Share

Bab 04

Aruna beranjak pelan, mengambil piring dan gelas kotor. Berlari ke dapur, tidak lupa menutup pintu dengan amat pelan. Tidak ingin, membuat Arsen terbangun. Rasa lapar melanda, tanpa peduli sudah tengah malam. Aruna benar-benar makan.

“Sulit bagiku mengatur jam makan, kalau Arsen sulit dibantah.” Pergerakan Aruna selalu tersendat, karena Arsen terus memerintah.

Kini sibuk mencuci semua piring dan gelas kotor, lalu kembali ke kamarnya sendiri. Aruna memilih melanjutkan tidurnya, beruntung tidak ada tugas. Jadi, sedikit bisa merasakan kebebasan dan memanfaatkan waktu luang untuk mengistirahatkan tubuh.

Jarum jam, terus berputar hingga kini menunjukan pukul empat pagi. Biasanya, Aruna akan terbangun pukul lima. Kini sedikit lebih awal, bukan karena lapar lagi. Melainkan ada yang mendekap erat dari belakang. Aruna perlahan berbalik, ternyata Arsen.

Baru sadar, lupa mengunci pintu kamar. Tetapi, seingatnya sudah. Atau mungkin saja, Arsen bisa masuk melalui kunci cadangan. Arsen sedikit terusik, tetapi kembali terlelap dan membenamkan wajahnya di ceruk leher Aruna.

Aruna kembali pasrah, juga membingungkan. Bahkan, kembali terulur untuk mengelus lembut wajah Arsen.

“Terkadang kau sulit dimengerti.”

Aruna masih menatap lekat Arsen begitu pulas tidurnya, lalu teralihkan pada jam dinding tidak terasa sudah menunjukan pukul lima. Dengan perlahan, melepaskan diri dari pelukan Arsen. Untung saja berhasil, tetapi ada sesuatu yang membuat Aruna kikuk.

Mengingat selalu membangunkan Arsen setiap pagi, Aruna yakin Bi Asti kebingungan karena keberadaan Arsen lenyap. Nyatanya, pindah.

“Se-Sejak kapan?” Bi Asti menyipitkan matanya. “Kalian tidak melakukan sesuatu ‘kan!” Walau mereka selalu berseteru—lebih lagi Arsen suka sekali berlaku kasar. Nyatanya, memang menjalin hubungan—alias—pacaran, bukan berarti bisa seenaknya tidur bersama. 

Aruna menggeleng cepat. “Aku tidak tau, kapan dia menyelinap masuk. Intinya, saat bangun sudah tidur di sampingku.” Baru Bi Asti saja, sudah menganggap yang tidak-tidak. Apa lagi kalau ada tamu asing dadakan, bisa-bisa semakin kacau. “Bi, mau anggap Aruna sebagai anak atau keponakan gitu? Tau ‘kan? Arsen memaksaku bekerja seperti yang Bi Asti lakukan, ehm ....” Mendadak sulit melanjutkan maksud dari ucapannya.

Bi Asti menghela napas sejenak. “Bibi paham kok.” Mulai memperlihatkan senyuman tulus. “Tanpa diminta, Aruna juga sudah dianggap sebagai anak loh.”

Aruna lega mendengarnya

Arsen baru terbangun dan hendak keluar dari kamarnya—sementara waktu. Aruna pikir, Arsen langsung bangun dan pindah. Nyatanya, tidak. Aruna bergeser, mengambil cepat seragam sekolah dan masuk ke toilet.

Namun, terpaksa diurungkan saat tangannya dicekal kuat. “A-Apa?” Aruna bingung, karena Arsen menahannya.

“Jangan coba-coba pergi duluan!” Setelahnya, kembali ke kamar sendiri.

Aruna senang mendengarnya, kala maksud Arsen mengajak berangkat bersama. Di satu sisi, kembali tidak berharap lebih. Karena tidak mungkin seorang Arsen selalu kasar padanya, mau mengajak berangkat bersama ke sekolah dengan tulus.

Terbukti, selama perjalanan menuju sekolah. Keheningan lah yang menguasai, dugaan lain berhasil ditebak dengan benar. Kala Arsen menurunkannya di halte yang berdekatan dengan sekolah.

Aruna terus melangkah hingga sudah memasuki area sekolah, ketika ingin pergi ke kelas. Langsung teralihkan sejenak, kala menangkap siluet siswa asing.

“Kau siswa baru?” 

Siswa asing yang mengusik Aruna pun menoleh, mulai menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Ya, meski terkesan dadakan. Ehm, bisa bantu mencari ruangan kepsek?”

Aruna tertawa sejenak. “Ayo.” Entah apa alasannya. Tetapi, melihat perangainya berhasil membuat Aruna melupakan sejenak masalah—lebih lagi dengan Arsen. Dalam sekejap, Aruna seperti mendapatkan obat penenang secara gratis. 

“Maaf merepotkan,” sahutnya lagi.

Aruna menoleh sembari tersneyum simpul. “Nggak kok, kau kenapa mendadak pindah? Bukannya tanggung ya?” Rasa penasaran mulai menguasai Aruna. “Oh iya, aku Aruna.”

“Brian. Sebenarnya, aku juga berpikir tanggung. Tapi, orang tua dimutasi dadakan mau tidak mau ya ikut pindah.” Terlahir dengan orang tua sibuk kerja, dan selalu dimutasi terus membuat Brian ikut pindah—entah sudah terhitung berapa kali. Beruntung, orang tuanya selalu bisa meluangkan waktu di sela-sela kesibukannya. Jadi, Brian tidak kesepian—lebih lagi korban broken home.

“Hee gitu.” Aruna berhenti melangkah, karena sudah sampai di ruang kepala sekolah. “Aku ke kelas ya.” Tanpa menunggu balasan dari Brian, Aruna langsung melangkah cepat menuju kelas. Baru sadar, semua siswa sudah berdatangan dan sudah mendekati waktunya bel masuk dibunyikan. 

“Tumben baru nongol?” Tania melirik heran, ditambah lagi tidak menemukan Aruna di perpustakaan. Biasanya, selalu ke sana sebelum ke kelas. Namun sekarang, tidak. “Kesiangan kah?”

Aruna menggeleng. “Tadi mengantar siswa baru dulu.”

Tania mengerutkan kening. “Siswa baru? Di tahun akhir? Dadakan sekali.”

“Iya, aku sempat berbincang kecil. Dia pindah dadakan, karena orang tuanya juga dimutasi dadakan.”

Tania mengangguk saja, langsung duduk kala melihat guru datang.

“Mau temani keliling, sekalian ke kantin?” Brian belum mengenal akrab siswa lain, karena ini hari pertamanya pindah.

Aruna sebenarnya malas, bisa dikatakan efek keseringan di perpustakaan. Demi menghindari Arsen terus saja bertingkah layaknya kekasih pada Desty. Kalau dipikirkan kembali, tidak buruk juga menemani Brian.

Lagi pula, kedatangan Brian menjadi siswa pindahan. Berhasil membuat Aruna yakin, mendapatkan teman baru selain Tania. “Oke.”

Aruna kini berjalan bersama dengan Brian, sesekali menjelaskan—memberitahu sesuatu pada Brian. Lambat laun pembicaraan mereka keluar jalur, niatnya memberitahu soal sekolah dalam sekejap menjadi obrolan seru sebagai teman.

“Kenapa?” Brian merasa, gelagat Aruna mendadak berubah. Padahal tadi, saat menemaninya berkeliling bersikap biasa tanpa ada masalah apapun. Namun sekarang, raut wajahnya seperti memperlihatkan ekspresi ketakutan.

Takut apa?

Aruna menggeleng cepat. “Ayo di sana saja!” ajaknya, sembari mendorong pelan Brian agar cepat sampai di meja paling ujung. Kebetulan di sana satu-satunya meja kosong, beruntung jauh sekali dari tempat Arsen berada—tentunya bersama Desty

Hal yang membuat Aruna terpaku sejenak, tanpa sadar memperlihatkan reaksi ketakutan. Saat memasuki area kantin, tanpa sengaja Aruna melakukan kontak mata langsung dengan Arsen.

“Arsen stop!” Aruna panik melihat Arsen tidak mempedulikan peringatan guru BK yang sudah berhasil menahan Arsen. Bukannya menurut perintah guru BK, Arsen langsung pergi dan Aruna bisa melihat jelas raut wajah Arsen amat emosi.

Aruna langsung mengekor, dan memaksa Arsen untuk menemui guru BK dan menyelesaikan masalahnnya. “Kenapa kau menyerangnya!” Mencoba menghentikan Arsen yang melangkah begitu cepat, dengan mencekal.

Sayangnya, tangannya langsung ditepis kasar sekali oleh Arsen. Namun, tidak mengurungkan niat Aruna. “Arsen!”

“Diam!” bentak Arsen. “Nggak usah ikut campur sialan!” Mendorong kasar Aruna agar menjauh, tidak peduli tatapan siswa lain yang secara langsung melihat perlakuan kasarnya pada Aruna.

Aruna meringis kala bahunya sedikit menghantam dinding, anehnya kembali mengejar Arsen. “Kau harus selesaikan masalahnya!” 

Arsen menulikan diri, terus melangkah cepat. Sepertinya semakin emosi, dan berbalik langsung menepis kasar tangan Aruna lagi. “Kau dengar tidak? Nggak usah ikut campur masalahku!”

“Ta—”

Arsen kembali mendorong kasar Aruna hingga tersudut pada dinding. “Kubilang diam ya diam!” Arsen meninju keras dinding.

Namun, yang Aruna rasakan kalau Arsen memang berniat meninjunya. Selalu saja, berakhir dindin lain tepat di sebelah kepalanya. Takut? Tentu saja, apa lagi Arsen kembali menjadikan pelampiasan emosinya saat di sekolah.

Aruna benar-benar berhasil melupakan masalah yang tiba-tiba melanda. Sepertinya, tidak berlangsung lama. Kala ponselnya bergetar, Aruna terpaku sejenak setelah melihat pesan singkat.

Lalu menoleh kikuk pada Brian. “Aku ke kelas ya?”

Lagi-lagi tanpa menunggu jawaban Brian, Aruna sudah lebih dulu pergi. Nyatanya bukan ke kelas, melainkan halaman belakang sekolah. Aruna mendapatkan pesan singkat dari Tania yang sibuk dengan Devan—sang kekasih. Mendadak melihat Arsen terlibat perseteruan dengan siswa kelas lain.

Alasannya benar-benar tidak masuk akal. Tania mengatakan, ada siswa yang tidak sengaja menabrak. Ya menabrak, tetapi reaksi Arsen emosi sekali. Benar saja, saat sampai siswa yang tidak memiliki kesalahan apapun babak belur.

“Salahkah? Aku hanya mau mengingatkanmu untuk menyelesaikan masalah! Lagi juga, dia tidak sengaja menabrakmu malah dihajar hingga babak belur!”

Arsen mencengkeram kuat wajah Aruna. “Kau tidak tuli ‘kan?” Tanpa mempedulikan ringisan Aruna. “Sekali kubilang jangan ikut campur, kau harus mendengarnya!” Kembali mendorong kasar Aruna dan pergi begitu saja.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status