale dulu soalnya harus akad temanmu itu." 

Haziya mengangguk seraya mengambil ponsel dari tas kecil yang diletakkan di atas meja. Wajahnya sudah dirias sejak selesai salat subuh. Keterlambatan Shabir ke KUA membuatnya cemas, meski sudah berusaha bersikap tenang, tetapi pikiran sudah melesat jauh. Mengingat semalam mereka sempat cekcok sebentar. Dalam hati tak hentinya dia terus berdoa agar diberi kemudahan. 

Mungkinkah Shabir membatalkan niat suci itu? Sudah dua kali dia mencoba menghubungi, hanya suara operator yang terdengar. 

"Gimana, Dik?" Syukri kembali bertanya. Gelengan kepala Haziya sudah cukup memberitahu tanpa harus dijawabnya. 

"Ya sudah, kita tunggu saja dulu," putus Syukri kemudian masuk ke ruangan di sebelahnya untuk memberitahu Kepala KUA. 

"Tenang, jangan terlalu khawatir nanti luntur make up-nya, " nasihat Lidya, sang adik yang setia menemaninya di kursi penunggu depan ruang akad. 

Haziya menarik senyum, pandangannya melirik kedua orang tua yang duduk tak jauh dari tempatnya. Wajah ibunya tampak gugup sepertinya.

***

"Sah, Alhamdulillah!"

Rasa syukur memenuhi ruangan akad. Haziya menyeka air mata sebelum menyalami suami sahnya. 

Setelah penantian dua tahun, mereka bersatu usai Shabir melafalkan akad suci. Hati Haziya sudah bertalu-talu sejak kedatangan Shabir dan rombongan keluarga lima belas menit lalu, tepat pukul sepuluh. Dia menyimpan banyak pertanyaan yang mengganggu pikirannya, segera masuk ke ruangan akad agar proses akad nikah bisa dimulai secepatnya. 

"Selamat ya," ucapan bersambut dari para sanak saudara dan teman Haziya yang turut menemani. Bukannya dia merasa lega, tetapi hati Haziya semakin merasakan dentuman keras. 

Pernikahan adalah awal kehidupan baru. Haziya sungguh bahagia setelah ijab kabul dilafalkan oleh Shabir, tetapi kebimbangannya semakin menjadi. Apakah dia bisa menjadi istri yang baik untuk Shabir? 

"Jadilah istri yang penurut, sabar dan qanaah." Haziya selalu terngiang-ngiang dengan apa yang dikatakan ibunya. 

"Dara baroe, jangan cemberut dong. Senyum." Lidya menyenggol pelan Haziya yang termenung ketika menunggu fotografer mengarahkan beberapa pose.

Cekrek! Cekrek! 

"Lebih dekat, Bang Shabir genggam tangan Kak Haziya. Iya, begitu. Senyum."

Cekrek!

***

Juni 2020

"Kak, beneran ini mau dibakar saja?" 

Haziya mengangguk lemah melihat tumpukan dokumen dan album foto di depannya. 

"Dia saja sudah menikah lagi, buat apa aku menyimpan semua kenangan tentangnya?" 

Lidya tidak menyahut, sengaja membelakangi sang kakak dan berpura-pura sedang mencari sesuatu. Hatinya begitu terluka ketika melihat wajah sendu Haziya sejak setengah tahun ini. Langit biru yang sering menjadi tempat teduhnya, berubah gelap pelita tiada rembulan. Kupu-kupu di matanya telah mati menghisap racun di tangkai duri. 

Rasanya baru kemarin mereka merayakan satu tahun pernikahan. Tawa-tawa bahagia telah meredup dan melepuh dalam tangis.  Kini, waktu terasa lamban berjalan. Berusaha melupakan, nyatanya setiap kenangan masih begitu jelas terpatri dalam ingatan meski telah dihapuskan.

Tidak ada kata pisah, apalagi kata cerai yang diucapkan Shabir untuknya, tetapi lelaki itu begitu mudahnya meruntuhkan langit biru miliknya. Lelaki yang pernah menghangatinya dengan kasih sayang rela membagikan selimut untuk tubuh lain. Bahkan, Shabir menikahi janda dua anak dan kini menjadikannya seorang janda kesepian. 

"Baiklah, biar aku yang bawa ke halaman belakang." Lidya memasukkan barang-barang yang berhubungan dengan Shabir ke dalam kotak, lalu dia segera menuju belakang dapur untuk membakar semuanya.

Haziya tidak mampu melihat semua tentangnya dengan Shabir menjadi debu hitam yang dimakan api. Dia memilih tetap di kamar. Selagi kedua orang tua tidak ada di rumah, Haziya menyuruh Lidya segera memusnahkan itu sebelum ayah dan ibu pulang.

"Kakak mau ke mana?" tanya Lidya heran ketika melihat Haziya keluar dari kamar. Lidya baru saja selesai menghanguskan semua barang kenangan. 

"Sebentar saja, nanti kalau ibu pulang bilang saja Kakak mau ke rumah Miska." Lidya tidak bisa melarang, dia tidak tega melihat kemurungan di wajah Haziya. Mungkin  sering bermain dengan temannya bisa sedikit mengusir mendung. Hujan yang bertandang di mata Haziya begitu lama reda, kantong mata semakin menjadi. Meski Haziya sering memaksakan senyum di depan keluarga, tetapi sebagai adik kandung dia bisa ikut merasakan kegetiran di hidup Haziya. 

Menjadi janda di usia muda bukanlah suatu hal yang membanggakan. Banyak ceomohan dari para tetangga. Luka ditinggalkan suami ditambah hinaan dari cibiran orang-orang, membuat Haziya kehilangan semangat hidup. Namun, dukungan dari keluarga dan sahabatnya selama ini menjadi penyemangat yang mewarnai keburaman hari-harinya. 

Inilah takdir yang harus dijalaninya, bukan kemauan dia menjadi janda. Haziya sudah mencoba mempertahankan pernikahan mereka. Namun, apa yang direncanakan dan diimpikan tidaklah seindah harapan. 

Haziya lebih memilih berpisah dengan Shabir daripada harus dipoligami, tepatnya menjadi istri yang diabaikan setelah Shabir menikahi perempuan lain yang sudah memiliki seorang anak. 

Haziya akan segera mengurus surat perceraian mereka, dia akan meminta fasakh suaminya. Menunggu lelaki itu mengucapkan talak hal sia-sia, karena beberapa kali Shabir mengatakan tidak akan menceraikannya. Sedangkan, kini Shabir telah melafalkan kembali janji suci dengan nama perempuan lain. 

"Mau ke mana, Ziya?" Tetangga melontarkan pertanyaan ketika Haziya hendak menyalakan sepeda motor.

"Ke rumah teman, Wak," jawab Haziya sopan, meski dia sering kali mendapati Wak Halim dan temannya menggosipkan dirinya pada teras rumah cokelat itu, tetapi Haziya mencoba bersikap seperti biasa, berpura-pura tidak tahu apa-apa.

"Temannya punya janda bolong, nggak?"

"Apa, Wak?" Haziya bertanya ulang karena pendengaran tidak terlalu jelas setelah memakai helm.

"Janda bolong ada nggak di rumah temanmu," teriak teman Wak Halim diselingi tawa. 

"Katanya satu pot harga bolong sampai seratus juta, lho. Satu daun saja dihargai lima belas juta, siapa tahu temanmu punya, minta sedaun saja." 

"Gila ya, harga janda bolong saja mahal gitu, apalagi harga janda sekarang?" 

"Oh, bunga ya, Wak? Nanti coba aku lihat ya, tapi sepertinya di rumah dia tidak ada bunga soalnya mereka suka pelihara ikan," terang Haziya tetap bersikap tenang, tidak ingin terusik dengan sindiran tetanggannya.

"Sudah, Kak, pergi saja nanti hujan dan petir lagi, takutnya Kakak terkena halilintar azab!" seru Lidya di ambang pintu, para ibu-ibu seketika terdiam. 

"Oh ya Kak, kalau ada bunga lidah tetangga nggak usah dibawa pulang ya, nggak bakal ada yang beli nggak ada harganya mending dikasih ke ikan nirwana saja," lanjut Lidya sengaja memanasi Wak Halim dan temannya.

"Jangan lupa angkat jemuran ya, Dik. Kakak pergi dulu, assalammualaikum," pamit Haziya segera melajukan motornya.

"Waalaikumsalam, hati-hati, Kak." 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status