"Hati-hati di jalan ya, Di," pesan Bu Ambar, ibu kepada Zaky, dia suka dengan pribadi Dinar yang ceria dan mandiri, suaminya sering cerita tentang staf di restorannya yang ceria masih muda dan mandiri, Dinar namanya. Bahkan Bu Ambar sudah menganggap Dinar seperti anak sendiri, karena dia tidak punya anak perempuan.
"Makasih Bu, saya balik ke restoran lagi, naik grab aja."
"Zaky nggak bisa antar?"
"Aku ada pertemuan dengan grup diskusi Ma, penting."
"Ya udah, ibu antar sampai depan."
Dinar mengangguk dan mengikuti langkah Bu Ambar ke depan. Mereka menunggu ojol yang sudah dipesan barusan.
Sementara di tempat lain Dirham sedang menunggu seseorang di cafe, tempat yang sudah dijanjikan untuk bertemu seseorang.
Selang beberapa saat menunggu, akhirnya orang yang ditunggu muncul. Seorang pria dengan pakaian casual dan berperawakan tinggi, berkacamata hitam mendekatinya.
Mereka berjabat tangan ala lelaki lalu duduk berhadapan.
"Ada kabar apa?"
Tanpa basa basi Dirham bertanya pada PI nya (personal intelijen) yang di bayarnya.
"Santai bro." Jehan yang duduk di depan teman merangkap kliennya itu tersenyum, hafal dengan sifat Dirham yang tidak sabaran.
"Gue bayar elo bukan untuk bersantai."
Mood tidak baik.
"Ini, dia pergi ke rumah lelaki itu, hari ini. Tapi pulang sendiri naik grab, kelihatan sudah dekat dengan nyonya rumah."
Dirham mengepal tangannya, marah.
"Staf selalu dibawa pulang kerumahnya tidak?"
"Sebulan ini tidak ada, hanya gadis ini saja yang sering diajak kerumahnya. Sepertinya mereka dekat."
"Ada apa lagi?"
"Dia sebentar lagi lulus kuliah, jadi sibuk di kampus."
"Terus awasi dia, sampai aku bilang stop baru lepaskan dia."
"Oke, ada kabar lain lagi, tentang Julia."
"Ada apa dengan dia?"
"Kemarin gue ketemu dia di mall, Julia tanya tentang elo, katanya ada apa sebulan ini seolah elo menjauhi dia. Di hubungi juga sulit,"
"Perempuan, dulu dikejar jual mahal giliran dilepas maunya diperhatikan. Tidak usah hiraukan dia, Julia itu urusan gue, yang dua orang itu elo jangan lepas pandang."
"Oke, gue pergi dulu."
"Ini buat elo." Dirham menyodorkan amplop berwarna coklat yang berisi uang tunai kepada Jehan. Pria itu tidak mengambilnya malah menggeser amplop itu kearah Dirham lagi.
"Bukan sekarang, gue minta kalau gue sudah butuh."
"Gue tidak ambil apa yang sudah keluar dari gue. Elo ambil saja sekarang, sisanya gue akan tambah lagi."
Terpaksa Jehan menerima amplop itu. Dan pergi meninggalkan Dirham yang masih duduk sambil menghabiskan airnya.
Dirham berfikir keras, tidak boleh di tunda lagi.
***
Dinar turun dari motor grab tepat di depan restoran, dia segera masuk ke dalam dan menemui Edo.
"Ini mas bahannya."
"Oke, kamu bisa istirahat dulu Di. Kasihan aku lihat kaya ayam di kejar elang saja."
"Iyalah tadi Zaky bilang barang ini harus sampai cepat. Drivernya sampai ngebut kek di kejar setan. Aku bilang kita yang ngejar setan, setannya di direstoran. Hahaha."
"Kurang asam. Jadi aku setannya." Edo merasa dialah setannya karena dia yang mengirim Dinar mengambil bahan itu. Staf yang lain hanya menggelengkan kepala menyaksikan gurauan Edo dan Dinar, sudah hafal dengan keakraban mereka. Memang Dinar adalah gadis ceria dan akrab dengan siapa saja.
"Bukan aku yang bilang ya, tapi mas Edo sendiri yang ngaku jadi setan. Hahaha."
"Awas kamu." Edo bersiap mengejar Dinar yang sudah tertawa keras dan berlari menuju ke arah meja di samping dapur kering, disana Dinar akan duduk sebentar mengambil nafas. Tiba-tiba ponsel Dinar bergetar, dia buat mode getar kalau di tempat kerja. Dia heran ada nomor baru yang menghubunginya.
"Hallo,"
"Hai, Hallo. Ini Dirham." Dinar mengerutkan keningnya. 'perasaan aku tidak memberi nomor handphone pada lelaki itu.'
"Em, aku dapat nomormu dari salah satu staf di tempat kamu kerja."
Dirham mencari alasan yang masuk akal. Padahal itu salah satu kerja Jehan.
"Ada apa ya?"
"Besok kan malam Minggu, aku mau ajak kamu keluar."
"Besok aku lembur satu jam."
"Aku tunggu." Ada rasa lain menjamah hati Dinar mendengar ucapan Dirham, seperti mendengar janji untuk menunggu cintanya.
"Kita mau kemana?"
"Ada undangan dari relasi bisnis papa, temani aku."
"Baiklah besok aku hubungi kamu. Bye."
Dinar mengakhiri panggilan. Debaran hatinya hanya dia yang tau. Entah kenapa dia merasa ada harapan indah di setiap kalimat Dirham.
Dinar tersenyum simpul, hatinya sedang berbunga-bunga sekarang. Dia menuju ke meja pelanggan yang baru datang. Untuk mengambil order.
"Kelihatannya ada yang bahagia, mau cerita?"
Delia, sahabat di tempat kerja Dinar berbisik saat mereka bertemu di meja catering, menunggu pesanan siap untuk diantar kemeja pelanggan.
"Tidak sekarang, kita lagi sibuk kerja, banyak pelanggan. Orderan dari perusahaan Tirta grup juga mau siap. Kita kan harus bantu packing sebelum diambil staf perusahaan."
"Oke," pendek saja jawaban dari Delia.
Dinar dan Delia mengambil pesanan yang sudah siap diantar kemeja depan.
Mata Dinar terbeliak melihat siapa yang baru saja masuk kedalam restoran.
'Kenapa dia datang?'
Tapi ini restoran, pasti dia datang untuk makan. Dinar menepuk dahinya sendiri.
TBC
Dinar memberi senyum manis dan mengangguk saat matanya bertemu dengan mata Dirham, dia masih dalam waktu kerja, setelah mengantar makanan Dirham ke mejanya, Dinar segera melangkah hendak meninggalkan pria itu. Tapi belum sempat melangkah, pergelangan tangannya dipegang erat. "Besok aku jemput jam 7 malam, di depan kos." Tajam mata elang itu mampu menggetarkan hatinya. "Kan belum tahu aku pulangnya jam berapa." "Aku tahu, besok kamu pulang jam 6 sore, sift kerjamu tidak sampai malam kan?" "Lepas dulu, aku banyak kerjaan." Tidak mau debar hatinya diketahui pria itu. "Oke aku lepas, ingat besok jam 7 malam." Dinar menjulingkan matanya ke atas, ada pula orang kek gini, 'sudah ngajak, maksa, dan tidak tau situasi'. Dirham melepaskan tangannya, Dinar bernafas lega, dia juga menyadari banyak orang yang menyaksikan drama sebabak barusan. 'dasar cowok aneh'. **** "Aku ada didepan."
“Ingat baik-baik, aku tidak akan melapaskanmu, sampai aku puas membalas sakit hatiku, sampai aku puas bermain denganmu.” Plakk Dinar menampar pipi Dirham, berani sekali dia berbicara seenaknya, tangan Dinar gemetar, sekuat tenaga dia mempertahankan kewarasan dirinya, dia berusaha melawan hasrat yang semakin menggila kini munguasainya. Entah obat apa yang dimasukkan dalam minumannya tadi.“Oh, mau main kasar? Aku suka, aku lebih suka kalau kamu mau main kasar.”Rahang Dinar kembali dicengkram dengan kasar. Gadis itu dipaksa mendongak untuk menatap wajah Dirham.Airmata jatuh di pipi, semakin deras,“Apa maumu Dirham, tolong jangan lakukan ini padaku, apa maumu sebenarnya?”“Kamu, itu yang aku mau”“Bukan begini caranya, aku tidak bersalah. Bahkan aku tidak mengerti apa maksudmu." Dinar menaikkan nada bicaranya, muak karena dituduh melulu. “Aku membantu seseorang menuntut balas, atas kematiannya!” Dinar kaget mendengar ucapan pria itu.
Dinar menggeliat, badannya seperti habis dihantam dengan satu tronton beton, sakit semua, terutama di bagian bawah tubuhnya. Kepalanya terasa sakit berdenyut, matanya menatap langit-langit kamar, otaknya diputar mengingat kejadian sebelumnya. Dia meraba sebelahnya, kosong. Berarti dia sudah pergi, Dinar menyingkap selimut yang menutupi tubuhnya. Serta merta air matanya tumpah melihat banyak sekali love bite di sekujur tubuhnya. Dia bangun meski badannya terasa sakit bagaikan remuk, Dinar meraung mengingat semua kejadian yang dialaminya. Tiada apapun dalam dirinya kini, mahkota yang selama ini dijaga hanya untuk suaminya nanti telah direnggut dengan paksa. Dinar duduk memeluk lututnya dengan Isak tangis lirih. ‘Kenapa kamu tega Dirham, padahal aku sudah mulai percaya kalau niatmu mendekatiku itu tulus, lelaki brengsek! maafkan Dinar Bu, Dinar tidak bisa jaga diri sendiri, maafkan Dinar’ gadis itu terus menangis dan berbicara sendiri. Hampir setengah jam Di
Ponsel Dirham tiba-tiba berbunyi, dengan malas dia mengambil benda bermerk buah bekas kena gigit itu lalu didekatkan di telinganya dengan tangan kiri, sementara tangan kanan memegang pensil di atas kertas.“Waalaikumussalam ma, sepertinya malam ini tidak bisa.”(Kenapa? Tadi papa bilang kamu tidak enak badan, pulang ke sini saja, biar mama panggil dokter Rayyan) suara mamanya penuh rasa khawatir. Dirham mengeluh kecil. Pasti PA papanya yang sudah memberi tahu mamanya.“Am ada acara dengan teman-teman yang lain ma, besok kalau Am masih sakit baru pulang ke sana.”(Oke, mama tunggu dan bilang saja mau makan apa biar mama masakkan)“Bukannya mama sibuk di butik?”(Butik gampang diurus, banyak staff bisa gantikan kerja mama disini)“Iyes nyonya Nora yang cantik jelita, besok Am usahakan.”(Am nggak kasihan sama mama)“Bukan kasihan lagi ma, tapi banyak sayangnya, kan lebih enak tu, hehe.”(Paling pinter kembangkan hati mama, ya udah. Tak
Konten 21+, yang masih dibawah umur skip dulu. “Kamu mau apa Dirham? lepaskan aku, kau salah orang, aku tidak pernah menyakiti Fathia.” Dinar berkata lirih, lemah tanpa tenaga. Lelah dengan perlawanan yang seolah sia-sia. Sementara pemuda itu seolah tidak mendengar rayuan dan penjelasannya. Dinar meronta berusaha melepaskan diri dari tindihan tubuh Dirham. Tapi pria muda itu tidak bergeming sama sekali. Tangan Dinar memukuli tubuh pria diatasnya, memukul apa saja bagian tubuh Dirham, Pria itu memegang tangan Dinar dan menaruhnya di atas kepala gadis itu.“Kamu pikir aku percaya dengan pembelaanmu? no way!”“Apa maumu setan! sialan kau!” kalimat halus tidak didengar, Gadis itu hilang sabar. Amarahnya kembali seperti singa betina yang sedang lapar. Matanya merah menatap pria diatasnya.“Wow! Ternyata mulut ini minta diajar ya? Puaskan aku, pelac*r!” bisikan sinis tepat di telinga Dinar.“Nggak! Aku tidak mau. Cuih!” Dinar menjauhkan waj
Restoran keluarga Azhar Edo sedang berbicara dengan Delia, teman dari Dinar, sudah masuk hari ketiga Dinar tidak masuk kerja, nomor teleponnya juga tidak bisa dihubungi. Kemarin ibu Zaky bertanya tentang gadis itu, iyalah biasanya dua atau tiga hari sekali Dinar akan pergi ke rumah Zaky atas permintaan ibunya. Tapi kini nomor teleponnya juga tidak aktif.“Del, kamu tahu nggak rumah Dinar dimana?”Zaky Azhar hari ini masih bertanya pada Delia tentang Dinar.“Aku nggak tahu mas, yang kutahu dia dari Jogja, itu aja sih.”Delia memang akrab dengan Dinar sejak mereka bekerja bareng di restoran keluarga Zaky. “Apa mungkin Dinar memang resign ya bro?”Zaky bertanya pada Edo selaku manager baru di restoran besar itu.Mereka bertiga tengah break untuk makan siang bareng, dan Zaky datang untuk melihat keadaan restoran keluarganya. Ada sedikit khawatir di hatinya, hampir setahun dekat dengan Dinar tidak pernah sekalipun gadis itu mematikan po
Airmata yang mengalir di kedua pipinya diseka dengan punggung tangan, hatinya hancur memikirkan masa depannya nanti, dia tidak memiliki sesuatu yang berharga untuk suaminya kelak. Ibunya selalu memberi dia nasehat untuk menjaga diri selama di tempat orang, menjaga sikap dan perilaku, tapi kini apa yang dilaluinya? Begitu berat. Kehilangan kesucian hanya karena sebuah dendam yang dia sendiri tidak tahu pasti kesalahannya.Dinar teringat Delia, Zaky, juga teman-teman lain yang kerja di restoran, sudah tiga hari dia tidak bisa menghubungi mereka semua, ponselnya diambil oleh Dirham dan dia tidak hafal juga dengan nomor mereka, (saat beginilah baru aku menyesal nggak hafalin salah satu nomor ponsel mereka), dia mengeluh kecil. Ucapan Dirham tadi malam kembali terngiang, tentang Fathia Assegaff, gadis manis itu rupanya adik Dirham, baru dia sadar nama belakang keduanya sama. Dinar tahu tentang Fathia Assegaff dari c
Dengan perlahan Dinar mendekat kearah pria yang masih menatapnya tajam.‘Dia ini mau apa, tadi kan sudah ku bilang aku mens’ jerit hati gadis itu penuh resah.“Kamu tuli? Aku bilang datang padaku, maka cepat datang! Jangan sampai aku seret dan paksa, atau kamu memang suka dipaksa?”Dirham kembali bersuara keras, matanya tajam menatap Dinar yang masih ragu untuk melangkah. Gadis itu melangkah perlahan dan berhenti di depan Dirham, hanya berdiri kaku menunggu perintah.“Bantu aku oleskan obat merah ini, mikir apa sih?, lamban!” Dinar memejamkan matanya, napas ditarik lega. Dia sudah berpikir jauh tadi. Obat merah di tangan Dirham diambil alih dan tangan kirinya memegang lengan pria muda itu. Sentuhan lembut dari jemari Dinar membangunkan sesuatu pada diri Dirham, dari tadi dia menahannya, aroma harum yang menyusup masuk ke indera penciumannya membuat pria muda itu tidak tenang duduk, andai gadis di depannya itu tidak dalam keadaan datang bulan