Sekitar jam 9 kami sampai di desa Kaliwuhan. Ternyata benar berdasarkan isu yang ada. Desa disini sangat berbeda dengan desa lainnya, masih sangat primitif. Bangunan rumah yang rata-rata dari bambu, hanya gedung sekolah, balai desa, dan bangunan penting lainnya yang terbuat dari batu bata dan semen. Tapi suasana desa masih sangat kental, sawah dan kebun masih sangat rapat, jalanan asli dari tanah bukan aspal, sungai-sungai yang masih sangat deras dan jernih, anak-anak bermain bersama kawanannya bukan memegang ponsel. Bahkan televisi disini pun hanya orang kaya saja yang punya, benar-benar masih menjaga khas tradisional nya. Serasa aku kembali ke zaman waktu kecil dulu.
Bis yang kutumpangi di parkir di lapangan, begitupun dengan bis 2 dan bis 3. Lapangan disini sangat luas sekali, kalau di perkirakan 2 kali lapangan yang ada di Jakarta. Maklum, ini lahan kosong yang biasa digunakan anak-anak bermain sepak bola.
“So wow! Tak pernah kubayangkan aku akan kesini. Hei kita seperti penjelajah!”
Entahlah suara siapa itu, dari tadi berisik sekali, sejak di bis, aku dan sersan Andin membicarakan dirinya. Mulutnya tidak bisa berhenti mengoceh.
“Oh lihatlah, pohon beringin itu sangat bes- … Aw!”
Aku bersama yang lainnya tertawa melihat orang tadi di sentil oleh kapten Andika. Dia langsung terdiam. “Mulutmu diamlah, Anton!”
Owh, jadi namanya Anton, Terlihat sangat childish. Sangat berbeda dengan penampilannya yang gagah perkasa.
Lanjut aku bersama tim berjalan kaki menuju ke balai desa. Jarak dari lapangan ke balai 1 km. Karena jalanan yang kecil dan tidak memungkinkan, bis kami tidak bisa masuk. Koper dan tas besar lainnya ditinggalkan di sana, hanya tas selempang kecil yang dibawa.
“Memang benar-benar masih sangat primitif ya dok” Sersan Andin memulai percakapan.
“Iya, sama waktu aku masih kecil dulu. Bukan di Jakarta tapi di Surabaya. Suasananya benar-benar sama”
“Jadi dokter orang Surabaya?”
“Bisa iya bisa tidak, aku campuran darah Jawa-Bali. Ayahku orang Surabaya dan Ibuku orang Bali. Dan saat aku akan masuk SMP baru pindah ke Jakarta” Sersan Andin mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Bisa Bahasa Jawa dong?”
“Hehe tidak” Jawabku sambil menggaruk belakang kepala. Jawaban dariku mengakhiri percakapan kami berdua, dan bertepatan dengan sampainya tim ke balai desa. Di balai desa, sudah banyak sekali orang, mulai dari pak Camat kemarin, kepala desa, kepala dusun, pak Rt, dan warga setempat.
"Assalamualaikum"
"Waalaikumussalam warahmatullah" Jawab semua orang serempak.
"Ah kalian sudah datang, ayok masuk .." Seorang bapak bapak berbicara dengan logat medan yang sangat khas, terkesan tegas dan keras.
Setelah semuanya duduk di kursi yang telah disediakan, ketua tim, kapten Andika memulai percakapan, mulai dari apa saja yang akan dilakukan, sampai rencana pengadaan program yang akan membantu desa Kaliwuhan.
Pukul 1 dzuhur, aku dan tim beranjak pergi dari balai desa. Kami semua akan tinggal di posko yang akan di didirika di lapangan tadi. Tenda-tenda milik militer yang akan digunakan. Untuk wanita akan di tempatkan di lapangan bagian kanan, dan untuk laki-laki di sebelah kiri. Untuk mandi, semuanya mandi di sungai bersama warga lainnya karena disini tidak ada kamar mandi. Sungai yang digunakan pun berbeda, laki-laki dan perempuan tidak berada di satu tempat yang sama.
...
Langit petang terlihat menenangkan. Merah sepanjang jalan yang mengikuti. Gumpalan awan putih terlihat memerah, pucuk-pucuk hutan kampung terlihat memerah, juga atap kayu rumah-rumah panggung. Angin lembah bertiup lembut, memainkan ujung rambut. Dari arah sungai terdengar banyak sekali teriakan seru. Anak-anak sedang ramai mandi dan bermain air. Selepas aku mandi, tidak langsung balik ke tenda. Tapi melihat anak-anak itu bergurau. Aku yang awalnya ingin ikut bermain, tapi tidak jadi karena hari sudah petang dan tidak mau basah-basahan lagi. Lagipula ashar telah lewat dan akan terdengar adzan maghrib.
Satu persatu anak pulang karena dipanggil oleh ibu mereka. Ada yang dimarahi, dan malah ada yang kabur karena takut terkena marah ibu mereka.
Aku berdiri dari dahan kayu yang kududuki di tepian sungai, lekas ingin pulang ke tenda.
"Eh lihat kakak itu cantik sekali"
Aku dengan reflek menoleh kearah suara. Sekumpulan bocah dengan rata-rata tinggi sedadaku. Kisaran umur 7 sampai 12 tahun. Hanya memakai celana pendek selutut dan bertelanjang dada, seperti habis mandi.
Aku tersenyum lembut kearah mereka. "Hai"
Sapaan ringan dariku membuat mereka tertawa dan menyapa balik. "Hai kakak manis" Aku tersenyum malu-malu. Mereka sangat imut. Aku berjalan menghampiri mereka.
Anak yang memakai celana hijau menodongkan tangannya, membuatku kebingungan. Lalu tiba-tiba semua anak juga begitu. Kupikir mereka meminta uang atau hadiah, tapi melihat kebingunganku, anak-anak itu bicara. "Salim kakak"
Langsung saja aku tersadar dan menyalimi mereka satu-persatu. Ternyata itu adalah kebiasaan disini. Tidak pandang bulu, entah keluarga atau orang asing. Senyum mereka bahkan belum pudar, sebuah penghormatan untukku.
"Kakak cantik namanya siapa?" Aku terkesiap, kalau anak kecil memanggil ita cantik. Berarti itu memang benar adanya. omg.
"Nama kakak Nabil, makasih loh ya, adik-adik manis"
Semua mengangguk antusias, senang sekali rasanya melihat mereka bahagia.
"Kalian belum pulang? Ini hampir malam loh"
Sejenak semuanya saling berpandangan, dahi kukerutkan heran. "Haduh, kita mau ke surau, langsung habis mandi kesana"
Ya, belasan anak itu membawa sarung dan baju yang masih belum dipakai. Ku anggukkan kepala tanda mengerti, Lalu perhatianku jatuh pada 2 anak yang dibelakang sendiri. Di tangan mereka ada bambu kecil, setengah meter kira-kira, mirip obor. "Itu apa?"
"Oh itu obor bambu kak" Jawab anak celana merah.
"Kalian pakai obor?" Aku hampir menggeleng tidak percaya, sangat sulit untuk dipahami. Bahwa mereka masih memakai alat tradisional.
"Bukan, ini untuk penerangan jalan. Kalau dirumah kita pakai lentera atau lampu listrik. Tapi tidak semua" Pernyataan itu sekali lagi membuatku menarik nafas pelan. Sungguh, kalau orang-orang hedon kesini pasti mereka akan pingsan kegerahan.
"Yasudah, kakak duluan ya. Hati-hati di jalan" Kulambaikan tangan kepada mereka, dengan senang hati mereka membalas. Lalu kedua kakiku, berjalan menuju lapangan. Untuk sholat, semuanya juga ikut di surau. Hanya saja ini masih belum memasuki waktu tenggelamnya fajar.
Tim yang non-muslim akan memasak untuk makan malam. Cukup banyak, dari 30 orang, 9 orang nya beragama kristen dan hindu. Dan saat pembagian makanan, shift nya berganti. Jadi semua bergantian oleh bekerja. Dan mulai besok, tujuan untuk kesini dimulai. Membantu masyarakat untuk memajukan daerahnya.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Surau milik pak Rt terletak di seberang sekolah SD satu-satunya di kampung. Untuk tiba di surau itu, kami harus melewati jalan becek yang panjangnya sekitar 100 meter dari pemukiman warga. Karena jalanan masih tanah, dan masih berada di musim hujan. Jadilah jalanan becek karena air dari langit.
Kami berangkat pukul 17.15 dari tenda. Waktu perjalanan memperlambat sampai ke surau. Tapi karena banyak orang yang pergi, mereka mengajak ngobrol sedikit. Memperkenalkan diri dan bercerita masa lalu kampung mereka.
Tidak ada kata malu, hanya bersyukur. Dibuktikan jelas adanya senyum lebar di wajah mereka. Mereka percaya pada Tuhan, bahwa dunia bukan merupakan aset yang berharga.
Suara tubuh menghantam air dengan kencang.Menyusul yang kedua.BUM! Lima anak lain serempak loncat.Tubuh-tubuh kecil itu meluncur kedalam sungai, gelembung udara bergerak keatas. Di bawah sana, air sungai yang jernih, anak-anak itu saling menjulurkan lidah, saling mengacungkan jari. Berdebat gaya siapa yang paling bagus."Kau lihat gayaku tadi? Itu baru loncat gaya duyung!" Anak celana merah berseru."Duyung apanya? Gaya ku tadi baru lebih bagus. Gaya atlet!" Anak celana biru menimpali. Hingga anak lain pun berusaha membela diri sendiri bahwa gaya nya paling bagus. Aku tertawa pelan, menganggap bahwa ini hiburan yang lucu. Kepalaku kuarahkan kebawah, melihat jam melingkar di pergelangan tangan. Ternyata sudah jam 8 pagi, padahal aku kesini masih petang setelah subuh tadi.Sebelum kesini, aku mengatakan kepada anak-anak itu bahwa aku akan mengajari mereka berbagai pelajaran. Senang? Tentu saja, mereka sangat ri
Belajar selama 60 menit, tidak membuat orang lelah, bahkan anak-anak sekalipun. Itu jika guru mereka se-frekuensi. Begitulah kata Nanda si baju kuning. Teman-temannya yang lain sudah pulang sedari 10 menit yang lalu, namun Nanda, dia masih duduk tenang di pondok sambil membaca kembali apa yang aku tuliskan di depan. "Apa kamu tidak mau pulang?" Tanyaku dengan tangan yang sibuk di keyboard laptop. Sesekali menoleh kearah anak itu. "Kakak juga belum kembali" Aku mengangguk meng-iyakan. "Tapi apa kamu tidak dicari oleh orang tuamu?" Sejenak, Nanda terdiam sambil menatap kosong ke lantai. Aku melihat kehampaan pada raut wajahnya, seperti ada sesuatu yang mengganggu di hatinya. "Tidak" Aku memutuskan untuk tidak bertanya apapun lagi. Yang sekarang aku harus fokus membuat daftar siapa saja anak-anak tadi. Beserta tanggal lahir, tahun, dan identitas lainnya. Kebanyakan dari mereka adalah anak yang tidak bersekolah. Sanga
Senja sepertinya malu-malu untuk keluar, menampakkan warna jingga yang memanjakan mata. Karena mendung lebih mendominasi di langit petang ini. Itu menandakan, tak lama lagi hujan turun. Sebenarnya sudah di penghujung musim hujan, tapi yang namanya 'turun' siapa tahu. Aku sendiri sedang membantu para tim untuk memasak. Sudah dipasang kanopi sederhana, tentu saja bagian militer yang menyediakan. Untuk tenda penginapan, kami tidak perlu resah. Tenda itu anti air, terbuat dari plastik tebal dan berat. Untuk meminimalisir adanya kebocoran saat hujan. Untuk sholat nya pun harus di tenda masing-masing, takut kehujanan di jalan kalau memaksakan berangkat ke surau. Dan disaat ini, aku berhalangan. Oleh karena itu aku sibuk membuat makan malam. Tidak ikut sholat maghrib. "Sekarang jam berapa dok?" Perawat Evan atau biasa aku memanggil 'kak Evan' bertanya. "Jam 6 lebih 5. Kayaknya Yang sholat belum keluar deh kak. Masih sepi" Dibagian dap
( Pengertian Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) adalah pengetahuan yang sistematis dan berlaku secara umum (universal) yang membahas tentang sekumpulan data mengenai gejala alam yang dihasilkan berdasarkan hasil observasi, eksperimen, penyimpulan, dan penyusunan teori.Istilah Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dikenal juga dengan istilah ilmu sains. Kata sains berasal dari bahasa Latin yaituscientia, yang secara harfiah berarti pengetahuan,namun dalam perkembangan pengertiannya menjadi khusus Ilmu Pengetahuan Alam atau Sains.Ilmu pengetahuan alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis. Sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja, melainkan juga merupakan suatu proses penemuan.Dengan demikian, pada hakikatnya IPA adalah ilmu untuk mencari tahu, memahami alam semesta secara sistematik dan mengembangkan pemahaman ilmu pengetahuan tentang gejala
Aku mencoba untuk memejamkan mata tapi tetap saja tidak bisa. Keadaan di luar sudah sangat sunyi, tentu saja ini sudah dini hari kan? Ada sesuatu yang mengganggu pikiranku untuk saat ini. Sesuatu yang tidak aku ketahui jenisnya dan apa yang aku pikirkan? Entahlah.Sudah puluhan kali aku mencoba posisi miring ke kanan atau ke kiri, tetap saja kedua mata ku dengan kurang ajar nya tidak mau menutup. Saat merasa lelah, aku mendudukkan diri dan mengambil nafas perlahan dalam keadaan yang dingin. "Aish mata ini menyebalkan"Aku melihat Luna yang tidur dengan tenang, meskipun liurnya merambat sampai ke telinga. Sejenak aku terdiam dan dengan kesal aku menyingkap selimut dengan kasar. Lalu berdiri dan mengambil jaket di dalam ransel, langsung memakainya.Keluar. Ya, aku keluar tenda untuk menenangkan diri.Gelap.Kata itu yang pertama kali muncul saat aku keluar dari tenda.Dingin.Dan kata itu yang k
"Dokter Nabilah kenapa kau lama sekali?" Aku tidak terkejut. Pasti pertanyaan itu yang muncul."Ya maaf dokter Alice, motornya sudah dibawa semua. Kalau mau cepat ya salah satu diantara kalian tadi jemput aku" Sindirku terang-terangan. Perhatian semua orang mengarah kepadaku. Cukup membuatku menyesal berkata seperti tadi."Owh oke lupakan. Jadi ada apa dokter?" Aku mendekat ke dokter Alice dan bertanya dengan nada bisikan.Alice memberikanku satu kursi kosng untuk diduduki, dan dia pun ikut duduk didepanku. Lalu menatapku dengan serius, kali ini aku juga dalam mode serius. Mataku lurus menatap ke Alice yang sepertinya ragu-ragu untuk membuka suara."Apa?""Seperti jadwal, kita disini selama 2 bulan kan"Aku mengangguk, entah kenapa ada perasaan tidak enak yang datang."Tapi dokter Ali mengabari kalau masa bertambah 1 bulan. Yang artinya selama 3 bulan kita disini. Oh... bukan. Yang kumaksud, masa mu
( 4 tahun sebelum koas ) Pt l "Nabilah. Perkenalkan ini adalah Aldo abraham. Dia mantan mahasiswa disini. Sekarang sedang masa koas di Bogor" "Dan Aldo, ini Nabilah. Mahasiswi jenius yang menduduki peringkat setelahmu" Dekan Roy memperkenalkan mahasiswa yang sering diceritakan kepadaku. Dia pintar, dan terlihat... tampan. Sebenarnya aku tidak terlalu tertarik dengan apa yang ditunjukkan Roy padaku. Hanya, untuk menghormati dirinya yang sangat baik hati, membantuk dalam mengerjakan tugas atau jika aku sekedar bertanya sesuatu. Aldo terlihat sebagai pria yang ramah. Dia suka tersenyum. Tangannya yang diulurkan aku jawab. "Nabilah" Kacamata tebal yang menghiasi wajahnya. Dan tubuh jangkung, aku hanya setinggi mulutnya saja. Entah apa tujuan Roy mempertemukan kami. Yang aku tahu, kami berdua merupakan murid kesayangannya. Walaupun Aldo sudah lulus dari kuliah, namun Roy menganggapnya seperti anak kandung se
"Kau mau kemana?" Aku bertanya saat Nanda melangkah ke arah jalan lain, berpisah dari rombongan anak-anak yang baru pulang dari pelajaranku tadi. "Ke sawah bapak" Jawabnya dengan mengangkat rantang putih."Ke sana lagi?" Aku menatap bingung. "Memangnya setiap hari kau kesana?"Nanda mengangguk, mengiyakan."Dini ikut, kak" Andini tiba-tiba mendekat. Jalanan becek membuatnya hampir terpeleset."Pulang Dini, nanti kau dimarahi mamak" Nanda mendorong punggung Dini pelan. "Yaahh. Kak Nanda kenapa boleh kesana? Dini tidak boleh" Dini merajuk sambil melipat tangan di dada."Karena kakak harus bantu bapak di sawah, biar cepat selesai. Sekarang kau pulanglah""Ayo Dini, biar kakak antar pulang" Aku menarik tangan Dini. "Biarkan saja kakakmu, dia mau bantu bapak. Biar jadi anak sukses" Aku nyengir. Lalu Nanda pergi dari hadapan kami. Berjalan cepat menuju ke sawah di tepian gunung."Hati-hati Nanda, jangan t