Share

Kenapa Bertemu Lagi?

Haziya tidak enak berada di satu meja yang sama dengan Zaweel, bagaimanapun dia sudah pernah menikah mesti sekarang statusnya masih gantung karena pengadilan belum memutuskan. Shabir tidak hadir pada sidang perceraian pertama, membuat persidangan tertunda lagi. 

"Kalian mau ke mana sudah rapi?"

"Bukan urusan Abang, nggak usah minta ikut. Ingat, Abang ke sini buat kerja bukan cari mangsa."

Zaweel tertawa seperti orang kerasukan. "Aku kerja buat siapa? Ya, buat istri dan anak-anakku nanti lah. Restui Abang dengan Ziya aja, gimana?" 

"Bang, mau matamu aku colok dengan garpu?"

"Ampun bang jago!" Zaweel berdiri, meninggalkan mereka dengan gema tawa.

"Lihat, kan, anak tiktok nyasar.'' Miska menghabiskan nasi di piringnya, sejak semalam dia dibuat pusing oleh kelakuan Zaweel. 

"Silakan masuk para penumpang, aku akan mengantarkan kalian ke mana pun kecuali ke rumah mantan," sambut Zaweel ketika pintu mobil terbuka dari belakang. Baik Miska dan Haziya tampak kaget melihat sosok lelaki berperawakan itu di kursi kemudi.

"Pak Marsan mau nonton siaran ulang bola semalam, dan sebagai ganti Abang jago ini bakal anterin kalian keliling Pidie."

"Tau jalannya, Bang? Ayo Ziya masuk saja, nggak dengar juga dia kalau kita larang." 

Haziya duduk tepat di belakang kursi kemudi, karena dia membuka pintu sisi kanan, sedangkan Miska duduk di sebelahnya.

"Tenang, aku punya Mbak Jago aka Mbak Maps." Zaweel segera menekan layar ponsel yang diletakkan di samping setir.

"Sayang, di mana rumah kita?"

"Waras Abang!" Miska menepuk belakang kursi kemudi dengan tasnya. "Atau nggak kami turun," ancamnya.

"Baik, sahabat dari calon istriku.  Kita mau ke mana?" tanya Zaweel serius. 

"Rumah bimbel di Keuniree."

"Siap!" 

Haziya mengucapkan istighfar dari dalam hati ketika tidak sengaja menangkap tatapan seringaian dari Zaweel di balik spion tengah. Bahkan ucapan Miska di sebelahnya terdengar seperti angin berlalu, dia jadi tidak fokus.

"Ziya, kamu melamun? Udah nggak usah pikirin itu lelaki nggak tanggung jawab. Mending kamu fokus sama pekerjaan nanti dia juga nyesal kalau kamu sudah sukses." 

"Nggak kok, Mis, aku cuma agak pusing saja naik mobil, hehe," kilahnya berusaha tetap tenang. 

Haziya masih belum bisa menata hatinya kembali dari pecahan luka dan lara. Namun, entah mengapa dia merasakan getaran ombak kala bersitatap dengan mata cokelat milik Zaweel.

Tidak! 

Haziya tidak boleh jatuh cinta.



'Hatiku bukan riak bisa pasang surut menerima luka yang kamu tabur. Rinduku, kasih sayangku telah lama tergulung ombak, lalu bagaimana aku bisa kembali? '

"Sudah mulai aktif kamu ya," Zaweel mengedipkan sebelah mata kepada Haziya yang duduk di seberang meja. 

"Maaf, maksudnya?" tanya Haziya tidak mengerti perkataan lelaki berkaos hijau lumut itu. 

"Itu kakinya sengaja colek-colek aku," papar Zaweel disertai kekehan, lalu dia kembali menyantap makanannya dengan santai. 

"Eh, maaf aku tidak sengaja," jelasnya langsung menarik alas kaki yang mengenai kaki Zaweel. Kebiasaannya melepas sandal ketika makan dan meletakkannya di atas, beruntung dia menggunakan kaos kaki sehingga yang terkena bukan aurat. 

Haziya menjadi canggung, memaksakan melanjutkan makan. Rumah makan Polem memang tidak pernah sepi, apalagi sore begini banyak anak muda yang singgah bareng teman tongkrongan. Selain untuk mengeyangkan perut, selfie tidak boleh ketinggalan. 

"Aku pulang naik labi-labi saja, ya?" 

"Ini sudah selesai kok, sabar. Aku bayarin dulu." Zaweel mengelap mulut dengan tisu, kemudian ke kasir untuk membayar pesanan mereka bertiga, termasuk Miska yang sudah pergi sepuluh menit lalu karena ada urusan mendadak mengenai sekolahnya. Dia dijemput oleh teman sesama guru, terpaksa meninggalkan Haziya dengan Zaweel. 

Bagi Haziya berduaan begini tidak lumrah, jika ada yang mengenalinya bisa salah paham, karena itu dia sengaja makan cepat biar segera bisa pulang. Namun, Zaweel terlihat begitu santai menikmati mie Indomie goreng. 

"Kenapa duduknya di belakang? Aku bukan sopir angkut lho."

"Di sini saja, nggak apa-apa," ungkap Haziya segera masuk ke kursi penumpang di belakang.

"Wah, beneran kayak sopir angkut. Nasib jomblo ya gini, nggak ada yang duduk di sebelah. Ayo, narik bang!" seru Zaweel memukul pelan stir kemudi. Haziya berusaha mengabaikan tingkah saudara Miska, memilih menyibukkan diri dengan ponsel, membaca peraturan jadi guru bimbel. 

Masa pandemi begitu susah mencari pekerjaan, bersyukur Haziya diterima jadi guru Bahasa Arab di rumah bimbingan belajar milik orang tua Miska. Meski seminggu hanya dua hari saja dan sisanya belajar dari rumah sistem online karena mengikuti aturan pemerintah, Haziya tetap senang. Selain dia bisa menyalurkan ilmu yang telah dipelajarinya, dia juga bisa mendapatkan uang dari hasil mengajar. 

"Kita isi minyak dulu, ya, daripada berhenti di tengah jalan." Zaweel membelokkan mobil ke area SPBU Bambi ketika melihat jarum merah di angka paling bawah. 

"Siang, Pak, mau isi berapa?" tanya petugas yang memakai seragam oren dengan ramah.

"Dua ratus, Pertamax ya, isinya dari hati ke hati," kelakar Zaweel mengundang tawa dari perempuan itu. 

"Becanda, hatiku cuma satu untukmu," gombal Zaweel sedikit menengok ke belakang ketika menyadari ditatap oleh Haziya.

"Bisa buka pintu sebentar, aku mau ke toilet," pinta Haziya memegang ganggang pintu yang dikunci otomatis, mengabaikan ocehan Zaweel. Dia sudah tidak ada waktu meladeni hal-hal tidak penting seperti itu. Masa remajanya sudah lewat, apalagi sekarang dia sudah sendiri. Tidak ingin status janda yang begitu rendah di pandangan orang-orang terbukti hanya karena dia tidak bisa menjaga diri. 

"Beneran ke toilet, bukannya kabur, 'kan? Aku nggak mau Miska memarahiku--"

"Beneran, Bang, aku nggak akan kabur, mana ada labi-labi di sini," jawab Haziya setengah kesal, karena sejak tadi dia sudah menahan pipis.

"Hehe, iya deh, aku tunggu di sana ya." Zaweel menggaruk kepala bagian belakang seraya menyeringai, jari telunjuk mengarah ke depan musalla. 

"Iya." 

Mencintai adalah hal lumrah bagi manusia. Tiga tahun lalu, bunga-bunga bermekaran di mata Haziya. Tawanya begitu lepas menggema. Merajut rindu kala tak berjumpa. Masa remaja begitu indah ditaburi sajak-sajak asmara. 

Setahun berhubungan dengan Shabir sebagai kekasih, dan setahun juga dia menyandang status tunangan. Menikahi orang yang sudah menerima kita apa adanya, keluarga saling kenal bahkan ibu Shabir begitu bahagia menyambutnya tiap bertamu ke rumah. Namun, semuanya berubah ketika mereka berhubungan sebagai  mertua dan menantu.

Rumah tangga yang diharapkan bisa harmonis, sakinah mawadah warahmah tidak terwujud setelah setahun pernikahan mereka. Sikap Shabir mendadak berubah sejak dia keguguran. Mantan suami Haziya semakin menuruti apa pun perintah dan kemauan Bu Karni, tidak membelanya ketika dimarahi dan disalahkan. Bahkan jarang pulang ke rumah, lebih memilih menginap di rumah mertua padahal Haziya begitu setia menunggunya pulang hingga larut malam. Tidak mau menyicipi masakannya. 

"Bebas sekarang ya, pergi berduaan dengan lelaki. Berapa tarifnya?" cecar suara serak menyapanya ketika keluar dari toilet. Lelaki yang sudah tidak pernah dilihatnya selama tiga bulan ini bersandar pada dinding, kedua tangan dilipatkan di dada.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status