Share

Jangan Baper Karena Zaweel

"Pernah mencintai, tetapi disakiti. Tolong, perasaan jangan mudah terbawa suasana. Hanya karena kata-kata mutiara belaka."

Tit!!

"Astagfirullah! Kenapa, Bang?" tanya Haziya panik ketika suara klakson bunyi bertubi-tubi, hampir saja ponsel di tangannya terjatuh. 

"Itu tadi ada kuyang lagi cabutin uban," jawab Zaweel dengan wajah datar menunjuk ke depan. 

"Kuyang? Apaan itu kuyang? Kucing Persia?" 

Zaweel terbahak atas kepolosan Haziya. Kekesalannya hilang sudah, sejak dipanggil beberapa kali tidak ada sahutan dari perempuan yang duduk di samping karena terlalu sibuk dengan ponsel. 

"Ponselnya baru ya, dilihatin mulu?" sindir Zaweel ketika Haziya menyimpan ponsel silver itu dalam tas. 

Ketika sebuah notif masuk atas nama Diana, kesadarannya seolah terjebak dalam rumah Oren. Membaca tulisan Diana yang mengisahkan tentang kandasnya rumah tangga dia dengan Shabir. Seolah ikut terlarut dalam masa lalu yang menguras air mata. 

"Baca apaa sih kok nangis?"

"Eh?" Haziya spontan menyeka sisa bening di ujung pelupuk. 

"Kita di mesjid?" alih Haziya ketika menyadari mobil berhenti di tempat parkir Masjid Abu Dauh Beureueh yang terletak tidak jauh dari kawasan pasar Beureunuen.

"Iya, sudah azan, kita salat asar dulu?" ajak Zaweel seraya mematikan mesin. Keduanya turun, lalu bergegas menuju tempat wuzu, kemudian melaksanakan ibadah karena sudah memasuki waktu salat asar. 

Hanya kepada Allah semua bisa kita curahkan, kesedihan, kesusahan dan hanyalah kepada Pemilik Seluruh Alam kita meminta apa yang kita inginkan. Bersujud menyembah-Nya, membuat hati tenang dan damai. Segala beban di pundak luruh dalam bisikan hati. 

"Ya Allah, sabarkanlah hamba dalam menerima ujianmu. Permudahkanlah urusan hamba dengan Bang Shabir, bahagiankanlah dia dengan kelurga barunya, begitu pun juga dengan aku dan keluargaku. Jauhkan aku dari hati pendendam, ikhlaskan aku menerima semua ketetapanmu. Aamiin." 

Haziya melipat mukena setelah selesai berdoa, kemudian menyimpannya di tempat penyimpanan. Dia segera pamit setelah bertegur sapa sebentar dengan jamaah sesamanya. Tidak ingin membuat Zaweel terlalu lama menunggu, apalagi jika ibu-ibu tadi tahu kepergiannya dengan bukan mahram. Jangan sampai ada kesalahpahaman, serta menghindari banyak mata memandang. Berharap tidak ada yang mengenalinya. 

"Kenapa buru-buru begitu?" tanya Zaweel setelah duduk di bangku kemudi, penasaran melihat gelagat Haziya berjalan tergesa-gesa seperti tadi menuju mobil, segera masuk ketika Zaweel menekan tombol on.

"Maaf, aku di sini saja ya, nggak enak dilihat orang. Apalagi ini dekat pasar, siapa tahu ada orang kenalan."

"Ya sudah, mana baiknya saja. Kita pulang apa kamu mau ke pasar beli sesuatu?"

Tepat setelah pertanyaan itu muncul dari mulut Zaweel dan Haziya hendak menjawabnya, sering ponsel bergetar. Haziya segera mengangkat, suara sang ibu di seberang terdengar memerintahkan sesuatu. 

"Ini ada Wakmu sama cucunya, biasanya di pasar ikan masih ada. Kalau nggak di Beureunuen, di Lamlo juga masih buka."

"Baik, Bu, Ziya belikan, iya masih ada uang kok. Ziya tutup ya, wassalamu'alaikum."

"Eh, kok ditutup belum juga calon mantunya mau salam kenal."

"Bang, jangan canda mulu aku sedang proses ...."

"Kenapa? Kamu takut baper, aku tanggung jawab kok," sahut Zaweel cepat disertai kekehan kecil melihat tanggapan jengah dari Haziya. 

"Iya deh, maaf ya. Kita berangkat, pasar ikan arah mana, biar aku ngga tersesat ke hatimu." Zaweel melirik di spion tengah, menahan tawanya ketika menunggu Haziya memberi arahan. 

"Kalau beli ke Lamlo takutnya nggak ada ikan lagi, tapi kalo ke pasar ikan Beureunuen harus turun ke bawah nggak bisa masuk mobil." Haziya menimbang untuk mengambil keputusan. 

"Tenang aja, nanti biar aku yang ke pasar, kamu di mobil aja," celetuk Zaweel. "Abang siap panas-panasan, desak-desakan, dan menawar seperti emak-emak," lanjutnya dengan kelakar. 

"Apalagi kalau yang jual Mbak-mbak, lihat wajah tampanku saja bakal dijadiin menantu dan digratiskan ikan semuanya." 

"Aku turun di sini saja kalau kamu masih gitu, kamu pulang saja, biar aku sendiri yang ke pasar," tutur Haziya jengkel karena Zaweel semakin cengengesan. 

"Mau nanti diculik mantan?"

Haziya terdiam, sebutan mantan yang diucapkan Zaweel melukai hatinya, apalagi setelah kejadian tadi. 

"Maaf, aku nggak maksud membuatmu tersinggung," sesal Zaweel karena perubahan raut muka Haziya.

"Baiklah, aku akan diam, kalau perlu beli mulut ini dilem aja. Kita berangkat ya?" 

Tanpa menunggu jawaban dari Haziya dia segera melajukan mobil menuju pasar Beureunuen. Lalu lalang orang begitu ramai apalagi di akhir minggu begini. Pasar Beureunuen tidak pernah sepi, apalagi di hari Sabtu yang rutin jadi Pasar Sabtu, berkumpulnya para pedagang kaki lima. Kepadatan semakin bertambah saat hari meugang, hari puasa dan lebaran serta hari maulid. 

Para pedagang di pasar Beureunuen begitu akrab dan solid, serta rutin mengadakan acara maulid Nabi setiap setahun sekali dengan menyewa penceramah terkenal dari Nusantara. Bahkan mendatangkan Da'i dari luar Aceh untuk memberi nasehat pada malam dakwah. 

***

Haziya merebahkan tubuhnya ke atas kasur, seharian bepergian dia merasakan kelelahan. Apalagi kedatangan saudaranya dari Meureudu, Haziya turut membantu ibu menyiapkan makan malam. 

Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh, kebiasaan bergadang sejak mondok sampai sekarang dia susah untuk memejamkan mata dan tidur lebih awal. Haziya mencabut ponsel dari power bank, baterai sudah terisi penuh. Banyak notif masuk dari grup bersama Miska dan Azizah, dia hendak membuka roomchat grup mereka, tetapi jemarinya penasaran dengan notif panggilan tak terjawab yang tertera di pojok kanan atas.

Mencoba mengenali nomor baru tanpa foto profil. Haziya tidak ingin menebak-nebak, segera mengenyahkan pikiran kepada nama yang pernah singgah di hatinya. Lelaki itu sudah punya keluarga baru, dia tidak berharap mendapat telepon dari lelaki yang sudah menjadi suami milik orang lain. Hubungan mereka sudah kandas. Sejak kepulangannya diantar ke rumah ibu, jangankan menelepon, dikirimi pesan saja tidak perlu digubris. Haziya sudah tidak menaruh asa kepada Shabir, bahkan sekarang dia sudah mengikhlaskan lelaki itu dengan Lara. Janda yang diketahuinya pemilik butik dari penuturan Shabir malam perdebatan mereka, ketika Haziya tidak sengaja menemukan Direct Message di ponsel Shabir. 

Kecurigaan atas  sandi di layar ponsel milik Shabir, padahal lelaki itu dulu tidak pernah mengunci dengan pola apa pun. Beruntung, Allah telah menyelamatkannya dengan membongkar   perselingkuhan Shabir dan Lara. Haziya diam-diam mengintip ketika Shabir menggerakkan jemari untuk membuka pola kunci. 

Panggilan dari nomor tersebut kembali masuk, Haziya dibuat bingung untuk mengangkat atau tidak. 

Assalammualaikum ...

Ikan hiu makan tomat, jangan sombong amat.

Ikan hiu nggak jadi makan tomat,

teleponnya kok nggak mau diangkat.

Menulis ....

Haziya segera memblokir nomor tersebut, tidak perlu ditanya siapa pengirim pesan barusan dia sudah bisa menebak.

Siapa lagi kalau bukan Zaweel, lelaki yang memaksanya meminta nomor dengan cara berpura-pura kehilangan ponsel dan menyuruh Zahiya untuk menghubungi nomornya. 

Benar saja, setelah mengecek di log panggilan telepon, nomor Zaweel tertera di sana pada riwayat panggilan waktu sore.

Sikap Zaweel mengingatkan pada tingkah Shabir dulu ketika mereka masih pacaran, gombalan dan rayuan manis yang memakan banyak korban. Haziya tidak ingin menjadi korban perasaan untuk kedua kalinya.

"Selamat tidur, lupakan masa lalu, insya Allah aku akan menjadi masa depanmu. Mimpi indah calon ibu dari anak-anakku."

Haziya menaruh ponsel di atas nakas tanpa lupa menonaktifkan, mengabaikan pesan yang kembali masuk. Dia sampai lupa untuk chatingan dengan temannya yang sudah menunggu balasan sejak tadi. 

Haziya berusaha memejamkan mata, berharap mimpinya bisa indah dan kehidupan besok akan lebih baik dari hari ini. 

"Tenang, aku bukan penagih hutang. Aku hanya ingin menanyakan alamat rumah mertua di mana, besok mau bawa lamaran."


Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status