Share

Bukti Cinta

"Hujan yang pernah bertandang mulai reda. Bunga-bunga cinta yang kamu semi, mulai mekar.  Kuharap kasih sayangmu jangan pernah memudar."

Haziya tidak bisa lagi menahan ombak dalam dada, sejak tadi gemuruh  sudah bertalu-talu. Perut bawahnya diolesi gel oleh perawat, dilanjutkan penempelan alat transduser USG oleh dokter hingga matanya basah ketika melihat layar di pojok dinding atas. Meski masih belum tampak jelas, bahkan hanya ada bulatan kecil, dia sendiri tidak tahu apa itu jika dokter tidak segera menjelaskan. 

"Lingkaran kecil seperti biji kacang ini namanya embrio, Bu. Memang masih sangat kecil karena kandungan Ibu baru memasuki empat Minggu. Sebelumnya, selamat Ibu sedang hamil." Haziya membalas ucapan dokter dengan seulas senyum, dia masih begitu haru melihat pemandangan di depan, Shabir yang menggantikannya dengan kata-kata.

"Terima kasih, Pak. Ini anak pertama kami setelah penantian. Alhamdulillah." 

Haziya semakin terisak dalam diam, menahan suara karena mengingat di ruangan ini bukan hanya ada dia dan suaminya saja. Melihat wajah Shabir juga merona penuh kebahagiaan seperti dirinya, Haziya semakin diselimuti rasa sukacita. Bukan hanya dia saja yang senang dengan kabar ini, tetapi Shabir pun sama. Mereka akan menjadi orang tua sebentar lagi.

Haziya turun dari ranjang dibantu oleh Shabir yang memegang tangannya, lalu keduanya dipersilakan duduk di kursi. Dokter sekali lagi mengucapkan selamat kepada mereka. Kemudian menyodorkan buku kehamilan.

"Jaga kesehatan Ibu, jangan angkat yang berat-berat dulu. Jangan begadang, jangan suka bersedih juga karena bakal ngaruh ke janin. Bapak bantu Ibu selalu bahagia ya, biar anak kalian juga bahagia."

"Iya, Dokter." Shabir semakin mengeratkan genggamannya pada Haziya. Sebenarnya sejak masuk ke ruang pemeriksaan ini dia sudah begitu gemetaran. Usianya memang sudah dua puluh sembilan, sudah terbilang dewasa dan singgap untuk menjadi seorang ayah. Namun, tak bisa disembunyikan rasa campur aduk yang dirundungnya. 

"Makanan pedas jangan dimakan dulu karena bisa menyebabkan mencret bagi ibunya, nanti takutnya karena sering mencret dia sering ke toilet dan hidrasi. Kopi juga jangan banyak mengonsumsinya. Makan makanan yang bergizi. Ada yang mau ditanyakan lagi?" 

Haziya melirik Shabir, keduanya menggeleng. Dokter mengambil hasil USG dan buku kehamilan lalu menyerahkannya pada Shabir.

"Terima kasih, Dok."

"Sama-sama, semoga Ibu dan anak sehat selalu."

"Aamiin."

"Mari, Pak, Bu, saya antar keluar, nanti Ibu tunggu namanya dipanggil ya untuk mengambil obat," papar 
Perawat menuntun keduanya ke ruangan sebelah.

"Terima kasih." 

Shabir bangkit dari kursi penunggu ketika nama Haziya disebutkan oleh perawat dalam loker apotik. Dia menebus sekantong obat seharga empat ratus ribu.

"Ini vitaminnya diminum dua kali sehari ya, Pak."

"Baik, terima kasih." 

Haziya ikut bangkit dan menghampiri Shabir ketika suaminya berbalik berjalan ke arahnya.

"Berapaan, Bang?" tanyanya setengah berbisik.

"Empat ratus ribu," jawab Shabir. "Ini 'kan demi anakku, jadi nggak apa-apa ayahnya keluarin duit segitu kok, kamu tenang saja. Doain Abang moga mudah rezeki."

Shabir segera menggandeng tangan Haziya, wajah istrinya tampak menyesal karena meminta datang ke rumah sakit untuk USG tanpa menggunakan BPJS sehingga Shabir harus merogek dompetnya sebanyak itu. 

"Lagian kalau kita datang USG gratis 'kan waktu Abang dan kamu juga terbuang banyak untuk antri, kamu juga nanti capek. Ini juga pertama, kamu nggak perlu merasa bersalah gitu." Shabir mengatakan kalimat indah yang didengar oleh telinga Haziya ketika perempuan berjilbab cokelat muda itu mengucapkan maaf berulang kali.

"Makasih ya, Bang." 

Shabir mengangguk, kemudian dia membantu Haziya memakaikan helm.

***

"Darimana kalian, jam segini baru pulang?" 

Bu Karni berkacak pinggang menyambut kepulangan Shabir dan Haziya. Bukannya menjawab salam dari mereka, wanita berkacamata itu malah melontarkan pertanyaan dengan wajah sangar. 

"Keluyuran aja terus, mentang-mentang lagi hamil maunya dimanjain," cecar Lathifah mendadak muncul dari arah dapur, sebelah tangannya menenteng plastik berisi buah-buahan yang dia ambil dari kulkas. 

Siang tadi ibunya Haziya sengaja menyuruh adik Haziya  mengantarkan beberapa jenis buah untuk dikonsumsi, karena baik untuk janin yang sedang dikandung oleh Haziya. Bahkan Haziya baru memakan satu buah apel, meski begitu dia tidak melarang kakak iparnya itu untuk membawa pulang semua buah-buahan miliknya. Badan Haziya agak lelah terkena angin malam, dia tidak ingin berdebat dengan Lathifah, percuma buang-buang tenaga saja. Bu Karni pasti akan semakin berang, menganggapnya pelit tidak mau berbagi.

"Kami pulang dari rumah sakit, Bu, tadi USG--"

"Berapa biaya USG?" Bu Karni memotong ucapan Shabir. "Suka sekali menghamburkan uang, kenapa nggak cek  yang gratis saja? Belum lahir anak saja sudah boros begini."

"Bu, jangan ngomong begitu," tegur Shabir, tetapi dihiraukan oleh ibunya.

"Kamu cuma tiduran di rumah, kerja nggak. Percuma kuliah tapi nggak jadi guru. Sekarang, kerjaannya cuma melorotin anakku saja," cibir Bu Karni tidak memberi kesempatan bagi Haziya untuk mengatakan sepatah kata pun. 

"Lihat dua anakku, mereka baik-baik saja, nggak pernah USG juga."

"Sudah, Bu. Ini aku bawain nasi goreng kesukaan Ibu." Shabir membawa ibunya ke meja makan.

Haziya merasakan pusing luar biasa mendengar omelan mertuanya, bahkan dia memaksakan untuk tetap menyunggingkan seulas senyum sebelum semuanya benar-benar gelap. Mata Haziya terpejam akibat kelelahan dan beban pikiran, akhirnya dia tumbang. Bersyukur, Shabir berhasil mendekap tubuh lemah Haziya yang tidak sadarkan diri. 

“Alah, pura-pura pingsan lagi, aku nggak akan tertipu dengan aktingmu.” 

Shabir segera menggendong Haziya ke kamar, Bu Karni semakin naik pitam. 

“Bu, Ibu tunggu di luar saja, ya?” Pintu terkunci dari dalam, Shabir tidak ingin ibunya memarahi Haziya bahkan di saat istrinya sedang pingsan, tetapi ibunya tidak berbelas kasihan. 

"Buka pintunya, suruh istrimu setrika baju menumpuk. Jangan malasan, sudah pinter akting saja, sekalian ikut syuting sinetron Curhatan Istri di Indosiar." Bu Karni mengetuk pintu disertai ocehan. 

Shabir menyelimuti Haziya dari kaki hingga badan. Setelah menunggu tidak ada lagi suara gedoran pintu, dia langsung keluar. Ibu dan kakaknya masih di dapur dengan wajah cemberut.

"Lihat istrimu kulkas kosong begini padahal kemarin aku lihat masih ada dimsum. Pasti dia sengaja menghabiskan karena tahu aku ke sini. Dasar pelit."

"Buah-buahan belum cukup, Kak?"

"Bu, lihat, kan, dia jadi pelit juga, ikuta istrinya," adu Lhatifah.

"Mulai besok uang kedai biar ibu yang bawa pulang, kamu jadi boros. Ibu nggak suka."

"Tapi, Bu--"

"Tidak ada tapi-tapi, kamu nggak mau jadi anak durhaka, 'kan? Ibu nggak mau modal ibu nggak jadi balik karena kamu boros. Kalau kamu nggak mau uang toko di tangan ibu, tutup saja tokomu biar ibu suruh suami Kakakmu yang jualan."

Shabir tidak bisa lagi membantah. Keputusan ibu sudah bulat, hanya bisa menghela napas pasrah. 

"Ya sudah, mulai besok uang toko sama Ibu. Ayo, biar Shabir yang anter Ibu pulang."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status