Share

Bab 03

Tepat bel istirahat dibunyikan, Aruna niatnya terpejam sebentar malah kebablasan. Terbukti, Tania yang sedari tadi memastikan Aruna pingsan atau tidur. Nyatanya, tertidur dan sedikit pucat.

“Tuh ‘kan!”

Tania langsung pergi membeli makanan untuknya dan Aruna, memutuskan makan di kelas. Tidak mungkin, membangunkan Aruna dan mengajaknya ke kantin. Bisa-bisa pingsan dalam perjalanan.

Aruna masih terlelap begitu pulas, lambat laun terusik saat ada yang menyentuh keningnya. Namun, tidak terbangun. Hanya meracau pelan dan kembali tertidur, tetapi gagal dan terpaksa membuat Aruna bangun dan melirik ke arah si pengacau.

“Makan dulu!” Tania sedari tadi berusaha membangunkan. “Habis ini kau di UKS saja. Nanti, aku izinkan saat jam terkahir.”

“Maaf, merepotkan.” Aruna merasa bersalah, Tania kerepotan dengan kondisinya ini. Mulai memakan bubur yang dibelikan Tania. Beruntung, kantin sekolah bukan hanya menjual snack ringan, tetapi ada berbagai macam makanan yang cocok untuk sarapan pagi dan juga istirahat. Semisal, bubur, nasi goreng, dan lainnya.

Aruna benar-benar lapar, terbukti sudah tandas. Bahkan, detik berikutnya segelas teh tawar hangat tandas juga. Tania yang sedari tadi mengamati, sembari makan yang dipesan untuknya sendiri. Lega, melihat Aruna lahap makannya.

“Ke UKS yuk!” ajak Tania, setelah membuang bungkus makanan ke tong sampah.

Aruna menurut saja, pusing yang dirasakan sedikit hilang. Tetapi, lemas di tubuhnya masih terasa. Di UKS, Aruna langsung tidur lagi. Tania langsung pergi, karena jam terakhir akan dimulai dan juga, memberitahu guru kalau Aruna berada di UKS.

Tidak terasa telah di penghujung kegiatan sekolah, Aruna benar-benar terlelap hingga bel pulang dibunyikan. Tas sekolah dan juga buku pelajaran telah tersimpan rapi, ya Tania yang mengantarnya ke UKS dan menulis di secarik kertas karena tidak bisa mengantar Aruna pulang.

Aruna akhirnya terbangun, benar-benar sudah enakkan. “Tania jadi kerepotan.” Setelah melihat secarik kertas, tertulis ‘pulang duluan’ sedikit ada tulisan lain yang menyuruhnya untuk tidak melupakan jam makan—sarapan pagi, terakhir tidur yang baik—sesuai jam biasa.

Lalu melirik ada sebotol air mineral, yakin Tania yang membelikannya. Aruna langsung membuka tutupnya dan meminum hingga tersisa setengah, lalu memakai tasnya dan pulang. Sebelum benar-benar beranjak dari brankar, Aruna terkejut dan baru sadar ada orang lain di UKS.

Aruna baru ingat, Arsen suka bolos dan memilih tidur di UKS. Namun, yang dilakukannya hanya melirik sejenak. Selebihnya, pergi duluan. Karena tidak mungkin, Arsen memahami keadaannya. Lagi juga, selalu bersama Desty.

“Siapa yang menyuruhmu pergi, hah!” 

Aruna terpaku di tempat, sedikit pun tidak berjalan lagi. Karena tidak ingin, menjadi pelampiasan emosi Arsen.

Arsen mendelik datar, sembari beranjak mendekati Aruna. Bahkan, langsung mencengkeram kasar pergelangan tangannya, kala melihat gelagat Aruna ingin melarikan diri. Benar-benar tidak peduli dengan ringisan, atau sadar kelakuannya membuat Aruna terluka lagi.

Aruna berusaha melepas, yang ada semakin sakit karena Arsen sengaja memperkuat cengkeramannya.

“Diam dan jangan melawan!” sentak Arsen, langsung melepas cengkeramannya dengan kasar. Namun, sorot matanya yang begitu membius tetapi bagi Aruna sungguh mengerikan. “Bawa dan pulang!”

Aruna mengusap kasar wajahnya, bulir air mata mulai membasahi pipinya. Beruntung, setelah Arsen pergi duluan. Kalau tidak, nanti malah dianggap yang tidak-tidak oleh Arsen. Semakin menjadi pelampiasan emosi.

Aruna langsung mengejar dan berusaha menyamakan langkah kakinya. Tetapi diurungkan, memilih berjalan di belakang. Aruna menatap hampa punggung tegap Arsen. Refleks berhenti melangkah kala Arsen berbalik, sembari menyodorkan tangan.

Aruna paham, langsung mengambil kunci mobil dari tas dan memberikan dengan cepat pada Arsen. Karena tidak mungkin, Arsen berniat memperlakukan lembut. Walau sekadar, mengelus kepalanya atau menggandeng dengan penuh perhatian. Aruna tidak pernah mengharapkan secara langsung, semenjak Arsen berubah sikap.

Sebelum disuruh Aruna lebih dulu masuk, tidak mau didorong kasar lagi.

. “Apa aku berbuat salah?”

Arsen tidak menoleh ataupun menjawab, manik hitamnya amat fokus ke depan.

Keheningan semakin menyelimuti mereka, satu dari mereka kembali terpejam—tepatnya Aruna. Karena memang, masih kurang fit meskipun sudah istirahat di UKS. Lain halnya dengan Arsen, melirik sekilas dan kebetulan telah sampai rumah.

Decakan kekesalan mulai terdengar, dengan sengaja memukul keras kemudi mobil. Berhasil membuat Aruna terbangun dengan terkejut. Detik itu juga, keluar duluan dan berlari ke kamar sendiri—menyempatkan diri ke kamar Arsen untuk menaruh tas sekolahnya. Kemudian, benar-benar mengurung diri.

Lega, karena berhasil melarikan diri dari kemarahan Arsen.

“Dia benar-benar berubah!”

Aruna memeluk kedua kakinya, itu dalam kondisi terduduk di lantai. Bulir air mata, kembali membasahi pipi. Sejak tadi menahan, agar tidak terlihat oleh Arsen.

Seketika tersentak, kala pintu kamar dibuka begitu kasar. Arsen masuk dan menyamakan tingginya dengan Aruna, tetapi respon Aruna semakin memeluk tubuh dan beringsut mundur. Aruna benar-benar mengalami ketakutan cukup besar terhadap Arsen.

“Pilih menurut atau tidak?”

“Aku lebih memilih pulang dan cari pekerjaan yang lain!” pinta Aruna dengan nada amat lirih. “Kau pikir aku tidak lelah, terus kau jadikan pelampiasan emosi! Aku bahkan bingung, masalah apa yang kuperbuat hingga membuatmu jadi kasar dan tidak menganggapku!” Pada akhirnya, Aruna berkata jujur.

Arsen melirik datar.

“Tolong, izinkan aku pulang.”

Responnya benar-benar tidak sesuai dengan yang Aruna harapkan, Arsen melempar sebuah gelas kaca di lantai tepat di hadapan Aruna. Aruna dilanda keterkejutan teramat besar, semakin ketakutan dengan Arsen.

“Kau tetap di sini!” bantah Arsen, kembali mncengkeram kasar wajah Aruna. “Kau tidak boleh pergi, paham!” Kembali mendorong Aruna.

Aruna menahan sakit, karena sikunya terpentok kayu meja. Kemudian menggeleng cepat. “Aku mau pulang!”

Arsen mengemertakan gigi, bangkit dan meninju keras cermin di kamar yang ditempati oleh Aruna. Hingga pecahannya berserakan di lantai. “Kau tidak tuli ‘kan!” Tangannya sudah menggenggam satu pecahan kaca, mengarahkannya pada Aruna.

Aruna panik, bahkan gemetar dan dengan terpaksa menurut. “Y-ya a-aku tetap di sini, to-tolong tenang!” Amat takut, bila Arsen benar-benar ingin menikamnya dengan pecahan kaca. “Aku tidak akan pergi.” 

Perlahan Aruna menggenggam tangan Arsen dan mengambil pecahan kacanya, setelah itu menjauhkannya dari Arsen. 

“Kau tidak boleh pergi!” 

Aruna mengangguk cepat. “Y-ya aku tidak akan pergi.” Tanpa pikir panjang, langsung memeluk Arsen. Aruna tidak peduli, bila perlakuannya ini ditolak yang penting bisa membuat Arsen tenang dan tidak menghancurkan seisi kamar dan melukainya.

Anehnya, Arsen tidak menolak. Aruna memanfaatkannya, semakin mempererat pelukannya pada Arsen. Agak tersentak, saat Arsen membalas tetapi mulai meracau ‘tidak boleh pergi’ terus seperti itu.

Berhasil membuat Aruna kebingungan, untuk pertama kalinya melihat Arsen meracau dan mau kembali membalas dekapannya. “Ya, aku tidak pergi.” 

Sebenarnya apa alasannya?

“Makanannya sudah kubuatkan.” Kemudian memilih kembali ke kamar, Aruna ingin mengobati siku kanannya tadi terpentok akibat didorong Arsen.

Namun, sebelum benar-benar melangkah. Arsen lebih dulu keluar dan menghalangi jalan, sorot matanya masih sama datar dan mengerikan. “Bawa.” Setelahnya, masuk kembali ke kamar dan kali ini pintu kamarnya dibiarkan terbuka.

Aruna terpaksa turun, kini sudah kembali dan melangkah masuk ke dalam kamar Arsen. Tetapi, Arsen hanya melirik sekilas dan asik berbaring telungkup di ranjang. Aruna meletakkan makanan di atas nakas.

“Diam!”

Aruna langsung terpaku di tempat, tersentak dan berhasil menangkap buku tulis yang dilempar Arsen. Tahu, kalau disuruh mengerjakan tugasnya. Aruna tidak satu kelas dengan Arsen, terpaksa mengerjakan meskipun enggan.

Arsen mulai memakan habis, makanan yang dibawa Aruna. Aruna sendiri, mulai sibuk mengisi jawaban dengan teliti hingga selesai. “A-aku pergi ya?”

Arsen berdecih. 

“Sudah tidak ada lagi ‘kan?” Aruna kembali bingung dengan gelagat Arsen, terkadang kasar dan ada masanya sulit ditebak.

Sayangnya tidak dijawab, Aruna kembali terpaku di tempat. “Sudah habis ‘kan? Aku ke dap—”

“Diam!” Arsen menendang kursi dari meja belajar hingga menghantam dinding kamar.

Aruna menghela napas pasrah, lalu tersentak saat Arsen mengikis jarak. Secara tiba-tiba mendorongnya hingga berbaring di ranjang. “A-arsen!”

“Kubilang diam ya diam!” desis Arsen, mulai membenamkan wajahnya di ceruk leher Aruna.

Aruna mematung sejenak, lambat laun membiarkan. Sesekali melirik Arsen, kini sudah terlelap. Terkadang, Aruna lebih memilih bersama Arsen yang sedang terlelap dibandingkan Arsen terbangun. Kalau tidur, Arsen akan memperlihatkan raut wajah biasa dan tenang. 

Aruna akhirnya pasrah, jam makannya telat lagi. Karena Arsen menahan, bahkan dekapannya erat sekali. Keheningan kembali melanda, lambat laun terdengar dengkuran halus dari Arsen—terlelap begitu pulas.

Lalu memberanikan diri untuk membalas, dan mengulurkan satu tangannya untuk mengelus lembut—sesekali menyisir surainya, lambat laun menjalar untuk menyentuh setiap lekuk wajah Arsen.

Kau kenapa berubah?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status