Share

bab 5

"Sersan Andin, tolong nanti urus proposal kemasyarakatan ya. Sudah kutitipkan di meja resepsionis. Ambil saja kalau nanti mau berangkat" 

Sersan membentuk tangannya antara jempol dan telunjuk, berarti oke. 

"Hei kau- "

Aku merespon dengan menaikkan kedua alis. Dan secara tiba-tiba kapten melemparkan sesuatu ke arahku. Mau tidak mau aku menangkapnya secara reflek.

"Itu tolong kau simpan. Jam tangan mahal milikku. Besok akan aku ambil, sebelum berangkat. Dan ya .... jangan di buka" 

Dengan sangat terpaksa aku menampilkan senyum semanis mungkin, untuk menjaga citraku di depan Sersan Andin. Dan sebenarnya aku sudah menyumpahi kapten itu di dalam hati, dengan semua nama hewan yang ada. 

Kurelakan box kecil itu untuk kumasukkan ke tas. Walaupun tudak ikhlas.

"Kalian saudaraan? Atau .. kerabat. Karena Kapten Andika orang nya pendiam, tidak mudah friendly ke siapa saja, yaa.. terkecuali orang terdekatnya?" Pertanyaan Sersan Andin membuatku tertawa renyah. Bisa-bisanya dia menyimpulkan kami bersaudara.

"Hehe bukan. Kami hanya baru kenal beberapa hari lalu. Dan dekat sedikit" Aku merutuk ucapanku tadi. Aku pikir Sersan Andin akan ambigu dengan kata 'dekat'. Menggigit bibir sambil menunggu kalimat apa yang akan di ucapkan Sersan Andin selanjutnya. Tapi tidak seperti ekspektasi.

"Mari, istirahat. Kamar saya di depan sana. Saya duluan ya .." 

Tersenyum lebar lalu menjawab. "Silahkan, selamat istirahat" Lalu aku menghembuskan nafas lega. Kupikir Sersan Andin akan menanyakan pertanyaan yang aneh-aneh.

Setelah memastikan Sersan Andin sudah masuk ke kamarnya, aku melanjutkan perjalanan ke kamar nomor 204, yaitu kamarku sendiri. Sangat banyak pintu di koridor hotel, sambil berjalan juga sambil berfikir tentang hal-hal yang random. 

"202, 203, yap .. 204" 

Aku sudah menemukan kamarku. Dengan menyeret koper yang sangat berat, membayangkan bagaimana nikmatnya rebahan di kasur yang super empuk dan AC yang super cool. Krena kepalaku juga cukup pusing terkena panas. 

Setelah masuk dan menyimpan koper, aku langsung merebahkan badan di kasur. 

"Haaahh, capek sekali Ya Tuhan. Sejuk sekali disini. Huahh huahh" Sangat memalukan jika ada yang melihat, karena sangat bahagianya, aku sampai berguling ke kanan dan ke kiri. 

Tiba-tiba saja aku langsung teringat dengan dokter Alice. Yang katanya satu kamar bersama 2 orang. Benar, aku sangat beruntung untuk tinggal sendiri malam ini. 

Dan yang paling menggangguku adalah Aldo. Aku hanya heran kenapa dia berubah. Sikapnya seperti orang asing.

Kuambil ponsel dari dalam tas, lalu mencari kontak Aldo. Berniat untuk meneleponnya, berharap juga akan mendapat respon yang baik.

Panggilan pertama tidak di angkat, lalu panggilan kedua sampai selanjutnya di tolak.

Oke, aku mencoba untuk positif thinking, mungkin sibuk. Pasien sedang melunjak.

Tidak ingin bertambah pusing dan sedih, aku berjalan kearah dapur. Kupikir dengan segelas cokelat panas akan lebih merileks kan pikiran. 

...

{Aldo} : Kenapa lo belum tidur?

{Nabil} : Bukan apa-apa

Read.

Dia melakukannya. Selama aku dan dia berteman, tidak ada hal yang lebih mengesalkan dari tidak mengucapkan selamat malam. Aldo selalu rutin memberikan 'good night' setap saat. Kupikir Aldo tidak akan merespon panggilan dariku pagi tadi. Betapa senangnya diriku saat ada notice Aldo menanyakan 'ada apa?'. Tapi tidak berlangsung lama, hanya sekedar bertanya lalu pesan ku hanya di baca. 

Yaa, setidaknya aku tahu Aldo-ku itu masih sangat peduli kan kepada adiknya. Dan satu hal lagi, tidak pernah aku merasa sesenang ini saat Aldo membalas pesanku. Haha, kalau dilihat-lihat aku seperti remaja labil yang baru kasmaran. But, aku hanya punya perasaan sayang yang tulus kepada Aldo. Hanya sebagai adik ke kakak, tidak lebih dari itu atau yang lainnya.

"Up ada apa lagi ini?"1 pesan lagi dari Aldo membuatku penasaran setengah mati.

{Aldo} : Nabilah, besok jangan hubungi gue lagi ya. Gak enak sama rekan lainya, gue sibuk.

Mood ku langsung down. Baru saja diterbangkan ke langit yang sangat tinggi lalu di jatuhkan begitu saja. 

Pesan itu tidak kubalas, hanya ku baca dengan nafas tercekat. Ingin menangis tapi tidak mau. Wajahku semerah tomat. Menahan tangis itu sumpah sangat sakit.

...

"Hai dokter Nabilah. Pagi!" 

"Hai sersan Andin. Pagi juga!" 

Sersan Andin membawa 2 orang. Satu laki-laki setengah baya dan satunya perempuan muda seusiaku. Mungkin temannya, tapi tidak mengenakan seragam militer.

"Perkenalkan ini pak Hendro, ketua camat Mengkulai. Dan ini putrinya, Karina" 

Aku menjabat tangan keduanya, ternyata di depanku ini adalah ketua camat dari Kecamatan salah satu desa yang akan kudatangi.

"Perkenalkan saya Nabilah. Dokter koas dari Jakarta" 

"Wah cantik sekali ya dokter ini"

Aku tersenyum malu-malu dan sekilas melirik ke Karina. Berbeda dengan hawa ayahnya, terlihat dari wajah dan raut mukanya seperti bukan gadis yang ramah, sinis sekali wajahnya. 

"Mari pak saya antar ke ketua" 

Setelah mereka berdua melewatiku, aku menggelengkan kepala. Ada-ada saja kelakuan manusia.

"Nabilah. Mana jam tanganku. Mau kupakai" Kapten Andika dengan seenak jidat berbicara seolah aku budaknya.

"Apa kau tidak bisa menyimpannya sendiri? Merepotkan orang saja" Dengan menggerutu kesal, aku mengeluarkan kotak kecil berisi jam tangan milik kapten lalu menyerahkan kepadanya. Masih terbungkus plastik dan mengkilap, telihat sekali kalau baru.

Aku tersenyum miring lalu berkata. "Apa itu dari pacarmu? kau terlihat sangat menyayangkan jam itu haha" 

Setelah memakai jam tangannya, kapten bersedekap dada dan memandangku remeh.

"Aku bukan budak cinta sepertimu" Aku melototinya dan menginjak kakinya dan berniat pergi. Tapi tangan kapten menarik rambut panjang milikku yang terikat kuda.

"Ah, kau punya masalah apa sih denganku?"

Dia terdiam sejenak bersamaan dengan angin yang berhembus pelan.

"Nothing, I just wanna play with you" Dengan lirih kapten berkata seperti itu sedikit membuat jantungku berdetak kencang. Dan keadaan juga berubah awkward.

Kalimat itu membuat pipiku semerah tomat, entah kenapa. Tapi hawa nya sedikit berbeda. Tampak kapten setelah mengatakan hal itu juga berubah jadi agak canggung. Deheman kapten membuyarkan haluanku, seketika juga langsung sadar.

"Ehem, emm ini jam untuk berangkat. Segeralah bersiap atau kau akan terlambat" 

Dia pergi dari hadapanku, dengan susah payah aku menghirup oksigen sebanyak-banyaknya. Sesak sekali seolah oksigen menghilang. Hingga saat ini juga jantungku belum kembali normal. 

"Apa kau baik-baik saja?" Suara seringan kapas itu mengejutkan ku dari belakang. Sersan Andin menatap bingung karena aku hanya bengong sejak kapten beranjak dari tempat.

"Eh ya, aku okay. Sudah selesai?" 

Sersan Andin mengangguk. "Ya ayo kita naik" 

Bis yang aku dan para tim tumpangi sudah siap. Hanya tinggal menunggu siapa saja yang belum naik. Kali ini aku duduk dengan sersan Andin. Karena dokter Alice bersama perawat Evan duduk bersama.

Koper yang kubawa kali ini jauh lebih berat daripada kemarin, ditambah dengan berkas-berkas yang bertumpuk banyak sekali. Bobot koper menjadi naik beberapa kilogram. 

"Kalau boleh tau, kamu disana ngapain?" 

Sersan Andin mengerutkan dahi, mendengar pertanyaan dariku yang sangat konyol.

"Emm aku dengan beberapa rekan lainnya bertugas untuk membantu warga mencari makanan, membantu di sawah, mencari air bersih, yaa seperti pekerjaan yang lumayan berat" 

Kedua alisku naik, bersyukur aku hanya di suruh untuk mengajar anak-anak. Tidak berat, malah aku sangat suka dengan pekerjaan ini.

"Kalau dokter?" 

"Aku biasa saja, mengajar anak-anak. Hanya ingin mengajari mereka" Sersan Andin menganggukkan kepala 3 kali.

"Berapa lama lagi? Jauh?" 

"Jarak nya 13 km dari pusat kota. Perkiraan kita sampai satu jam lagi" 

Lumayan lama untuk duduk di kursi bis yang keras, aku yakin saat bangun nanti punggung ku akan sakit. 

Setelah itu, tidak ada lagi percakapan antara kami berdua. Suara yang terdengar dari para tim lainnya yang saling mengobrol. Sersan Andin memainkan ponsel canggihnya, sementara aku tidak tahu harus melakukan apa. Cukup bosan untuk satu jam kedepan.

"Dokter Nabilah, apa kau tidak merasa kalau kapten sedang mendekati mu?" 

Hampir saja aku tersedak ludahku sendiri setelah mendengar suara sersan Andin.

"Hah? Bagaimana?"

"Kapten dikenal sebagai orang yang pendiam, dingin, dan cenderung tidak peduli kepada yang bukan orang terdekatnya-

-Tapi .... kepada dirimu yang beberapa hari ini baru dikenalnya. Kapten sudah se humbld itu kepada dirimu. Tidakkah kau merasa begitu? Kalau para fans kapten tahu, sudah habis kau dibuatnya"

Seketika badanku langsung merinding, mendengar kata 'fans', terdengar sangat fanatik. Mataku memandang kearah sersan dengan teliti. 

"Bukan .... Aku bukan dari salah satu fans kapten. Aku sudah bertunangan" Ucapnya sembari menunjuk kan cincin di jari manis miliknya.

"Ah iya!"

"Tapi kupikir kapten menyukai mu, terlihat jelas di mata dan sikapnya kepada mu"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status