Share

Kado Terindah

"Aku menantimu dalam gemuruh, layaknya ombak memeluk karang, sesabar embun hangati pagi dan setia senja pada jingga."

Haziya penuh haru memegangi tespack, matanya berubah samudera lautan, air mata membasahi pipi dan kerudung yang dia pakai. Dia begitu tidak sabaran usai pulang dari apotik membeli alat tes kehamilan, langsung masuk kamar mandi setelah meletakkan tas sembarangan di atas kasur.

"Alhamdulillah, Ya Allah, penantianku selama ini." Lututnya lemas, tubuhnya gemetaran saking bahagianya mendapatkan jawaban dari doa-doanya hampir setahun ini. Allah telah mengijabah rintihan di persetiga malam. 

Haziya tidak henti-hentinya tersenyum melihat dua garis merah. Suaminya juga pasti begitu senang mendengar berita bahagia ini.

Krek! 

Pintu terdorong dari luar. Haziya tersentak dari duduknya, lantas berdiri ketika sosok sang suami muncul. 

"Bang, aku ...."

"Kenapa kamu belum memasak? Ruang depan kotor begitu, apa kamu tidur dari pagi? Ini sudah jam 1 siang." Shabir mencerca Haziya dengan pertanyaan, wajahnya terlihat tegang. 

Haziya bisa menangkap kemarahan di mata suami, lelaki itu bahkan tidak bisa melihat wajah lembap Haziya saking dibutakan oleh emosi. Haziya segera memasukkan tespack dalam saku baju kemudian berjalan mendekati Shabir. 

"Bang, jangan marah-marah dong. Ayo, duduk dulu!" Haziya menggenggam tangan Shabir lalu membawa suaminya ke atas ranjang. 

"Adek ambil minum dulu, sebentar." Haziya menghapus air matanya cepat sebelum berbalik keluar dari kamar. Dia tidak ingin terbawa perasaan setelah dimarahi oleh Shabir di saat suasana hatinya sedang ditumbuhi bunga-bunga bermekaran. 

Tak lama Haziya masuk kembali ke kamar sambil membawa sekantong makanan yang dia beli tadi setelah dari apotik. Dia sudah memperkirakan waktu tidak cukup untuk memasak karena suaminya akan pulang ketika waktu Zuhur. Dari pagi mencuci baju dan mencuci piring kotor, setelahnya dia beristirahat sejenak karena merasa lelah dan juga kram di perut bawah kiri. Ketika terbangun sudah pukul dua belas saja, tertidur dua jam lamanya. 

Haziya berniat menyapu dan memasak. Namun, perutnya terasa begitu nyeri. Siklus haid sudah lewat beberapa hari, perasaannya begitu penuh harap ketika bermimpi dalam tidurnya tadi. Ditambah lagi ketika menghidu kamar tidur yang sudah dirapikan sejak bangun tidur, tetapi penciumannya terasa berbeda. Meski sudah disemprotkan wewangian khas yang sudah rutin dipakai, tetap saja dia menghidu tidak enak. Haziya ingin menuntaskan rasa penasaran karena itu dia pergi membeli tespack. Sudah mencoba menghubungi suami untuk memberitahu, tetapi nomornya tidak aktif. 

"Ini minum, Bang." 

Wajah Shabir sudah tidak lagi semerah tadi, dia menerima gelas dari tangan Haziya kemudian langsung meneguk air. 

"Abang lapar? Ini makan nasi padang, tadi adek beli di warung." Haziya menyodorkan plastik berisi makanan, tetapi Shabir tak juga mengambilnya. 

"Kamu suka sekali menghabiskan uang, bukannya aku sudah membeli beras dan sayuran. Kata Ibu tadi telur juga masih ada. Ikan tongkol juga ada di kulkas."

Haziya mendengar saksama ucapan suaminya, dia sudah tidak terkejut lagi dengan kedatangan mertua meski rumah terkunci, ibu dari suaminya punya kunci cadangan. Begitulah kenyataanya, tidak hanya toko bangunan--tempat Shabir mencari nafkah yang diawasi mertua, tetapi rumah yang mereka tinggali juga tidak luput dari mata Bu Karni. Sejak pindah ke sini lima bulan lalu, kehidupan Haziya berubah drastis. Sehari-hari tertekan oleh peraturan Bu Karni yang tinggal tak jauh dari lorong rumah mereka. 

"Makan dulu, Bang. Ini aku belikan dari uang jajanku kok. Aku tidak beli untukku." Haziya dengan sabar membuka bungkusan nasi serta kuah dan daging rendang khas padang. 

Perut Haziya berdendang, bahkan Shabir mendengarnya ketika baru saja memakan sesuap nasi. 

"Kamu juga lapar?" Haziya ingin menggeleng, tetapi nada perutnya semakin kencang. Spontan dia terkekeh seraya meraba perut datarnya, perlahan-lahan sebentar lagi akan mulai membuncit.

"Anak kita laper. Bentar ya, Nak." Tangan Shabir menegang mengenggam sendok ketika mendengar ucapan istrinya. 

"Apa kamu bilang barusan?" Haziya mendongak, dia semakin melebarkan senyum. Menatap suami yang melempar pandangan bingung semakin membuatnya tergelitik untuk tertawa. 

"Bang, aku hamil." Haziya langsung memeluk Shabir, tawanya sudah mereda berganti isakan tangis sukacita. "Aku hamil anak kita, Bang." 

Shabir terlalu terkejut mendengar berita tersebut, bahkan tangannya kaku tidak membalas pelukan Haziya. 

"Ini, lihatlah, dua garis merah!" seru Haziya setelah melepaskan pelukan, segera mengambil tespack dari saku, dan menampakkannya pada Shabir. 

"Abang tidak senang?" Shabir menggeleng, dia tidak tahu harus berekspresi bagaimana. 

"Kamu beneran hamil?" Haziya mengangguk cepat berkali-kali, dia bisa lega sekarang karena tidak akan lagi menerima cibiran dari mertua, kakak ipar, saudaranya, dan tetangga sekitar serta dari orang-orang yang mengenalnya. 

"Kamu suka sekali makan snack, kamu sendiri nggak mau hamil gimana bisa hamil? Shabir cari saja wanita lain yang masih subur. Istrimu kurus begitu, dia nggak bisa kasih keturunan." 

Haziya mengucap syukur, mulai hari ini dan seterusnya Bu Karni tidak akan menghinanya lagi. Dia bisa tenang karena Shabir tidak perlu berpoligami. 

"Tadi aku ke apotik, perut kram makanya belum sempat menyapu. Maaf ya," aku Haziya. Shabir mengenggam tangan Haziya, dia juga meminta maaf karena telah membentaknya tadi. 

"Alah, baru juga hamil muda malah sudah abai pekerjaan rumah." Bu Karni berdiri di ambang pintu, mulut pedasnya menyapa mereka berdua. Haziya menghela napas sebelum berbalik. Dia tidak tahu harus meladeni seperti apa mertuanya yang suka sekali masuk rumah tanpa permisi, bahkan berani melenggang ke dalam kamar mereka.

"Tetap saja kalau hamil, kamu masih harus jadi istri berguna," cibir Bu Karni sinis. 

"Bu, dia baru hamil muda, biarkan dia rehat sebentar agar kandunganya baik-baik saja." Haziya mengulum senyum mendengar pembelaan dari Shabir. 

Bu Karni meringis. "Manjain terus, dia bakal beralasan bayi, kandungan. Padahal malas." 

Haziya berdiri, tidak ingin meladeni debatan dengan sang mertua. "Bang, aku ke dapur dulu, ya."

"Kamu makan saja dulu, aku nggak mau anak kita kelaparan." Shabir menyuruh Haziya untuk kembali duduk. "Bu, Ibu sudah makan?" 

Bu Karni tidak menjawab, mukanya memerah, membuang wajahnya lalu keluar dari kamar. Haziya tahu mertuanya sedang marah karena Shabir membantah perkataan Sang Ibu. 

"Bang, anterin Ibu pulang," titah Haziya lembut, bagaimanapun dia tidak ingin jadi pembangkang, meski mertuanya kurang bersahabat dengannya, tetapi dia tetap harus menghormati Bu Karni. 

"Baik, kamu makan ya, nggak usah masak. Abang nanti beli nasi saja di warung depan." 

Shabir merogoh kunci motor di atas nakas, berpamitan dengan Haziya lalu menyusul ibunya. 

"Nak, maafin nenekmu, ya." Haziya mengelus perutnya sebelum memakan nasi padang yang begitu memanjakan lidah. 

"Kamu harus kuat ya, Nak. Baik-baik di sana, mama sangat ingin melihatmu lahir dengan sehat." 

Haziya menghabiskan makan siangnya, lalu melangkah ke kamar mandi untuk berwudu. Dia harus menyapu agar rumahnya bersih ketika Shabir pulang. 

'Dek, Abang langsung ke toko, ya. Sudah makan di rumah Ibu dan salat juga. Kamu rehat saja, jangan banyak bergerak dulu. Jangan banyak pikiran juga demi anak kita.' 

Haziya menyeka air matanya sesudah membaca pesan dari Shabir. Meski sesekali dia harus bersabar ketika suami ikut terpengaruh oleh hasutan mertua, tetapi dia sekarang terharu karena Shabir masih memikirkan kondisi dirinya juga bayi dalam kandungan. 

"Sayang, kita semua menyayangimu." 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status