Share

bab 4

Jam 8 pagi ini merupakan keberangkatan ku, dan team ke Medan. Untuk dinas kesehatan selama kurang lebih 2 bulan. Aku sudah mempersiapkan segala keperluan yang mungkin disana akan dibutuhkan. Mulai dari pakaian hangat, sepatu 2 pasang, jilbab, dan juga obat-obatan. 

"Koas Nabil" 

Aku menengok ke belakang, dari arah suara itu datang.

"Iya?" 

"Ini" Kapten menyodorkan tumpukan kertas yang cukup tebal kearahku.

"Apa ini?" Aku membolak-balik kan kertas itu. Di sana tertulis bermacam-macam mata pelajaran, yang membuat ku harus berfikir keras. 

"Apa maksutnya?" 

"Kau inii... Apa tak bisa untuk menggunakan otak dengan benar?" 

Aku lantas melotot tajam, enak saja dia mengejek dengan sangat tidak enak seperti itu. 

"Kau kemarin kan tidak jadi di bidang kesehatan, itu. Materi yang kau berikan pada anak-anak nanti" 

Plak

Dengan sangat semangat menggeplak kepala kapten.

"Ini sangat banyak, apakah hanya aku nanti yang mengajar" Kapten Andika mengangguk. 

"Tapi bukankah materi dari aku? Terserah nanti apa yang ku ajarkan?" 

"Karena kau masih koas. Masih ada penilaian, jika kau dokter senior, kau akan mengajar dengan aturanmu sendiri" Aku membulat kan mulut berkata 'ooo'.

"Sudahlah mari, kita berangkat 5 menit lagi" 

Kami berjalan beriringan, saling diam karena dia terlihat tidak ingin bicara. 

Saat tepat di pintu masuk rumah sakit, aku dan kapten berpapasan dengan Aldo. Dia terlihat segar, tidak seperti kemarin, sangat lemah. Hatiku lega seketika. 

"Dokter Aldo!" 

Aldo seperti tak menghiraukan, hanya diam berjalan lurus kedepan. Tanpa mejawab ku dan melihat kearahku. 

"Kalian bertengkar ya?" Kapten menyeletuk.

"Tidak" 

"Kenapa dia cuek?" Tanya nya lagi.

"Tak tahu"

"Ken-"

"Haisshhh, kau banyak tanya sekali. Kepo sekali" Memutar bola mata malas, lalu aku berjalan mendahului nya.

Dan mungkin karma karena memerahi kapten, kaki ku tersandung batu besar. Hingga mengaduh dengan keras dan mengundang perhatian.

"Aw!" 

Terlihat dokter Ali dan kapten berlari kearahku.

"Kau tak apa? Ada yang berdarah?" Dokter Ali memeriksa lutut ku.

"Tidak dok, tapi sakit sedikit di lutut- AHH" 

Aku berteriak kesakitan, saat kapten mencoba memijat kakiku. Sangat sakit hingga air mataku keluar sedikit. 

"Kakimu keseleo, coba berdiri sekarang" Kapten dan dokter Ali menuntunku untuk berdiri, tapi kakiku sangat lemas. Dan akibatnya terjatuh lagi kebawah.

"Mungkin besok atau lusa ini sembuhnya. Kau lebih baik tidak ikut dokter, sembuhkan saja kakimu dulu" 

Aku menggeleng, lantas berkata. "Tidak dok, saya tetap ikut. Ini besok saja sudah sembuh" 

"Baiklah, tapi tetap hati-hati" 

Kapten menuntunku berjalan lagi, samar terlihat bayangan Aldo di dalam rumah sakit. Dia hanya diam menatap dari dalam. Tak ingin terlihat menolong aku yang kesakitan. 

...

"Perjalanan Jakarta-Medan mungkin butuh waktu 1,5 jam. istirahat lah dulu, rileks kan kakimu" 

Perkataan dari dokter Alice kuabaikan, bukan hanya berkata tapi memerintah. Aku sekarang sibuk berfikir tentang Aldo tadi. Mengira-ngira apa salah ku? Apakah sampai sebesar itu. 

Menatap ke jendela pesawat, melihat hamparan awan putih yang bertebaran. Dan sesekali ada burung yang terbang bersama kawanannya.

"Apa kau sedang memikirkan sesuatu? Dari tadi hanya melamun" 

"Ah tidak. Aku hanya err.. sedikit pusing" Jawabku dengan lemah. Sedikit meragukan dokter Alice. 

"Kau punya mabuk udara ya? Tidurlah, nanti akan kubangunkan" 

"Tidak perlu, aku hanya ingin mendengar lagu" Alasan yang sangat tidak masuk akal. Kulihat dokter Alice terheran-heran. Baiklah, terserah dia saja.

Memasang earphone di telinga lalu memilih lagu favoritku. 

Sia_Unstoppable 

Karena lagu itu mengajarkan kepada para pahlawan, terkhusus wanita. Untuk jangan menyerah apapun rintangan nya. Tetap semangat, percaya diri, dan terus berdoa. 

Aku sangat menghayati untuk mendengarnya. Sesekali mulutku juga ikut bergerak untuk mengikuti lirik lagu.

Tak terasa, setengah jam sudah aku hanya diam dan mendengar lagu. Jarak waktu hanya sekitar 5 menit lagi, untuk sampai di Bandara Kualanamu. Kubereska  segala sesuatu yang tadi digunakan. handphone, earphone, dan lain-lain. 

"Nabilah nanti kamu sekamar sama siapa?" 

"Sendiri dok" Jawabku dengan tersenyum canggung, dokter Alice terlihat kaget. 

"Loh kenapa sendiri? Kamu kan masih belum senior. Kalo udah senior baru satu orang satu kamar. Tapi saya 2 orang sekamar sih" Jawabnya, lalu terlihat diam lagi. Tak bicara apapun.

Sedangkan aku? Aku sangat tersinggung dengan kata-kata nya. Dia memang blak-blakan kalau bicara. Membuat hati orang sakit. Tapi di sisi lain juga hatinya sangat lemah dan lembut. Sangat peduli kepada siapapun termasuk aku.

Aku menghela nafas dan kembali menatap jendela, terlihat jelas pemukiman warga di bawah sana. Rumah yang jarang dan lebih banyak sawah juga kebun. Lalu tak lama terlihat lapangan landasan pesawat, itu artinya ini sudah sampai. Pesawat yang aku dan para tim ku landing. 

Semua orang terlihat beberes. Mengambil koper, ransel dan tas besar lainnya. Begitu juga denganku. 

Saat pesawat sudah berhenti total, kami turun. Aku tidak orang yang pertama dan terakhir untuk turun. Karena tidak ada teman disini, yang cocok untuk diajak ngobrol. Hanya aku dan para dokter juga anggota TNI asing yang tidak kukenal. 

"Apa berat?" 

Sebuah suara maskulin terdengar mengagetkan ku dari belakang telinga. Siapa lagi kalau bukan kapten usil.

"Ya, mau bantu?" Tawarku malas.

"Tidak bawa saja sendiri" 

Lalu dirinya melengos begitu saja. Tanpa ada rasa belas kasih ke wanita. 

"Emang ya itu orang ngeselin amat" 

Sambil menggerutu, aku menggeret koper dengan ogah-ogahan. 

Cuaca panas terik dan badan capek telah mendominasi hari ini. Untung setelah naik bis, di beri waktu istirahat selama 2 jam. Nanti jam 1 siang, akan ada rapat hingga waktu ashar tiba. Dan waktu semalaman semuanya akan menginap di hotel, baru besok paginya akan berangkat ke desa. 

Saat masuk ke bis, ada seorang wanita, memakai seragam loreng TNI. Rambut pendek dan badan cukup ideal. Dia menyapa ku dengan senyum ringan, dan membantuku untuk mengangkat koper ke bagasi bis. 

"Salam kenal, perkenalkan saya sersan Andin. Nama dokter siapa?" 

"Ahmm nama saya Nabilah, panggil aja Nabil" Aku menjawab dengan senyuman juga. Dia terlihat seperti perempuan yang ramah. 

"Baiklah dokter Nabilah, silahkan masuk. Mari duduk sama saya" Dia bahkan menawariku untuk duduk bersama. Yah, setidaknya sudah dapat teman satu. 

Dia cantik, hidung mancung dan mata sipit. Seperti keturunan China atau Korea. Kulit putih bersih dan bibis tipis. Tepat seperti standar kecantikan Indonesia. 

"Orang mana?" 

"Asli Jakarta. Sersan?" 

Dia tertawa sejenak, lalu melanjutkan. 

"Panggil santai aja, Andin-

-Saya orang Makassar" 

Aku terkejut dan kagum. "Wah jauh ya. Merantau? Atau-..."

"Tidak. Memang sekolah ku duku lalu disana. Tapi aku ditugaskan untuk ke Jakarta lalu ke Medan" Mulutku membentuk huruf 'o'. 

"Kamu kuat ya. Jauh dari keluarga. Pasti berat banget" 

Andin terlihat tersenyum lebar, hingga matanya hampir hilang tak terlihat. "Saya tidak punya keluarga. Sudah meninggal sejak 5 tahun yang lalu. Saya bersama teman saya di Makasar. Lalu bersekolah dan kesini, Ibu Kota" 

Seketika hatiku menjadi tidak enak, telah menanyakan hal yang sangat sensitif. Tapi seolah mengerti perasaan ku, Andin memegang bahuku dan berkata. "Tak apa. Aku senang bercerita kepada orang lain"

"Maaf ya, aku tidak tahu" Lalu aku memeluknya. Sangat berat memang kehilangan seseorang yang sangat dicintai.

Terlebih itu adalah keluarga. Tapi tidak semua orang mengerti apa itu artinya kebahagiaan bersama sengan orang tua yang masil lengkap.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status