Share

Pengacara Baru

"Bang Shabir, aku ...." 

Haziya spontan mundur ketika Shabir melangkah maju. Tubuhnya dikunci oleh lengan kekar Shabir, wajah keduanya begitu dekat. 

"Bang, jangan begini, nggak enak dilihat orang. Ini toilet perempuan," tegur Haziya berharap Shabir menjauhkan dirinya, tetapi lelaki itu malah semakin mendekatkan wajah.

"Jangan sok suci, sudah kunikmati juga. Kenapa dia bisa denganmu, sedangkan aku suamimu nggak bisa, hah?!" emosi Shabir meninju dinding di sebelah kiri wajah Haziya.

"Bang, kendalikan amarah Abang," pinta Haziya setengah serak menahan tangis, kejadian malam panas itu kembali terbayang. Dia takut Shabir jadi lepas kendali dan menamparnya untuk kedua kali. 

"Kita juga sudah bukan suami istri lagi, Bang. Aku sudah mengajukan--"

"Tidak akan, aku nggak akan pernah menceraikanmu. Kamu bisa senang bebas dengan lelaki itu, nggak akan pernah." 

Haziya merapalkan doa dalam hati, berharap ada seseorang yang menyelamatkannya dari gangguan Shabir. 

"Bang, kita sudah berpisah. Abang sendiri sudah menikah lagi," terang Haziya berharap mantan suaminya mengerti dan membiarkannya keluar.

"Poligami dibolehkan."

"Aku nggak mau dimadu, Bang. Maaf. Apalagi Abang sudah mengantarkan aku ke rumah ibu, nggak menghubungiku apalagi menafkahiku selama empat bulan. Itu artinya ... kita--astagfirullah!"

"Sori Bang Jago, Ampun Bang jago!" Zaweel mendorong keras pintu yang dikunci dari dalam, berdiri dengan seringaian khasnya.

"Aku pikir kamu mau kabur lewat pintu toilet dan menembus planet mars makanya aku ingin menyusulmu. Nah, sekarang ayo kita pulang, Miska meneleponku terus menerus karena ponselmu ketinggalan di mobil. 

"Siapa kamu?" Shabir menarik cepat  tangan Haziya ketika Zaweel hendak membawanya.

"Aku, adalah ... ayo tebak? Siapakah aku? Punya dua mata, dua lubang hidung, dan ...."

"Ah, kamu rupanya lelaki simpanan dia," cibir Shabir. "Pergi dari sini sebelum orang-orang menangkap kalian, dia urusanku." 

Haziya menggeleng, memberi isyarat pada Zaweel agar menyelamatkan. Dia tidak tahu akan seperti apa jika Shabir memaksanya ikut kembali pulang ke rumah mertua, padahal jelas bulan lalu dia sudah ke rumah Pak Geusyik di desanya untuk memberitahu kalau mereka sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi. 

"Lepaskan dia atau kusiram kamu dengan air coberan ini?" 

Zaweel menenteng gayung yang sudah terisi air dari bak pembuangan. Entah dari mana idenya. Berbeda dari sinetron yang pernah Haziya lihat, ketika dua lelaki memperebutkan seorang perempuan, mereka akan saling adu jotos. 

Miska benar, otot Zaweel memang lebih kekar dari Shabir, tetapi sikap kekanakannya terlihat begitu jelas. Eh, Shabir juga belum dewasa, nyatanya rumah tangga mereka hancur hanya karena adu domba mertua. 

"Haziya pilih dia atau aku?" 

Haziya tercegang ketika Zaweel melontarkan pertanyaan yang semakin membuat Shabir berang. 


'Rinai hujan kering menyisakan aroma dan genangan pada jalanan, sedangkan rinai lara yang luruh di mataku selalu basah oleh kenangan.'

"Pilih disiram apa keluar?" Zaweel bertanya serius pada Shabir, ketika Haziya tidak menjawab pertanyaan sebelumnya. 

"Memaksa perempuan, melecehkan dan mengancamnya akan dikenai pasal. Apa ingin aku membuat laporan?" 

"Siapa kamu?" Shabir tidak mau mengalah, wajahnya begitu tegas, masih menggenggam tangan Haziya dengan erat. Tidak peduli perempuan berkerudung hitam itu menahan nyeri akibat cengkraman. 

"Aku adalah pengacara yang siap menjobloskanmu dalam penjara," jawab Zaweel tenang membuat kedua pendengar terbelalak tak percaya. Penampilannya jauh dari orang yang mengerti tentang hukum. Haziya tidak bertanya pada Miska mengenai pekerjaan lelaki yang tiba-tiba ada di rumah Miska, karena dia tidak penasaran dan tidak ikut menaruh keingintahuan lebih lanjut tentang Zaweel. Masalahnya saja sudah cukup membuatnya pusing. 

"Nggak usah ngada-ngada, lelaki simpanan. Kamu saja yang keluar, dia istriku, aku nggak punya urusan denganmu." 

"Sayangnya, aku menjadi urusan dengan klienku."

Haziya menaikkan alis, berusaha mencerna perkataan Zaweel. Bisa saja lelaki itu merancau asalan untuk menyakinkan Shabir melepaskannya. Namun, dugaannya salah ketika Zaweel memamerkan kartu nama di depan Shabir.

"Aku baru dipindahkan ke sini, dan aku nggak akan menyia-nyiakan kasus pertama kalah." 

Secetak senyum mengembang di wajah putih Zaweel, setelah membayar uang kepada petugas SPBU tadi dia menunggu Haziya balik di dalam mobil, tetapi sudah lima belas menit berlalu yang ditunggu tidak tampak juga. Tidak ingin menerka-nerka Zaweel ingin mengecek sendiri, kecurigaan ada sesuatu yang sedang terjadi bermula melihat pintu masuk dikunci dari luar padahal tidak ada peringatan bahwa toilet rusak. Dia yakin Haziya tadi masuk lewat pintu ini. 

Suara lelaki samar-samar terdengar, diikuti suara mirip Haziya. Menunggu beberapa menit sebelum dia mendobrak pintu. Benar saja, Haziya sedang dalam bahaya. Sebagai naluri lelaki melindungi perempuan, meski baru mengenal pagi tadi dia terdorong untuk menyelamatkan Haziya. 

"Suami apa mantan suami?"

"Suami, aku belum menceraikannya dan kamu jangan membual sebagai pengacaranya. Kartu nama itu nggak valid."

"Lihat di belakangmu dalam kloset itu!" tunjuk Zaweel.

"Apa yang sudah dibuang nggak bisa diambil kembali, 'kan? Begitu pun dia, jangan jadi pria egois menyakiti hati wanita yang dulu pernah menjadi terbaik di hidupmu dan setelah kamu membuatnya terluka begitu mudahnya ingin kembali dalam hidupnya?" Zaweel menghela napas berat.

"Jangan membuatku menyirammu dengan air kotoran ini biar kamu ngerasain baunya," tutur Zaweel menyengir penuh makna. "Kita ketemu di persidangan saja," pungkas Zaweel, lalu begitu cepat sebelah tangannya mengambil alih Haziya yang tidak menduga akan keberanian Zaweel merebutnya begitu saja, bahkan Zaweel menyiram sepatu Shabir dengan air dari kloset sebelum kabur dari sana membawa Haziya.  

"Cepat naik, Ziya," titah Zaweel membuka pintu, terpaksa Haziya masuk di bangku penumpang sebelah pengemudi, tidak ada pilihan. Dia ingin segera menjauh dari Shabir. Dari spion luar Haziya mengintip sosok Shabir yang berusaha mengejar dengan wajah penuh amarah. 

"Maaf, Bang, aku nggak mau terkekang oleh masa lalu lagi. Kita punya jalan hidup masing-masing," lirihnya dalam hati.

Haziya berharap pilihannya ini yang terbaik. Apa pun yang akan terjadi nanti, fitnah dan tuduhan yang akan disebar oleh Shabir dia akan berusaha untuk menyiapkan diri menerima segala kemungkinan. 

"Kamu nggak apa-apa, 'kan? Apa aku terlalu keras menarikmu?" 

"Nggak, makasih ya. Tolong rahasiakan ini pada Miska. Aku nggak mau menambah beban pikiran dia."

Zaweel mengganguk, meski dia punya mulut hobi berbicara, tetapi persoalan rahasia dirinya pandai menyembunyikannya. 

"Oh ya, maksud kamu tadi apa jadi pengacara, itu beneran?" tanya Haziya memastikan, menepis keraguan setelah melihat kartu nama. 

Sejak pagi bertemu dengan Zaweel, menemaninya ke rumah bimbel hingga ke tempat Polem, serta di SPBU tadi mustahil bagi Zaweel menyiapkan sandiwara itu dengan mengprint kartu nama hanya untuk menyelamatkannya.

"Seperti yang aku bilang, aku akan menjadi pengacaramu."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status