Share

Bab 02

Aruna terbangun lebih dulu, ternyata sudah ada Bi Asti tengah sibuk membersihkan seisi rumah, sesekali menyempatkan diri untuk menyiapkan bahan makanan. 

“Tuan muda, masih kasar ya?” bisik Bi Asti.

Aruna terpaku sejenak, tidak terkejut juga karena Bi Asti selalu melihat dirinya terlibat perseteruan dengan Arsen. Berakhir mengalah, dari pada emosi Arsen semaki meluap dan takut hal di luar akal kembali dilakukannya.

“Ya, begitulah.” Aruna membalas dengan nada lirih. “Bi, terkadang aku berharap kalau Arsen tidak kasar dan emosian lagi.”

Bi Asti tertegun mendengarnya, sengaja mengulurkan tangan untuk mengelus lembut kepala Aruna. “Berusaha, meski butuh waktu yang lama. Kalau memang Aruna lelah, tidak ada yang melarang untuk berhenti melakukannya.”

“Memang tidak, tapi akunya yang tidak bisa menentang. Malah ketakutan duluan, Bi.” Sarapan sudah jadi, Aruna kembali ke kamar untuk bersiap. Aruna memilih makan di kantin sekolah, itu sebabnya memilih berangkat duluan sebelum Arsen keluar—waktu sudah menunjukan pukul enam pagi.

Sayangnya, niat berangkat agar tidak diketahui Arsen gagal. Karena Arsen sudah menghalangi jalannya.

“Bi-bisa kau minggir? A-ak—”

Arsen berdecih, lalu melangkah pergi.

Aruna melangkah di sepanjang trotoar, sembari menunggu angkutan umum melintas. Beruntung perumahan tempat tinggal Arsen, tidak terlalu jauh dan ujung sekali. Jadi, berdekatan sekali dengan pintu keluar perumahan sekaligus jalan raya.

Angkutan umum yang ditunggu-tunggu telah datang, Aruna langsung menaikinya. Matanya melirik hampa keluar kaca, bisa dikatakan Aruna masih kepikiran bila ada orang lain yang mengetahui dirinya tinggal dengan Arsen—meskipun, sebagai pembantu. Namun, tetap saja takut yang disangka yang bukan-bukan. Hingga terbesit sebuah ide, pulang nanti minta pendapat sekaligus persetujuan Bi Asti agar menganggap dirinya anak atau keponakan yang membantu. Jadi, bila ada tamu asing datang secara tiba-tiba Aruna tidak akan ribet sendiri.

Baru ingat, Aruna tidak pernah bertemu keluarga Arsen. Lambat laun ingatan Aruna berputar saat Arsen mengatakan memiliki rasa padanya, itu hal mengejutkan bagi Aruna. Anehnya, berubah seketika kala memasuki tahun akhir sekolah. Dalam sekejap, Arsen berubah dan menjauhinya. Bila pulang sekolah saja, Arsen mendekat—itu pun dengan perintah dan membuat dirinya harus menurut. Sulit sekali membantah.

Aruna menghela napas sejenak, mulai melangkahkan kakinya ke kelas. Sedikit ada rasa lega, karena masih sepi. Langkah kakinya terhenti sejenak, saat itu juga tahu tebakannya salah. Tidak biasanya, Desty sudah datang dan sekarang menghalangi jalannya.

“Di mana pacarmu?” Desty dengan santainya bertanya soal Arsen, benar-benar tidak peduli dengan perasaan Aruna.

“Entah.” Aruna berusaha bersikap biasa, walau agak terusik.

“Aku heran, kau beneran pacarnya atau bukan sih?” Pertanyaan yang dilontarkan Desty, terkesan mencibir.

“Menurutmu saja, lalu tinggal jadikan jawaban yang pas untukmu.” Aruna heran, semenjak Arsen dekat dengan Desty. Hubungan pertemanan mereka merenggang, terkadang Aruna menduga kalau Desty memang menyukai Arsen.

Tetapi, sejak kapan?

Aruna baru menduga, di satu sisi selalu terlihat binar mencari perhatian dari matanya. Kala bersama Arsen, juga mengharapkan kalau Arsen pindah hati. 

Memiliki pacar, banyak dikagumi kaum hawa itu ada enaknya 

dan juga tidaknya. Itu menurut orang lain, kalau menurutku tidak enak sama sekali!

Aruna benar-benar tidak enak sekali, yang ada terus mengalami luka batin. Langkah kakinya sedikit dipercepat, tas sekolah langsung diletakkan. Kemudian pergi ke perpustakaan, ya Aruna sekarang ini lebih sering berada di perpustakaan setiap kali menunggu bel berbunyi.

Alasan utama, Aruna menghindari kebersamaan mereka.

****

Aruna menegakkan tubuh sesekali melakukan peregangan otot, efek menunduk dan fokus pada buku. Agak sedikit pegal, setelahnya mengumpulkan buku yang tadi diambil dan kini disimpan kembali pada tempatnya.

“Aruna.”

Merasa terpanggil, langsung menoleh tetapi masih dalam kondisi meletakkan buku pada rak. “Ya?” 

Orang yang memanggil Aruna adalah Tania, teman akrab yang berhasil didapatkan di tahun kedua kemarin. Tetapi, kali ini Aruna senang karena Tania benar-benar baik dan juga memahaminya. Lebih lagi, soal Arsen terus bersama Desty.

“Kau dari tadi di perpus?” 

“Ya begitulah.” Aruna kembali meletakkan buku yang dipinjam. “Tanpa diberitahu lagi, kau paham maksudnya ‘kan?”

Tania terdiam mendengarnya, bisa dikatakan sedih dan ikut sakit melihat Aruna tidak dianggap pacar sendiri. Karena sekarang, lebih memilih Desty. Parahnya, mantan sahabat Aruna.

“Aku tau kau pasti kuat, tapi kalau sudah lelah katakan saja. Mungkin, bisa kubantu sesuatu?” Tania benar-benar tidak suka melihat Aruna tersakiti, kadang ingin memaksa Aruna untuk tidak menjalin hubungan dengan Arsen atau cari yang lain agar bisa membuat Aruna bahagia dengan tulus.

Di satu sisi, dirinya paham tidak boleh terlalu ikut campur dengan urusan perasaan orang lain. Ya, Tania tahu Aruna benar-benar mencintai Arsen. Sayangnya, balasan yang didapat tidak sesuai sekali. Tania menganggap, perlakuan Arsen dulu sebelum menjauh dan memilih bersama Desty—kebohongan belaka.

Aruna melangkah duluan menuju kelas, Tania mulai mengekor hingga berhasil menyamakan langkah kakinya. Ada sedikit keberuntungan bagi Aruna, karena di tahun akhir Tania menjadi teman sekelas, juga tempat duduknya berdampingan dengannya.

“Kau sudah makan?” Tania paham betul, kalau Aruna suka sekali melupakan jam makan. Terlebih lagi tahu, beberapa minggu ini Aruna sibuk mencari pekerjaan. Jika bisa membantu, Tania pasti akan melakukan sesuatu. Sayangnya, tidak bisa.

Aruna baru menyadari, niatnya datang lebih pagi untuk sarapan di kantin lalu ke perpustakaan sembari menunggul bel masuk berbunyi. Sekarang, benar-benar melupakannya. 

“Lupa lagi ya?” Tania sudah menduga, kemudian menarik Aruna ke kantin. 

“Saat istirahat saja, ini udah bel!” bantah Aruna, sengaja menahan diri untuk tidak tertarik oleh Tania.

“Kau mau bekerja, tapi lupa jam makan. Apa jadinya nanti?”

Aruna paham, maksud perkataan Tania. Lagi pula, benar kok tadi berniat sarapan di kantin sekolah. Maklum, tidak memiliki daya ingat tinggi membuat Aruna sering melupakan sesuatu hal penting.

“Ya! Ya! Ya!” Aruna berbalik menarik Tania. “Saat istirahat saja.” Terus melangkah menuju kelas, meskipun sudah menghindar dengan berdiam diri di perpustakaan. Kenapa selalu saja melihat—berpapasan langsung lagi.

Aruna mempercepat langkah kakinya, bertepatan dengan guru mata pelajaran pertama datang. Selama pelajaran berlangsung, amat tidak fokus. Tetapi, bukan karena masalah tanpa alasan yang jelas dengan Arsen. Melainkan, belum makan apapun—melupakan sarapan paginya.

Bahkan, sudah tidak peduli lagi bila akan ditegur. Karena badannya agak lemas dan sedikit pusing, tanpa pikir panjang langsung menelungkupkan kepalanya.

Yang lebih sialnya, mengadakan ulangan dadakan. Satu guru yang mengajar di kelas Aruna, suka sekali mengadakan ulangan harian dadakan tanpa memberitahu sebelumnya.

Duh! Aku nggak bisa mikir!

“Kau niat belajar apa nggak?”

Aruna tersentak dan refleks menegakkan tubuhnya, mulai menoleh patah-patah. Yap, Bu Zuai yang suka sekali mengadakan ulangan dadakan kini berdiri di sebelah mejanya. Aruna lupa kalau Bu Zuai suka sekali mengitari untuk mengamati setiap anak yang mengerjakan soal. Dari situlah, Bu Zuai bisa membedakan mana saja siswa yang pintar, sedikit belum paham, benar-benar tidak paham, dan terakhir main-main dalam pelajarannya—alias—tidak mengerjakan sama sekali.

“Niat kok, Bu.” Aruna sedikit memperlihatkan sebagian soal yang telah dijawab. “Agak sedikit kurang fit, jadi lambat dan seakan malas mengerjakan.” Pada akhirnya jujur, daripada berbohong bisa menjadi masalah besar.

Bu Zuai menghela napas sejenak. “Jaga kesehatan!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status