Share

Luka

"Jangan berharap lebih pada manusia. Peluk lukamu dengan doa. Bersihkan jiwamu dari dendam. Ikhlaskan segala keadaan dan serahkan semuanya kepada Pemilik Segala Alam.

"Bang, Abang mau ke mana? Ini masakan sudah adek siapin, Abang makan saja dulu," cegat Haziya ketika melihat Shabir hendak memegang ganggang pintu.

"Abang ke rumah ibu, Kakak Lathif katanya masak kuah pliek. Abang makan di sana saja. Jangan lupa kunci pintu," papar Shabir, kemudian menarik ganggang dan keluar menuju halaman depan. Segera mengenderai motor, menyisakan deru yang semakin menjauh dan meninggalkan Haziya berdiri kedinginan di teras seraya menatap kepergian suaminya untuk ke sekian kali. 

Haziya memang tidak pandai memasak, tetapi dia terus belajar cara masak yang benar. Mencatat resep dari ibu, juga menonton tutorial memasak dari YouTube supaya Shabir bisa makan masakan sehat di rumah. Namun, perjuangannya selalu menyiapkan hidangan jangankan mendapat pujian dari Shabir, malah suaminya tidak mau mencicipi. Jempol kembung karena terkena panci panas yang sudah diolesi odol menjadi bukti bagaimana pengorbanannya.

Haziya hanya bisa menghela napas, berbalik menyeret langkah lesu memasuki rumah dengan perasaan berkecamuk. Seminggu ini sudah dua malam Shabir tidak pulang, beralasan menginap di rumah ibu karena suami Lathifah tidak bisa pulang beberapa hari. Padahal Lathifah dan dua anaknya tidak sendirian di rumah, ada Bu Karni, sedangkan Haziya tidak punya siapa-siapa. Seharusnya, Shabir mengajaknya untuk ikut menginap di rumah ibu. 

Cuaca dahina begitu dingin, bahkan petrikor begitu menyengat.  Sama halnya dengan hubungan Haziya dengan Shabir sekarang. Meski dekat terasa selalu ada sekat. Dua bulan dilaluinya dalam kesedihan atas kehilangan janin, ditambah sikap Shabir semena-mena dan kurang perhatian semakin menabur luka. Asmaraloka terasa hambar dan tawar, tidak ada tawa maupun canda. Obrolan singkat dan lebih banyak jeda.

Tidak ada lagi sambutan sajak arunika, apalagi syair-syair pengantar tidur. Shabir lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah. Nafkah batin tidak pernah dirasakannya, setelah proses penyembuhan dua bulan hingga hampir tiga bulan ini. Haziya memaklumi karena kondisinya mungkin Shabir mengkhawatikannya jika buru-buru. Namun, nafkah lahir pun sekarang Shabir seakan melupannya. Hanya memberi uang mingguan seratus ribu, itu pun Haziya harus membeli bahan keperluan memasak. 

"Masak untuk sendiri saja, hematin uang itu. Jangan boros."

Haziya tidak pernah membeli baju ataupun barang tanpa sepengetahuan Shabir. Sehari-hari hanya di rumah tanpa bekerja, bergantung pada pemberian suami dan sesekali ibunya mengirimkan yang ditabungnya. 

"Bang, baru pulang?" sambut Haziya ketika Shabir masuk ke dalam kamar. "Mau makan?" Haziya sengaja belum sarapan pagi, menunggu kepulangan suami. 

"Nggak, Abang mau ke toko, sudah kesiangan. Kamu jangan malas-malasan di kamar, beresin halaman depan, rumput sudah panjang gitu." Shabir melenggang dalam kamar mandi.

"Baik, Bang." 

Rasa melilit perut semakin menjadi, Haziya berusaha berjalan memasuki kamar setelah membersihkan halaman depan. Keringat dingin bercucuran, bersyukur dia tidak terjatuh di lantai licin yang sudah dipelnya sebelum Shabir pulang. Haziya merogoh ponsel di dekat ranjang, menghubungi nomor Shabir. Beberapa kali suara operator terdengar, akhirnya suara Shabir mengudara di seberang. 

"Kenapa? Abang lagi di toko, banyak orang. Nanti saja."

"Tunggu, Bang. Perutku sakit, Abang bisa ...."

"Olesi minyak telon saja!" 

Tut. Panggilan terputus bersamaan air mata Haziya luruh.

"Assalammualaikum, Haziya kamu ada di rumah? Ini Ibu di luar, sudah ibu ketuk tapi nggak ada yang nyahut padahal pintunya terbuka. Apa kamu di dalam? Kamu kenapa menangis?" 

Haziya tidak bisa menjawab pertanyaan sang ibu yang menelponnya. 

"Ibu masuk ya sama ayah?" 

"Iya, Bu." Haziya menggigit bibir, menahan rasa kram di perut bawah. 

"Ya Allah, Nak, kamu kenapa?" Ibu berteriak cemas melihat Haziya menekuk badannya dekat ranjang.

"Di mana suamimu?" tanya ayah seraya membantunya duduk di kasur.

"Di toko, Yah. Perut Haziya sakit."

"Apa dia nggak bisa pulang? Ini kenapa wajahmu merah, kamu ditampar?" Ayah mengecek wajah anak perempuan sulungnya, menahan gejolak emosi menunggu jawaban Haziya. Bekas tamparan malam selumbari masih meninggalkan jejak padahal dia sudah mengompresnya. 

"Katakan yang jujur, Nak."

"Sudah, Yah, kita bawa Haziya ke rumah sakit dulu."

"Mana ponselmu?"

Haziya menyodorkan HP silver, kemudian ayahnya segera menghubungi Shabir.

"Kenapa lagi? Sudah kubilang aku sibuk, jangan menggangguku, pulang saja ke rumah ibumu jangan seperti anak kecil, sakit dikit nyusahin." Shabir mendengkus di seberang. 

"Dengan senang hati." Pak Burhan segera menutup ponsel dengan rahang keras, jika Shabir ada di hadapannya sudah  pasti dia akan memberi pelajaran.

"Bawa dia keluar, Bu. Ayah akan kemasi baju-baju Ziya dulu. Telpon Lidya untuk ke sini segera."

Haziya tidak bisa melarang ayahnya mengemasi pakaian di dalam lemari ke tas sandang. Memeluk ibu dengan menahan isakan tangis. 

Hati dan pikirannya butuh ketenangan, ditambah sakit perut yang sering muncul. Lebih baik tinggal bersama orang tua yang begitu memedulikanya.

***

Mata Haziya begitu berbinar-binar, pelangi di matanya melengkung setelah tiga bulan lamanya. Memakai gamis paling bagus di lemari, kemudian bercermin di depan kaca. Hanya tiga hari di rumah ibu, Shabir menjemputnya setelah meminta maaf kepada orang tuanya juga kepada dirinya. Haziya luluh. 

Sudah dua Minggu Haziya kembali ke rumah yang ditempatinya bersama Shabir. Bu Karni juga tidak terlalu mengekang dan menindasnya, Lathifah pun jarang ke rumah untuk sekadar mengambil lauk. Haziya sempat menaruh tanda tanya, tetapi dia berusaha berpikir positif. Mungkin mereka sudah menyadari kesalahan dan ingin memperbaiki hubungan agar lebih baik dan dekat kembali.

"Bu, kami pamit pergi main dulu ya ke Laweung mau makan mie sure. Ibu mau dibawa pulang?" tanya Haziya setelah menyalami Bu Karni.

"Nggak usah, kalian hati-hati," pesan Bu Karni. 

"Baik, Bu, Wassalamu'alaikum."

"Waalaikumsalam."

Haziya menaiki motor setelah dipakaikan helm oleh Shabir. Kendaraan roda dua itu melaju dan menghilang dari pandangan Bu Karni yang tertawa nyaring.

"Lihat dia tertawa!" ejek Bu Karni.

"Bodoh, ntar juga nangis lagi," timpal Lathifah ikut duduk di sebelah ibunya. Rencana mereka berjalan lancar.

***

"Bang, kita mau ke mana?" tanya Haziya heran ketika Shabir bukannya membelok ke kanan, malah ke arah kiri.

"Ini kita nggak jadi ke Laweung? Ke Tangse ya, Bang?"

Shabir mengangguk. "Sudah lama nggak makan ikan keureuling. Nggak apa-apa, 'kan?"

"Nggak apa-apa kok, Bang. Ziya juga suka ikan keureuling."

Haziya  mengeratkan pelukannya pada pinggang Shabir. Wajahnya begitu cerah, tersenyum bahagia. Mencoba berpikir positif, ke mana pun dia dibawa asal bersama Shabir dia tetap suka. Mereka sudah lama tidak liburan berdua. Haziya juga rindu hari-hari yang indah dilaluinya bersama sang suami. Pemandangan menakjubkan menari-nari dalam hayalannya.

"Kita ke rumahmu dulu, kemarin Abang ninggalin dompet di lemari."

Haziya tidak bertanya lebih lanjut ketika Shabir mengambil jalan menuju ke rumah orang tuanya. Tidak ada pikiran buruk.

"Kita masuk kamar dulu yuk, kamu bisa istirahat dulu juga."

Haziya menurut, pintu rumahnya tidak terkunci, hanya ada Fairus. Ibu dan ayah sedang keluar sebentar katanya.

"Kamu tunggu di sini ya, Abang mau isi bensin dulu di kios depan."

Haziya mengangguk, tidak terlintas di kepalanya kalau Shabir sedang berbohong. 


Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status