Share

bab 6

Sekitar jam 9 kami sampai di desa Kaliwuhan. Ternyata benar berdasarkan isu yang ada. Desa disini sangat berbeda dengan desa lainnya, masih sangat primitif. Bangunan rumah yang rata-rata dari bambu, hanya gedung sekolah, balai desa, dan bangunan penting lainnya yang terbuat dari batu bata dan semen. Tapi suasana desa masih sangat kental, sawah dan kebun masih sangat rapat, jalanan asli dari tanah bukan aspal, sungai-sungai yang masih sangat deras dan jernih, anak-anak bermain bersama kawanannya bukan memegang ponsel. Bahkan televisi disini pun hanya orang kaya saja yang punya, benar-benar masih menjaga khas tradisional nya. Serasa aku kembali ke zaman waktu kecil dulu.

Bis yang kutumpangi di parkir di lapangan, begitupun dengan bis 2 dan bis 3. Lapangan disini sangat luas sekali, kalau di perkirakan 2 kali lapangan yang ada di Jakarta. Maklum, ini lahan kosong yang biasa digunakan anak-anak bermain sepak bola.

“So wow! Tak pernah kubayangkan aku akan kesini. Hei kita seperti penjelajah!”

Entahlah suara siapa itu, dari tadi berisik sekali, sejak di bis, aku dan sersan Andin membicarakan dirinya. Mulutnya tidak bisa berhenti mengoceh.

“Oh lihatlah, pohon beringin itu sangat bes- … Aw!”

Aku bersama yang lainnya tertawa melihat orang tadi di sentil oleh kapten Andika. Dia langsung terdiam. “Mulutmu diamlah, Anton!”

Owh, jadi namanya Anton, Terlihat sangat childish. Sangat berbeda dengan penampilannya yang gagah perkasa.

Lanjut aku bersama tim berjalan kaki menuju ke balai desa. Jarak dari lapangan ke balai 1 km. Karena jalanan yang kecil dan tidak memungkinkan, bis kami tidak bisa masuk. Koper dan tas besar lainnya ditinggalkan di sana, hanya tas selempang kecil yang dibawa.

“Memang benar-benar masih sangat primitif ya dok” Sersan Andin memulai percakapan.

“Iya, sama waktu aku masih kecil dulu. Bukan di Jakarta tapi di Surabaya. Suasananya benar-benar sama”

“Jadi dokter orang Surabaya?”

“Bisa iya bisa tidak, aku campuran darah Jawa-Bali. Ayahku orang Surabaya dan Ibuku orang Bali. Dan saat aku akan masuk SMP baru pindah ke Jakarta” Sersan Andin mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Bisa Bahasa Jawa dong?”

“Hehe tidak” Jawabku sambil menggaruk belakang kepala. Jawaban dariku mengakhiri percakapan kami berdua, dan bertepatan dengan sampainya tim ke balai desa. Di balai desa, sudah banyak sekali orang, mulai dari pak Camat kemarin, kepala desa, kepala dusun, pak Rt, dan warga setempat.

"Assalamualaikum" 

"Waalaikumussalam warahmatullah" Jawab semua orang serempak.

"Ah kalian sudah datang, ayok masuk .." Seorang bapak bapak berbicara dengan logat medan yang sangat khas, terkesan tegas dan keras. 

Setelah semuanya duduk di kursi yang telah disediakan, ketua tim, kapten Andika memulai percakapan, mulai dari apa saja yang akan dilakukan, sampai rencana pengadaan program yang akan membantu desa Kaliwuhan. 

Pukul 1 dzuhur, aku dan tim beranjak pergi dari balai desa. Kami semua akan tinggal di posko yang akan di didirika di lapangan tadi. Tenda-tenda milik militer yang akan digunakan. Untuk wanita akan di tempatkan di lapangan bagian kanan, dan untuk laki-laki di sebelah kiri. Untuk mandi, semuanya mandi di sungai bersama warga lainnya karena disini tidak ada kamar mandi. Sungai yang digunakan pun berbeda, laki-laki dan perempuan tidak berada di satu tempat yang sama. 

...

Langit petang terlihat menenangkan. Merah sepanjang jalan yang mengikuti. Gumpalan awan putih terlihat memerah, pucuk-pucuk hutan kampung terlihat memerah, juga atap kayu rumah-rumah panggung. Angin lembah bertiup lembut, memainkan ujung rambut. Dari arah sungai terdengar banyak sekali teriakan seru. Anak-anak sedang ramai mandi dan bermain air. Selepas aku mandi, tidak langsung balik ke tenda. Tapi melihat anak-anak itu bergurau. Aku yang awalnya ingin  ikut bermain, tapi tidak jadi karena hari sudah petang dan tidak mau basah-basahan lagi. Lagipula ashar telah lewat dan akan terdengar adzan maghrib.

Satu persatu anak pulang karena dipanggil oleh ibu mereka. Ada yang dimarahi, dan malah ada yang kabur karena takut terkena marah ibu mereka.

Aku berdiri dari dahan kayu yang kududuki di tepian sungai, lekas ingin pulang ke tenda.

"Eh lihat kakak itu cantik sekali" 

Aku dengan reflek menoleh kearah suara. Sekumpulan bocah dengan rata-rata tinggi sedadaku. Kisaran umur 7 sampai 12 tahun. Hanya memakai celana pendek selutut dan bertelanjang dada, seperti habis mandi.

Aku tersenyum lembut kearah mereka. "Hai" 

Sapaan ringan dariku membuat mereka tertawa dan menyapa balik. "Hai kakak manis" Aku tersenyum malu-malu. Mereka sangat imut. Aku berjalan menghampiri mereka.

Anak yang memakai celana hijau menodongkan tangannya, membuatku kebingungan. Lalu tiba-tiba semua anak juga begitu. Kupikir mereka meminta uang atau hadiah, tapi melihat kebingunganku, anak-anak itu bicara. "Salim kakak"

Langsung saja aku tersadar dan menyalimi mereka satu-persatu. Ternyata itu adalah kebiasaan disini. Tidak pandang bulu, entah keluarga atau orang asing. Senyum mereka bahkan belum pudar, sebuah penghormatan untukku. 

"Kakak cantik namanya siapa?" Aku terkesiap, kalau anak kecil memanggil ita cantik. Berarti itu memang benar adanya. omg.

"Nama kakak Nabil, makasih loh ya, adik-adik manis"

Semua mengangguk antusias, senang sekali rasanya melihat mereka bahagia. 

"Kalian belum pulang? Ini hampir malam loh" 

Sejenak semuanya saling berpandangan, dahi kukerutkan heran. "Haduh, kita mau ke surau, langsung habis mandi kesana" 

Ya, belasan anak itu membawa sarung dan baju yang masih belum dipakai. Ku anggukkan kepala tanda mengerti, Lalu perhatianku jatuh pada 2 anak yang dibelakang sendiri. Di tangan mereka ada bambu kecil, setengah meter kira-kira, mirip obor. "Itu apa?"

"Oh itu obor bambu kak" Jawab anak celana merah. 

"Kalian pakai obor?" Aku hampir menggeleng tidak percaya, sangat sulit untuk dipahami. Bahwa mereka masih memakai alat tradisional.

"Bukan, ini untuk penerangan jalan. Kalau dirumah kita pakai lentera atau lampu listrik. Tapi tidak semua" Pernyataan itu sekali lagi membuatku menarik nafas pelan. Sungguh, kalau orang-orang hedon kesini pasti mereka akan pingsan kegerahan. 

"Yasudah, kakak duluan ya. Hati-hati di jalan" Kulambaikan tangan kepada mereka, dengan senang hati mereka membalas. Lalu kedua kakiku, berjalan menuju lapangan. Untuk sholat, semuanya juga ikut di surau. Hanya saja ini masih belum memasuki waktu tenggelamnya fajar. 

Tim yang non-muslim akan memasak untuk makan malam. Cukup banyak, dari 30 orang, 9 orang nya beragama kristen dan hindu. Dan saat pembagian makanan, shift nya berganti. Jadi semua bergantian oleh bekerja. Dan mulai besok, tujuan untuk kesini dimulai. Membantu masyarakat untuk memajukan daerahnya. 

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Surau milik pak Rt terletak di seberang sekolah SD satu-satunya di kampung. Untuk tiba di surau itu, kami harus melewati jalan becek yang panjangnya sekitar 100 meter dari pemukiman warga. Karena jalanan masih tanah, dan masih berada di musim hujan. Jadilah jalanan becek karena air dari langit. 

Kami berangkat pukul 17.15 dari tenda. Waktu perjalanan memperlambat sampai ke surau. Tapi karena banyak orang yang pergi, mereka mengajak ngobrol sedikit. Memperkenalkan diri dan bercerita masa lalu kampung mereka. 

Tidak ada kata malu, hanya bersyukur. Dibuktikan jelas adanya senyum lebar di wajah mereka. Mereka percaya pada Tuhan, bahwa dunia bukan merupakan aset yang berharga. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status