Share

bab 7

Suara tubuh menghantam air dengan kencang. 

Menyusul yang kedua. 

BUM! Lima anak lain serempak loncat.

Tubuh-tubuh kecil itu meluncur kedalam sungai, gelembung udara bergerak keatas. Di bawah sana, air sungai yang jernih, anak-anak itu saling menjulurkan lidah, saling mengacungkan jari. Berdebat gaya siapa yang paling bagus. 

"Kau lihat gayaku tadi? Itu baru loncat gaya duyung!" Anak celana merah berseru. 

"Duyung apanya? Gaya ku tadi baru lebih bagus. Gaya atlet!" Anak celana biru menimpali. Hingga anak lain pun berusaha membela diri sendiri bahwa gaya nya paling bagus. Aku tertawa pelan, menganggap bahwa ini hiburan yang lucu. Kepalaku kuarahkan kebawah, melihat jam melingkar di pergelangan tangan. Ternyata sudah jam 8 pagi, padahal aku kesini masih petang setelah subuh tadi. 

Sebelum kesini, aku mengatakan kepada anak-anak itu bahwa aku akan mengajari mereka berbagai pelajaran. Senang? Tentu saja, mereka sangat riang bersemangat. Karena selama ini hanya anak orang yang mampu dapat pergi ke sekolah, jika mereka ingin sekolah pun harus menunggu hari Sabtu dan Minggu. Jika anak lain libur nya pada hari itu, mereka malah masuk karena guru hanya libur di akhir pekan. Guru masih berbaik hati untuk mengajar mereka tanpa upah, aku cukup lega mendengar hal itu. 

"Hai anak-anak, apa kalian sudah selesai?" Tanyaku hingga mereka kompak menoleh kepadaku. Tentu saja jika mereka belum selesai, hanya saja aku tidak ingin melewatkan kesempatan pertama ini, walau masih ada kesempatan pertama yang lain. 

"Apa kakak sudah selesai menulis?" Aku memegang buku jurnal yang selalu ada di genggaman. Buku itu sangat membantu di segala hal, khususnya untuk mengingat sesuatu. Aku tadi menulis sedikit, tentang desa ini. Hanya untuk kenangan saja. 

"Ya, kakak sudah selesai. Kalian juga?" Mereka mengangguk antusias. "Kalau begitu ganti pakaiannya, lalu kakak tunggu di pondok itu ya. Oh ya.. ajak kawan kalian juga yang banyak!" Aku berkata sambil tertawa membawa suasana santai. 

"Siap komandan!" Kugelengkan kepalaku, melihat polosnya tingkah mereka semua. 

Saat mereka berenang ke tepian sungai, aku mengangkat tubuhku yang terduduk di batu besar. Melangkah ke pondok yang tak jauh dari jangkauan mata. Tempat nya cukup luas, dengan kayu yang digunakan sebagai tumpuan panggung pondok itu, sebagai tiang-tiang juga, dan alas yang digunakan untuk bertempat. Atap dari jerami yang rapat, tidak ada celah untuk melihat langit. Di belakang pondok ada sungai tadi, jernih dengan suara deras yang menenangkan. Lalu pohon-pohon mangga, kelapa, jambu saling berjejeran. Di samping pondok ini juga ada sawah yang sangat luas. Banyak sekali suber daya alam disini, pikirku. 

Saat aku sampai di pondok itu, aku mengira-ngira kalau tempat ini muat sampai 30 atau 40 orang. Biasanya digunakan warga dan ketua kampung untuk mengadakan rapat dusun, karena di balai hanya untuk pak Rt atau pak camat setempat. 

Dengan kayu jati berwarna cokelat matang, terasa dingin sejuk saat kududukkan bokongku disana. Angin sepoi yang menambah ketentraman hati. 

Tak ada 10 menit, anak-anak itu sampai dengan pasukan mereka, jumlah yang tadi kuperkirakan ternyata salah. Kupikir akan ada 15 anak, tapi bahkan ada sampai 40 anak. Sungguh kejutan yang sangat membuatku menelan ludah kasar. Tidak yakin bahwa kalimatku akan dipahami oleh semuanya. "Gugup sekali aku, Ya Tuhan" 

"Assalamualaikum kakak" Suara mereka lantang sekali, kumaklumi bahwa orang Medan memiliki suara keras. Bahkan anak-anak seperti mereka. 

"Waalaikumussalam, ini sudah semua?" Bodoh sekali pertanyaanku, kuharap mereka tidak menambah kawan lagi. Entah kenapa aku menyesali kata-kataku tadi saat di sungai. 

"Sebenarnya masih ada, tapi mereka tidak diperbolehkan bapaknya. Membantu bekerja di kebun dan sawah" Hampir saja aku berteriak 'APA?' terkejut sekali kalau mereka sudah bekerja. Ingin sekali aku mengatakan kepada orang tua itu, bahwa sekolah di usia dini sangat penting. Tapi sayangnya nyaliku tak cukup besar, hingga mampu untuk adu mulut. Menyuruh kapten Andika saja lebih baik, dia kan lelaki kaku berwajah garang. 

"Baiklah, kalian duduk saja" Anak-anak itu duduk serempak. Mengikuti arahanku dengan sangat baik, saking antusiasnya, hingga tak mau membuat kesalahan di hari pertama. 

"Karena ini hari pertama, oleh karena itu mari berkenalan-" Aku menarik nafas perlahan, lalu melanjutkan, "Nama kakak Nabilah, kalian bisa pangil saja kak Nabil. Kakak kesini bertugas bersama para dokter lainnya dan para tentara yang ada di lapangan sana-" Telunjukku mengarah ke lapangan, "-Untuk mengajar anak-anak dan membantu warga memenuhi kebutuhan. Dan kak Nabilah ini, akan bertugas untuk mengajari kalian. Matematika, ipa, bahkan bahasa Inggris. Atau kalian juga bisa meminta kakak untuk mendongeng" 

Perkenalanku disambut baik oleh mereka, duduk manis sambil mendengarkan dengan khusyu. "Ada yang ditanyakan?" Banyak sekali tangan yang diangkat keatas, aku cukup senang karena mereka juga nyaman. 

"Ya kamu dulu, emm anak baju merah?" Karena aku sendiri belum tahu namanya, kupanggil ia dengan warna bajunya. Sungguh memalukan. 

"Umur kakak berapa?" Aku tidak terkejut karena sudah menduga mereka akan bertanya tentang hal itu. 

"Err... 23 tahun. Cukup tua ya.." Kutampakkan gigiku yang berjejer, tersenyum sepertinya sudah menjadi kebiasaanku sejak disini. "Kamu perempuan baju pink, ingin bertanya apa?" 

Anak itu tampak senang karena pertanyaannya kurespon. "Kita hari ini akan belajar apa kak?" Sejenak aku menilai bocah perempuan tadi, dia cukup pintar sepertinya. 

"Memangnya kalian ingin apa? Kakak bisa kok mengajari kalian apa saja" Dustaku sedikit, sangat sedikit. Aku hanya sedikit linglung tentang materi sosial. 

"Matematika-

-Ipa" 

Dua kubu, matematika dan ipa. Sepertinya bocah-bocah ini menyukai tentang sains. Sama sepertiku, aku mendesah lega karena mereka tidak meminta diajari hal yang aneh-aneh. Menggambar misalnya, yang satu ini. Sungguh bisa dikatakan aku mendapat telur pecah sebagai nilai. 

"Jadi... mana yang paling banyak?"

"Matematika-

-Ipa!" 

Suara lantang milik mereka bersahutan, berdebat antara matematika atau ipa. Kuputusakan untuk voting. 

"Baiklah, mari kita tentukan yang paling banyak. Untuk matematika angkat tangan kalian" Lalu mataku jeli menghitung berapa banyak kubu matematika ini. Cukup banyak, ada 18 anak. Anak anak ini sangat kompetitif. Mereka menyukai hal-hal berbau perhitungan. 

"Untuk ipa?" Sisa dari anak matematika mengangkat tangan. Ipa lebih banyak dari yang matematika. Jumlah ada 21 anak. Kujumlahkan lagi, ada total 39 anak. Hampir saja aku berkata bahwa ipa yang menang. Tapi mataku melihat ke arah bocah laki-laki di pojok pondok. Dia tidak mengangkat tangan sama sekali. 

"Hei kamu baju kuning. Kenapa tidak mengangkat tangan? Apa kamu ingin belajar hal lain?" Anak itu menatapku dengan pandangan tidak terbaca, mata nya bulat besar. Sebagai anak laki-laki, bisa disebut sebagai cowo manis. 

"Daripada berdebat tentang mana yang lebih banyak, kenapa kita tidak belajar tentang hubungan keduanya?" Aku mendelik kagum, bagaimana anak sekecil itu bisa berfikir sedetail-detailnya? Kusimpulkan anak ini jenius. 

"Kenapa kamu berfikir seperti itu?" 

Sejenak anak itu terdiam, tapi tetap melanjutkan, "Karena hal itu dapat mempermudah mempelajari keduanya. Keseimbangan sains tersebut mengajarkan bahwa ilmu tidak berdasarkan angka atau eksperimen" Sekali lagi aku dibuat tersekima dengan jawaban lugas anak berbaju kuning itu. Wajahnya datar tapi memancarkan ketegasan dan keseriusan, sama seperti kapten Andika. 

"Siapa namamu nak?" 

"Nanda" 

Aku mengangguk, lantas bertanya lagi. "Berapa umurmu?" 

"14 tahun" Oh remaja baru tumbuh ternyata, pantas saja bahasanya mudah kupahami, tapi tetap saja. Dimana-mana remaja tidak akan menampung pikiran setajam itu. 

"Kamu sekolah dimana?

"Aku tidak sekolah, hanya di ajarkan oleh kakakku" Setelah mendengar jawaban anak itu, aku merasa bersalah karena menanyakan pendidikannya. "Baiklah maaf kakak tidak tahu, emm bagaimana dengan yang lainnya. Kalian setuju dengan Nanda?" 

Bocah-bocah polos itu mengangguk setuju. Hanya karena remaja berwajah datar itu, aku dibuat kagum setengah mati.

"Dalam mempelajari Ipa, pengamatan dan percobaan sangat diperlukan karena pada dasarnya ilmu tersebut mendasarkan diri pada hasil-hasil pengamatan, sementara untuk matematika pengamatan dan percobaan langsung kurang diperlukan.  Obyek utama dari matematika adalah aspek-aspek dan dimensi-dimensi realitas yang diulang yang kemudian disebut aspek kontinu dan aspek kuantitas kontinu dari realitas. Dalam perkembangan selanjutnya matematika telah melepaskan diri dari ikatan realitas empiris. Semula geometri hanya membatasi diri pada dimensi tiga, sesuai dengan kenyataan yang ada. Namun kemudian berkembang menjadi geometri multidimensional. Tidak ada alasan rasional yang melarangnya. Langkah logis selanjutnya adalah metematika memutuskan diri dari setiap realitas konkrit. Matematika menjadi abstrak. Matematika ditentukan oleh aturan-aturan permainan matematika sendiri, tanpa referensi sedikit pun dengan realitas yang dapat dialami maupun dibayangkan-

-Tetapi yang menakjubkan adalah bahwa matematika dalam bentuk abstrak justru sangat berperanan penting dalam ilmu-ilmu empiris seperti IPA misalnya. Ternyata matematika dengan salah satu cara tetap tertambat pada realitas. Kenyataan ini dikarenakan matematika mengenal struktur pengulangan yang mendasari realitas jasmani yang juga dikenal dalam ilmu-ilmu lain. Jika kita menemukan simbol tertentu dalam matematika, maka tiap kali simbol tersebut digunakan akan menemui makna yang sama."

Penjelasan dariku sudah jelas malah menambah bingung para anak-anak yang sedang menatapku. "Kakak tahu bahwa tadi cukup membuat kalian bingung, yang jelas intinya. Matematika dan ipa adalah suatu hal yang tidak bisa dipisahkan, walaupun metode dalam belajar sangat berbeda. Tapi matematika menuangkan sedikit caranya ke dalam ilmu pengetahuan alam tersebut. Catat ya, akan kakak tulis di papan ini. Setelah besar nanti kalian pasti akan mengerti dengan benar" 

Akhir pembelajaran singkat ini diakhiri dengan semua anak mencatat apa yang aku tulis. Mereka sangat membuatku nyaman, ketertiban dan kesopanan mereka membuatku berfikir seandainya anak kota sekarang seperti mereka. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status