Share

bab 8

Belajar selama 60 menit, tidak membuat orang lelah, bahkan anak-anak sekalipun. Itu jika guru mereka se-frekuensi. Begitulah kata Nanda si baju kuning. Teman-temannya yang lain sudah pulang sedari 10 menit yang lalu, namun Nanda, dia masih duduk tenang di pondok sambil membaca kembali apa yang aku tuliskan di depan. 

"Apa kamu tidak mau pulang?" Tanyaku dengan tangan yang sibuk di keyboard laptop. Sesekali menoleh kearah anak itu. 

"Kakak juga belum kembali" Aku mengangguk meng-iyakan. 

"Tapi apa kamu tidak dicari oleh orang tuamu?" Sejenak, Nanda terdiam sambil menatap kosong ke lantai. Aku melihat kehampaan pada raut wajahnya, seperti ada sesuatu yang mengganggu di hatinya. 

"Tidak" 

Aku memutuskan untuk tidak bertanya apapun lagi. Yang sekarang aku harus fokus membuat daftar siapa saja anak-anak tadi. Beserta tanggal lahir, tahun, dan identitas lainnya. Kebanyakan dari mereka adalah anak yang tidak bersekolah. Sangat disayangkan, seharusnya di usia sedini itu mengemban pendidikan adalah nomor satu, tidak peduli keadaan apapun, yang pasti masa depan dibuktikan dengan adanya kegigihan, bukan kekayaan. 

Semua itu berasal dari pemikiran ayahku. Beliau adalah laki-laki tidak berjabat tinggi namun pendidikannya sangatlah berkualitas. 

Aku belajar darinya bahwa otak digunakan bukan untuk memikirkan kekayaan, tapi untuk membuat kekayaan itu sendiri. Kaya ilmu, kaya hati, dan kaya jasmani maupun rohani. Bersyukur salah satu kuncinya. 

Kulirik jam di tangan, sudah mau dzuhur ternyata. 

Subuh tadi aku kedatangan si 'merah' jadi aku bisa santai untuk tidak buru-buru kembali ke kamp. 

Tanpa kusadari, si Nanda sudah berada di sampingku. Saat aku menoleh untuk mengambil sesuatu, aku terkejut. "Eh ada apa?" 

Aku mengikuti arah pandang anak disampingku ini, ternyata ia sedang memperhatikan laptop milikku. Aku tersenyum penuh arti. "Mau lihat cara kerjanya?" Sekilas Nanda menatapku, lalu mengangguk. Aku menurunkan laptop dari pangkuanku ke lantai pondok. Lalu kusimpan file yang sudah kubuat tadi di flashdisk. Agar aku bisa memperlihatkan kepada Nanda bagaimana cara kerja laptop ini. Terakhir aku matikan laptop itu. Nanda menatapku dengan mengerutkan alis, dalam hati aku sudah berbicara 'tidakkah anak ini bertanya? kenapa dia menatapku terus'. 

"Aku matikan untuk menunjukkan bagaimana meng-aktifkannya" Mulutnya membentuk huruf 'o' tanpa bersuara. Sepertinya ini benar-benar jiplakan kapten Andika. 

"Ini, disaat kau ingin menghidupkannya tekan di bagian bawah layar yang ada gambar lampu. Tunggu hingga laptop nya menyala" 

Nanda masih anteng menyimak dan memperhatikan. Dasar remaja dengan rasa penasarannya. 

Lalu tak lama laptop nya menyala, dan loading untuk beberapa saat. "Nah ini kan sudah menyala, tapi jangan digunakan dulu. Tunggu lagi hingga lingkaran kecil itu hilang. Itu namanya loading, apa kau tahu apa artinya?" Nanda menggeleng polos, sungguh aku yakin jika mulutnya sedang mengemut permen atau lainnya hingga bicara pun tidak. 

"Artinya memuat, memuat semua data, aplikasi, dan apa saja yang ada di dalamnya. Kalau kau tidak menunggu, maka saat digunakan laptopnya akan lambat karena belum selesai load" Nanda mengangguk tanda mengerti. Anak ini mudah sekali memahami sesuatu, otaknya tidak diragukan. Sayang sekali jika tidak dapat bersekolah. 

"Oke kita lanjut. Ini, jajaran sesuatu yang kecil itu, namanya aplikasi. Perangkat lunak komputer yang bisa digunakan untuk segala hal. Membantu kita dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya kalkulator, atau telepon, bisa juga media sosial, Sampai sini paham?" 

"Di mengerti" Aku tersenyum puas. Penjelasanku dipahami oleh remaja satu ini. 

"Akan kuberi satu contoh aplikasi" Aku membuka salah satu platform pencarian terbesar di seluruh dunia. Semua info yang kita butuhkan ada disana. Tak terkecuali informasi nyeleneh tak jelas sekalipun. 

"G****e, ini adalah suatu perangkat yang bisa di gunakan untuk menggali informasi sebanyak apapun yang kamu mau. Misalnya ini …” Aku mengetik ‘Teori Relativitas Einstein’. Dan dalam sekejap mata, teori itu muncul. Tidak perlu khawatir tak ada internet, aku menggunakan modem saat ini.

Kedua mata Nanda berbinar. Kagum akan teknologi canggih yang ada di depannya. Aku sendiri juga masih tidak mengerti, bagaimana bisa apa yang ingin diketahui ada disini. Lengkap dengan bagaimana masa penciptaannya, sampai dengan tahun, tanggal, menit sekalipun tidak terlewatkan.

“Kak Nabilah apa ada benda hebat yang lain?” Aku menghela nafas lega, Nanda akhirnya berbicara.

“Ada, tunggu saja besok. Aku akan menunjukkannya pada yang lain juga oke” Nanda mengangguk. “Sekarang kamu pulang, jangan lupa sholat. Istirahat yang cukup, jaga kesehatan. Karena aku juga dokter, jadi tugasku juga memberitahumu anak muda” Nanda tersenyum singkat lalu berdiri dan menyalamiku. Setelah pergi, aku juga berkemas. Bersiap-siap untuk kembali ke tenda.

***

“Bagaimana mengajarmu tadi?” Dokter Alice bertanya padaku, aku curiga jika ada niat terselubung dibalik pertanyaan mendadak itu.

“Memuaskan, dokter sendiri?”

“Aku belum ada jadwal, tapi mungkin besok aku mulai ke puskesmas” Aku mengangguk. Jelas tugas di puskesmas sangat berbeda dengan aku yang mengajar bebas dimana saja. Cukup beruntung aku hanya mengajar para bocah kecil, daripada meladeni sang ketua tim di puskesmas atau di balai, itu lebih memusingkan.

“Ei Nabilah, apa kau mau membantuku?” Alisku terangkat sebelah, sudah kuduga ada maunya dokter narsis ini.

“Selagi aku mampu, tidak masalah”

“Emmm begini, kau kan cukup dekat dengan kapten itu” Bahkan sebelum dokter Alice berkata apa maunya, aku tersedak ludahku sendiri. Terkejut akan kata ‘dekat’. Kata yang pernah aku ucapkan pada sersan Andin. Kini diucapkan kembali oleh dokter Alice. Bagaimana mungkin si Alice beranggapan kami sedekat itu?

“Ehem, begini dokter Alice. Sebelumnya maaf, tapi perbaiki dulu kalimatmu. Kami tidak sedekat itu by the way”

Dokter Alice mengangguk kaku. Itu lebih baik daripada harus dibilang dekat dengan si kapten tengik itu, sungguh aku tidak sudi! 

"Kalau begitu tidak jadi" Mulutku terbuka karena heran aku sudah menyiapkan diri untuk membantunya malah tidak jadi. Kalau dia bukan seniorku, sudah kupastikan wajahnya berubah pias setelah kumaki-maki. 

Setelah kepergian Alice, aku dihadang oleh dua tentara berbadan besar. Wajah mereka terlihat garang, dengan kulit gelap yang kentara. Mata tajam, dan mengintimidasi. Tinggi badan yang diatas rata-rata, aku hanya sebatas leher mereka. 

"Ah ya, ada apa?" Aku bertanya sehati-hati mungkin. Takut membuat kesalahan di depan duo tentara gagah perkasa ini. 

"Apa dokter melihat kapten Andika?" Lagi-lagi alisku mengerut heran. Tapi tetap menjawab tentara dengan kulit lebih terang. 

"Tidak, aku belum melihatnya seharian ini"

"Bukankah dokter kerabatnya, atau wanitanya? Kalian terlihat cukup akrab" Tentara yang kulitnya lebih gelap berbicara dengan seenak jidat. Mataku melotot tajam, menatap ke arah mereka. 

"Bukankah kalian anak buahnya? Lalu kenapa tanya ke saya? Dan ya, saya bukan siapa-siapanya beliau. Paham?!" Aku berbicara dengan emosi yang naik turun, antara marah dan takut. Marah karena mereka membuat mood ku down, dan takut karena aura mereka sangat tajam. 

Lagipula, duo tentara itu tidak gentar setelah dimarahi olehku. Tentu saja, lawan mereka adalah peluru bukan mulut seorang wanita!

Tanpa mengatakan apapun lagi, mereka berdua pergi dari hadapanku. Tanpa rasa bersalah atau sedikit simpati. Apakah kapten Andika memang mengajarkan menjadi manusia kaku? Walau tidak sedarah, gen kapten itu mengalir kuat di darah mereka, Ya Tuhan...

Dan satu hal lagi, terjadi di hari ini sungguh menyebalkan. Pertama dokter Alice, lalu anak buah si kapten itu. Sebenarnya apa yang terjadi pada semua orang hari ini?!

Komen (1)
goodnovel comment avatar
alanasyifa11
sejauh ini suka banget ama ceritanya! bakal lanjut baca setelah ini~ btw author gaada sosmed kah? aku pingin follow nih
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status