"Saya mau dilayani dia," Seorang pria berwajah tampan dengan mata ditutup dengan kaca mata hitam sedang berbicara dengan seorang pelayan restoran. Dagunya dimajukan menunjuk satu arah.
Pria itu masih duduk di tempatnya, tangan dilipat di dada sambil matanya tak lepas dari memandang seorang pelayan yang sedang mengambil order di meja ujung."Sebentar ya pak.""Hmmmm." Hanya itu yang keluar dari mulutnya. Delia melangkah menyusul Dinar yang juga baru selesai mengambil order dari pelanggan di meja 15.Delia menghampiri Dinar yang baru saja meninggalkan meja paling ujung. Mereka berjalan menuju ke meja catering dan meletakkan kertas orderan dari meja para pelanggan itu disebuah papan kecil dan ditancapkan dengan paku yang sudah di khususkan untuk kertas orderan.
"Di, meja nomor 3 minta kamu yang ambil orderan." Delia berbisik pada Dinar.
"Tadi kan kamu sudah di meja itu, Del.""Tapi dia nggak mau order dulu, nunggu kamu katanya."Kening Dinar berkerut, heran dengan permintaan pelanggan itu, tidak biasanya seperti itu."Udah pergi sana, ingat pembeli itu raja."
"Heran aja sih, nggak biasanya ada pelanggan memilih.""Naksir kamu mungkin.""Lagi lah nggak mungkin. Aku ke sana dulu."Delia mengangguk membiarkan Dinar pergi menuju meja nomor 3.Kaki diatur menuju ke meja nomor 3, dadanya agak berdebar melihat sosok pria muda memakai kaca mata hitam sedang duduk tegak fokus pada HP di tangan.
"Selamat siang pak, sudah buat pesanan? silahkan bapak bisa melihat daftar menu di sini."Dinar menyodorkan buku menu kepada pria itu dengan sopan.Dirham yang dari tadi mencuri pandang pada Dinar lewat kacamata hitamnya tersenyum sinis. Ini rupanya dia.Sudah tersusun banyak rencana di kepalanya saat pertama kali melihat sosok gadis yang selama ini dicari dan diselidiki.
Hatinya ingin marah ketika mengingat kejadian 6 bulan yang lalu, tidak bisa dibiarkan. Semua harus terbalaskan."Pak, silahkan." tersentak dengan suara gadis didepannya membuat tangan kanan Dirham menyenggol gelas kaca berisi air putih di depannya. Gelas itu jatuh ke lantai.
PRANG!!!!
Dinar tersentak.
Dia gugup dan gemetar.
"Maaf pak, saya nggak sengaja mengagetkan bapak, biar saya bersihkan."
Dirham hanya kaku menatap kepergian Dinar, tangannya mengambil beberapa lembar tisu di atas meja, dia menunduk sedikit membersihkan percikan air yang mengenai kain celana bagian bawahnya. Dinar sudah berdiri di sebelah pecahan kaca di lantai sambil membawa sapu dan serokan sampah. Dirham hanya diam memperhatikan tangan gadis itu cekatan mengambil semua pecahan kaca di lantai satu persatu.
"Auch," Jari tangan Dinar berdarah terkena pecahan kaca yang mau di ambil.
"Are you okay?"Dirham bersuara melihat Dinar meringis kesakitan."Iya pak saya_ saya nggak apa-apa."Reflek tangan Pria itu meraih selembar tisu dan dia duduk jongkok di samping Dinar, tangan gadis itu dipegang lalu jari yang berdarah diusap pakai tisu."Hati-hati.""Sudah pak, biar saya buat sendiri, terima kasih."Dinar gugup menerima perlakuan dari pelanggan baru tempatnya bekerja itu.Dia segera berdiri, tidak mau menarik perhatian pelanggan lainnya.Dinar membawa sapu dan serokan berisi pecahan kaca itu kebelakang. Beberapa menit kemudian dia kembali di meja Dirham berada.
"Saya pesan salmon scrambled dua porsi ya, minumnya ice lemon tea dua dan machiato 1.""Baik pak dalam 5-10 menit siap."
"Oke."Delapan menit berlalu, Dinar datang membawa nampan berisi pesanan Dirham.
"Duduk dan temani saya makan." Dinar kaget, pasti dia salah dengar."Silahkan menikmati pak.""Kan saya bilang duduk temani saya makan."Eh! siapa dia, seenaknya saja suruh-suruh orang."Maaf pak ini jam istirahat saya."
"Ini jam makan siang mu kan?""Saya masih banyak kerja di belakang."Dirham memanggil Edo yang kebetulan lewat di sebelahnya. Edo berhenti di samping Dinar, sorot matanya seolah bertanya, 'ada masalah apa?'. Dinar sudah berdebar dari tadi ini di tambah lagi Edo yang datang. Aduuuh masalah bener."Maaf, bisa saya ketemu dengan supervisor di sini?""Saya sendiri pak, ada masalah apa ya?""Wah, kebetulan. Jam makan siang staf anda ini jam berapa?"Edo mengerutkan dahi, aneh dengan pertanyaan dari pria berkarisma di depannya."Ini memang jam Dinar break pak.""Tuh kan? berarti tidak masalah kan kalau dia saya traktir lunch sekarang. Dia teman saya.""Itu bisa bapak bicarakan dengan orangnya, Dinar Azalea, kamu bisa break sekarang, permisi pak."Dinar mengangguk dan Edo pamit pada Dirham dia menuju ke dapur tempat para staf melakukan kesibukan masing-masing.Teman?
Sejak kapan?
Dinar masih diam, matanya meliar mencari alasan yang bisa dipakai untuk menghindar. Kenal juga tidak kenapa pria ini bersungguh-sungguh mengajaknya makan bareng. Perasaannya jadi tidak enak.
"Jangan banyak berfikir dong, aku cuma mau menebus rasa bersalah ku tadi, gara-gara aku jarimu terluka."
"Tapi pak kita tidak saling kenal," Dinar masih berdiri memeluk nampan di dadanya."Jadi, mari kita kenalan. Aku Dirham."Dirham mengulurkan tangannya untuk dijabat oleh gadis di depannya. Dinar enggan menyambut uluran tangan itu. Tapi dia melihat beberapa mata sudah memperhatikan mereka berdua.Dengan berat hati Dinar menjabat tangan Dirham dengan gemetar, meski mata pria itu di tutup dengan kaca mata hitam tapi dia bisa merasakan mata itu tajam menatapnya."Saya Dinar, Dinar Azalea."Tangan di tarik segera setelah memperkenalkan diri. Dirham tersenyum manis.
"Duduklah, aku traktir kamu lunch. Kita berteman sekarang."Dinar hanya diam tidak menggeleng ataupun mengangguk tapi dia duduk juga akhirnya."Tangannya masih sakit?"
"Sudah tidak lagi, pak.""Aku kelihatan tua ya?""Emmmmm, tidak pak.""Jangan panggil saya bapak please, saya jadi kek ngobrol dengan anak sendiri." Senyum terbit di bibir Dirham, terasa lucu dengan kalimatnya sendiri."Mari makan"Dirham meletakkan satu piring salmon scrambled dan gelas berisi air minum di depan Dinar. Dalam hati Dinar membaca bismillah sebelum memulai makan."Sudah lama kerja disini?"
"Lumayan, sudah mau setahun.""Asli dari mana, atau orang Jakarta sini?""Aku dari Jogja.""Orang Jogja rupanya.""Iya, kamu?"Dinar memberanikan diri. Dirham tersenyum kecil, dalam hatinya bersorak riang.Yes! umpan mengena.
Dasar perempuan murahan."Aku asli sini, tapi ayah ada campuran darah Arab, dan ibu campuran darah Itali."
Pantesan saja seperti bukan asli orang sini.
Selesai makan, Dinar membersihkan meja dan hanya disisakan cawann machiato saja.
Dia mengucapkan terima kasih kepada Dirham.Pria itu tersenyum penuh misteri.Dinar berkerja lagi seperti biasa. Pertemuan dengan Dirham tadi memang sempat mengganggu pikirannya, tapi dia segera buang jauh semua pikiran tentang pria itu.
Sementara Dirham melangkah dengan penuh kemenangan keluar dari restoran itu .
"Ya, dan tetap awasi pria itu."
HP dimatikan setelah memberi perintah kepada lawan bicara di talian.
Pintu mobil dibuka.
Dia duduk di tempatnya.
Stereng diputar.
Senyum sarkastik mengembang di bibir.
"Sebentar aja lagi." Gumamnya pelan sambil melihat cermin pandang belakang.
Seminggu berlalu setelah perkenalan antara Dinar Azalea dan Dirham Assegaff, Dinar yang mulai bekerja dari jam 8 pagi sampai jam 4 sore itu heran karena seminggu ini juga dia sering melihat Dirham makan siang di sana. Dinar hanya akan memberi senyuman manis dan menganggukkan kepala ketika mata mereka bertemu. Mungkin dia kerja di dekat sini. Itu yang dipikir Dinar. Setalah jam kerja habis Dinar berniat untuk pulang, dia berjalan hendak menunggu driver ojol, jam segini biasanya banyak ojol menawarkan jasa tanpa pakai aplikasi. Jam pulang kantor memang jalanan penuh dengan orang-orang pulang kerja. Pin pin Dinar masih berjalan tidak menghiraukan suara klakson mobil yang dibunyikan beberapa kali. Dia menoleh kesamping setelah mobil itu meluncur perlahan menyalip langkahnya. Sebuah mobil berhenti tepat di depannya. kaca mobil dibuka dan tampaklah wajah cowok yang beberapa hari ini sering muncul di tempatnya bekerja, cowok yang mengajaknya makan siang semi
Kedekatannya dengan Dirham dua Minggu ini membuat hari-hari Dinar semakin bersemangat, dari awal bangun pagi, beres-beres sampai pergi ke tempat kerja, senyum tak pernah lekang dari bibir, Delia sebagai teman dekatnya di tempat kerja tentu saja bisa melihat perubahan itu. Hari ini Dinar bertemu dengan Zaky Azhar anak dari pemilik restoran tempat dia bekerja. Zaky yang baru pulang dari kuliah segera menuju ke restoran untuk menemui Edo, tapi saat sampai di sana barang yang di pesan Edo lupa untuk dibawa. "Ky, ada bawa barang yang pak Doni bilang?" Zaky menepuk dahinya, baru dia teringat kalau barang itu belum dimasukkan ke mobil tadi. Itulah, gara-gara ke kampus untuk ketemu dosen dulu jadi lupa semuanya, padahal papanya sudah pesan dari tadi malam sebelum berangkat ke Medan. "Aduh, gue lupa." "Padahal penting banget bro, kan itu bahan untuk pesanan pelanggan hari ini, satu jam lagi chef Rizal mau menyediakan semua pesanan unt
"Hati-hati di jalan ya, Di," pesan Bu Ambar, ibu kepada Zaky, dia suka dengan pribadi Dinar yang ceria dan mandiri, suaminya sering cerita tentang staf di restorannya yang ceria masih muda dan mandiri, Dinar namanya. Bahkan Bu Ambar sudah menganggap Dinar seperti anak sendiri, karena dia tidak punya anak perempuan. "Makasih Bu, saya balik ke restoran lagi, naik grab aja." "Zaky nggak bisa antar?" "Aku ada pertemuan dengan grup diskusi Ma, penting." "Ya udah, ibu antar sampai depan." Dinar mengangguk dan mengikuti langkah Bu Ambar ke depan. Mereka menunggu ojol yang sudah dipesan barusan. Sementara di tempat lain Dirham sedang menunggu seseorang di cafe, tempat yang sudah dijanjikan untuk bertemu seseorang. Selang beberapa saat menunggu, akhirnya orang yang ditunggu muncul. Seorang pria dengan pakaian casual dan berperawakan tinggi, berkacamata hitam mendekatinya. Mereka berjabat tangan ala lelaki lalu duduk
Dinar memberi senyum manis dan mengangguk saat matanya bertemu dengan mata Dirham, dia masih dalam waktu kerja, setelah mengantar makanan Dirham ke mejanya, Dinar segera melangkah hendak meninggalkan pria itu. Tapi belum sempat melangkah, pergelangan tangannya dipegang erat. "Besok aku jemput jam 7 malam, di depan kos." Tajam mata elang itu mampu menggetarkan hatinya. "Kan belum tahu aku pulangnya jam berapa." "Aku tahu, besok kamu pulang jam 6 sore, sift kerjamu tidak sampai malam kan?" "Lepas dulu, aku banyak kerjaan." Tidak mau debar hatinya diketahui pria itu. "Oke aku lepas, ingat besok jam 7 malam." Dinar menjulingkan matanya ke atas, ada pula orang kek gini, 'sudah ngajak, maksa, dan tidak tau situasi'. Dirham melepaskan tangannya, Dinar bernafas lega, dia juga menyadari banyak orang yang menyaksikan drama sebabak barusan. 'dasar cowok aneh'. **** "Aku ada didepan."
“Ingat baik-baik, aku tidak akan melapaskanmu, sampai aku puas membalas sakit hatiku, sampai aku puas bermain denganmu.” Plakk Dinar menampar pipi Dirham, berani sekali dia berbicara seenaknya, tangan Dinar gemetar, sekuat tenaga dia mempertahankan kewarasan dirinya, dia berusaha melawan hasrat yang semakin menggila kini munguasainya. Entah obat apa yang dimasukkan dalam minumannya tadi.“Oh, mau main kasar? Aku suka, aku lebih suka kalau kamu mau main kasar.”Rahang Dinar kembali dicengkram dengan kasar. Gadis itu dipaksa mendongak untuk menatap wajah Dirham.Airmata jatuh di pipi, semakin deras,“Apa maumu Dirham, tolong jangan lakukan ini padaku, apa maumu sebenarnya?”“Kamu, itu yang aku mau”“Bukan begini caranya, aku tidak bersalah. Bahkan aku tidak mengerti apa maksudmu." Dinar menaikkan nada bicaranya, muak karena dituduh melulu. “Aku membantu seseorang menuntut balas, atas kematiannya!” Dinar kaget mendengar ucapan pria itu.
Dinar menggeliat, badannya seperti habis dihantam dengan satu tronton beton, sakit semua, terutama di bagian bawah tubuhnya. Kepalanya terasa sakit berdenyut, matanya menatap langit-langit kamar, otaknya diputar mengingat kejadian sebelumnya. Dia meraba sebelahnya, kosong. Berarti dia sudah pergi, Dinar menyingkap selimut yang menutupi tubuhnya. Serta merta air matanya tumpah melihat banyak sekali love bite di sekujur tubuhnya. Dia bangun meski badannya terasa sakit bagaikan remuk, Dinar meraung mengingat semua kejadian yang dialaminya. Tiada apapun dalam dirinya kini, mahkota yang selama ini dijaga hanya untuk suaminya nanti telah direnggut dengan paksa. Dinar duduk memeluk lututnya dengan Isak tangis lirih. ‘Kenapa kamu tega Dirham, padahal aku sudah mulai percaya kalau niatmu mendekatiku itu tulus, lelaki brengsek! maafkan Dinar Bu, Dinar tidak bisa jaga diri sendiri, maafkan Dinar’ gadis itu terus menangis dan berbicara sendiri. Hampir setengah jam Di
Ponsel Dirham tiba-tiba berbunyi, dengan malas dia mengambil benda bermerk buah bekas kena gigit itu lalu didekatkan di telinganya dengan tangan kiri, sementara tangan kanan memegang pensil di atas kertas.“Waalaikumussalam ma, sepertinya malam ini tidak bisa.”(Kenapa? Tadi papa bilang kamu tidak enak badan, pulang ke sini saja, biar mama panggil dokter Rayyan) suara mamanya penuh rasa khawatir. Dirham mengeluh kecil. Pasti PA papanya yang sudah memberi tahu mamanya.“Am ada acara dengan teman-teman yang lain ma, besok kalau Am masih sakit baru pulang ke sana.”(Oke, mama tunggu dan bilang saja mau makan apa biar mama masakkan)“Bukannya mama sibuk di butik?”(Butik gampang diurus, banyak staff bisa gantikan kerja mama disini)“Iyes nyonya Nora yang cantik jelita, besok Am usahakan.”(Am nggak kasihan sama mama)“Bukan kasihan lagi ma, tapi banyak sayangnya, kan lebih enak tu, hehe.”(Paling pinter kembangkan hati mama, ya udah. Tak
Konten 21+, yang masih dibawah umur skip dulu. “Kamu mau apa Dirham? lepaskan aku, kau salah orang, aku tidak pernah menyakiti Fathia.” Dinar berkata lirih, lemah tanpa tenaga. Lelah dengan perlawanan yang seolah sia-sia. Sementara pemuda itu seolah tidak mendengar rayuan dan penjelasannya. Dinar meronta berusaha melepaskan diri dari tindihan tubuh Dirham. Tapi pria muda itu tidak bergeming sama sekali. Tangan Dinar memukuli tubuh pria diatasnya, memukul apa saja bagian tubuh Dirham, Pria itu memegang tangan Dinar dan menaruhnya di atas kepala gadis itu.“Kamu pikir aku percaya dengan pembelaanmu? no way!”“Apa maumu setan! sialan kau!” kalimat halus tidak didengar, Gadis itu hilang sabar. Amarahnya kembali seperti singa betina yang sedang lapar. Matanya merah menatap pria diatasnya.“Wow! Ternyata mulut ini minta diajar ya? Puaskan aku, pelac*r!” bisikan sinis tepat di telinga Dinar.“Nggak! Aku tidak mau. Cuih!” Dinar menjauhkan waj