Belajar selama 60 menit, tidak membuat orang lelah, bahkan anak-anak sekalipun. Itu jika guru mereka se-frekuensi. Begitulah kata Nanda si baju kuning. Teman-temannya yang lain sudah pulang sedari 10 menit yang lalu, namun Nanda, dia masih duduk tenang di pondok sambil membaca kembali apa yang aku tuliskan di depan.
"Apa kamu tidak mau pulang?" Tanyaku dengan tangan yang sibuk di keyboard laptop. Sesekali menoleh kearah anak itu.
"Kakak juga belum kembali" Aku mengangguk meng-iyakan.
"Tapi apa kamu tidak dicari oleh orang tuamu?" Sejenak, Nanda terdiam sambil menatap kosong ke lantai. Aku melihat kehampaan pada raut wajahnya, seperti ada sesuatu yang mengganggu di hatinya.
"Tidak"
Aku memutuskan untuk tidak bertanya apapun lagi. Yang sekarang aku harus fokus membuat daftar siapa saja anak-anak tadi. Beserta tanggal lahir, tahun, dan identitas lainnya. Kebanyakan dari mereka adalah anak yang tidak bersekolah. Sangat disayangkan, seharusnya di usia sedini itu mengemban pendidikan adalah nomor satu, tidak peduli keadaan apapun, yang pasti masa depan dibuktikan dengan adanya kegigihan, bukan kekayaan.
Semua itu berasal dari pemikiran ayahku. Beliau adalah laki-laki tidak berjabat tinggi namun pendidikannya sangatlah berkualitas.
Aku belajar darinya bahwa otak digunakan bukan untuk memikirkan kekayaan, tapi untuk membuat kekayaan itu sendiri. Kaya ilmu, kaya hati, dan kaya jasmani maupun rohani. Bersyukur salah satu kuncinya.
Kulirik jam di tangan, sudah mau dzuhur ternyata.
Subuh tadi aku kedatangan si 'merah' jadi aku bisa santai untuk tidak buru-buru kembali ke kamp.
Tanpa kusadari, si Nanda sudah berada di sampingku. Saat aku menoleh untuk mengambil sesuatu, aku terkejut. "Eh ada apa?"
Aku mengikuti arah pandang anak disampingku ini, ternyata ia sedang memperhatikan laptop milikku. Aku tersenyum penuh arti. "Mau lihat cara kerjanya?" Sekilas Nanda menatapku, lalu mengangguk. Aku menurunkan laptop dari pangkuanku ke lantai pondok. Lalu kusimpan file yang sudah kubuat tadi di flashdisk. Agar aku bisa memperlihatkan kepada Nanda bagaimana cara kerja laptop ini. Terakhir aku matikan laptop itu. Nanda menatapku dengan mengerutkan alis, dalam hati aku sudah berbicara 'tidakkah anak ini bertanya? kenapa dia menatapku terus'.
"Aku matikan untuk menunjukkan bagaimana meng-aktifkannya" Mulutnya membentuk huruf 'o' tanpa bersuara. Sepertinya ini benar-benar jiplakan kapten Andika.
"Ini, disaat kau ingin menghidupkannya tekan di bagian bawah layar yang ada gambar lampu. Tunggu hingga laptop nya menyala"
Nanda masih anteng menyimak dan memperhatikan. Dasar remaja dengan rasa penasarannya.
Lalu tak lama laptop nya menyala, dan loading untuk beberapa saat. "Nah ini kan sudah menyala, tapi jangan digunakan dulu. Tunggu lagi hingga lingkaran kecil itu hilang. Itu namanya loading, apa kau tahu apa artinya?" Nanda menggeleng polos, sungguh aku yakin jika mulutnya sedang mengemut permen atau lainnya hingga bicara pun tidak.
"Artinya memuat, memuat semua data, aplikasi, dan apa saja yang ada di dalamnya. Kalau kau tidak menunggu, maka saat digunakan laptopnya akan lambat karena belum selesai load" Nanda mengangguk tanda mengerti. Anak ini mudah sekali memahami sesuatu, otaknya tidak diragukan. Sayang sekali jika tidak dapat bersekolah.
"Oke kita lanjut. Ini, jajaran sesuatu yang kecil itu, namanya aplikasi. Perangkat lunak komputer yang bisa digunakan untuk segala hal. Membantu kita dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya kalkulator, atau telepon, bisa juga media sosial, Sampai sini paham?"
"Di mengerti" Aku tersenyum puas. Penjelasanku dipahami oleh remaja satu ini.
"Akan kuberi satu contoh aplikasi" Aku membuka salah satu platform pencarian terbesar di seluruh dunia. Semua info yang kita butuhkan ada disana. Tak terkecuali informasi nyeleneh tak jelas sekalipun.
"G****e, ini adalah suatu perangkat yang bisa di gunakan untuk menggali informasi sebanyak apapun yang kamu mau. Misalnya ini …” Aku mengetik ‘Teori Relativitas Einstein’. Dan dalam sekejap mata, teori itu muncul. Tidak perlu khawatir tak ada internet, aku menggunakan modem saat ini.
Kedua mata Nanda berbinar. Kagum akan teknologi canggih yang ada di depannya. Aku sendiri juga masih tidak mengerti, bagaimana bisa apa yang ingin diketahui ada disini. Lengkap dengan bagaimana masa penciptaannya, sampai dengan tahun, tanggal, menit sekalipun tidak terlewatkan.
“Kak Nabilah apa ada benda hebat yang lain?” Aku menghela nafas lega, Nanda akhirnya berbicara.
“Ada, tunggu saja besok. Aku akan menunjukkannya pada yang lain juga oke” Nanda mengangguk. “Sekarang kamu pulang, jangan lupa sholat. Istirahat yang cukup, jaga kesehatan. Karena aku juga dokter, jadi tugasku juga memberitahumu anak muda” Nanda tersenyum singkat lalu berdiri dan menyalamiku. Setelah pergi, aku juga berkemas. Bersiap-siap untuk kembali ke tenda.
***
“Bagaimana mengajarmu tadi?” Dokter Alice bertanya padaku, aku curiga jika ada niat terselubung dibalik pertanyaan mendadak itu.
“Memuaskan, dokter sendiri?”
“Aku belum ada jadwal, tapi mungkin besok aku mulai ke puskesmas” Aku mengangguk. Jelas tugas di puskesmas sangat berbeda dengan aku yang mengajar bebas dimana saja. Cukup beruntung aku hanya mengajar para bocah kecil, daripada meladeni sang ketua tim di puskesmas atau di balai, itu lebih memusingkan.
“Ei Nabilah, apa kau mau membantuku?” Alisku terangkat sebelah, sudah kuduga ada maunya dokter narsis ini.
“Selagi aku mampu, tidak masalah”
“Emmm begini, kau kan cukup dekat dengan kapten itu” Bahkan sebelum dokter Alice berkata apa maunya, aku tersedak ludahku sendiri. Terkejut akan kata ‘dekat’. Kata yang pernah aku ucapkan pada sersan Andin. Kini diucapkan kembali oleh dokter Alice. Bagaimana mungkin si Alice beranggapan kami sedekat itu?
“Ehem, begini dokter Alice. Sebelumnya maaf, tapi perbaiki dulu kalimatmu. Kami tidak sedekat itu by the way”
Dokter Alice mengangguk kaku. Itu lebih baik daripada harus dibilang dekat dengan si kapten tengik itu, sungguh aku tidak sudi!
"Kalau begitu tidak jadi" Mulutku terbuka karena heran aku sudah menyiapkan diri untuk membantunya malah tidak jadi. Kalau dia bukan seniorku, sudah kupastikan wajahnya berubah pias setelah kumaki-maki.
Setelah kepergian Alice, aku dihadang oleh dua tentara berbadan besar. Wajah mereka terlihat garang, dengan kulit gelap yang kentara. Mata tajam, dan mengintimidasi. Tinggi badan yang diatas rata-rata, aku hanya sebatas leher mereka.
"Ah ya, ada apa?" Aku bertanya sehati-hati mungkin. Takut membuat kesalahan di depan duo tentara gagah perkasa ini.
"Apa dokter melihat kapten Andika?" Lagi-lagi alisku mengerut heran. Tapi tetap menjawab tentara dengan kulit lebih terang.
"Tidak, aku belum melihatnya seharian ini"
"Bukankah dokter kerabatnya, atau wanitanya? Kalian terlihat cukup akrab" Tentara yang kulitnya lebih gelap berbicara dengan seenak jidat. Mataku melotot tajam, menatap ke arah mereka.
"Bukankah kalian anak buahnya? Lalu kenapa tanya ke saya? Dan ya, saya bukan siapa-siapanya beliau. Paham?!" Aku berbicara dengan emosi yang naik turun, antara marah dan takut. Marah karena mereka membuat mood ku down, dan takut karena aura mereka sangat tajam.
Lagipula, duo tentara itu tidak gentar setelah dimarahi olehku. Tentu saja, lawan mereka adalah peluru bukan mulut seorang wanita!
Tanpa mengatakan apapun lagi, mereka berdua pergi dari hadapanku. Tanpa rasa bersalah atau sedikit simpati. Apakah kapten Andika memang mengajarkan menjadi manusia kaku? Walau tidak sedarah, gen kapten itu mengalir kuat di darah mereka, Ya Tuhan...
Dan satu hal lagi, terjadi di hari ini sungguh menyebalkan. Pertama dokter Alice, lalu anak buah si kapten itu. Sebenarnya apa yang terjadi pada semua orang hari ini?!
Senja sepertinya malu-malu untuk keluar, menampakkan warna jingga yang memanjakan mata. Karena mendung lebih mendominasi di langit petang ini. Itu menandakan, tak lama lagi hujan turun. Sebenarnya sudah di penghujung musim hujan, tapi yang namanya 'turun' siapa tahu. Aku sendiri sedang membantu para tim untuk memasak. Sudah dipasang kanopi sederhana, tentu saja bagian militer yang menyediakan. Untuk tenda penginapan, kami tidak perlu resah. Tenda itu anti air, terbuat dari plastik tebal dan berat. Untuk meminimalisir adanya kebocoran saat hujan. Untuk sholat nya pun harus di tenda masing-masing, takut kehujanan di jalan kalau memaksakan berangkat ke surau. Dan disaat ini, aku berhalangan. Oleh karena itu aku sibuk membuat makan malam. Tidak ikut sholat maghrib. "Sekarang jam berapa dok?" Perawat Evan atau biasa aku memanggil 'kak Evan' bertanya. "Jam 6 lebih 5. Kayaknya Yang sholat belum keluar deh kak. Masih sepi" Dibagian dap
( Pengertian Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) adalah pengetahuan yang sistematis dan berlaku secara umum (universal) yang membahas tentang sekumpulan data mengenai gejala alam yang dihasilkan berdasarkan hasil observasi, eksperimen, penyimpulan, dan penyusunan teori.Istilah Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dikenal juga dengan istilah ilmu sains. Kata sains berasal dari bahasa Latin yaituscientia, yang secara harfiah berarti pengetahuan,namun dalam perkembangan pengertiannya menjadi khusus Ilmu Pengetahuan Alam atau Sains.Ilmu pengetahuan alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis. Sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja, melainkan juga merupakan suatu proses penemuan.Dengan demikian, pada hakikatnya IPA adalah ilmu untuk mencari tahu, memahami alam semesta secara sistematik dan mengembangkan pemahaman ilmu pengetahuan tentang gejala
Aku mencoba untuk memejamkan mata tapi tetap saja tidak bisa. Keadaan di luar sudah sangat sunyi, tentu saja ini sudah dini hari kan? Ada sesuatu yang mengganggu pikiranku untuk saat ini. Sesuatu yang tidak aku ketahui jenisnya dan apa yang aku pikirkan? Entahlah.Sudah puluhan kali aku mencoba posisi miring ke kanan atau ke kiri, tetap saja kedua mata ku dengan kurang ajar nya tidak mau menutup. Saat merasa lelah, aku mendudukkan diri dan mengambil nafas perlahan dalam keadaan yang dingin. "Aish mata ini menyebalkan"Aku melihat Luna yang tidur dengan tenang, meskipun liurnya merambat sampai ke telinga. Sejenak aku terdiam dan dengan kesal aku menyingkap selimut dengan kasar. Lalu berdiri dan mengambil jaket di dalam ransel, langsung memakainya.Keluar. Ya, aku keluar tenda untuk menenangkan diri.Gelap.Kata itu yang pertama kali muncul saat aku keluar dari tenda.Dingin.Dan kata itu yang k
"Dokter Nabilah kenapa kau lama sekali?" Aku tidak terkejut. Pasti pertanyaan itu yang muncul."Ya maaf dokter Alice, motornya sudah dibawa semua. Kalau mau cepat ya salah satu diantara kalian tadi jemput aku" Sindirku terang-terangan. Perhatian semua orang mengarah kepadaku. Cukup membuatku menyesal berkata seperti tadi."Owh oke lupakan. Jadi ada apa dokter?" Aku mendekat ke dokter Alice dan bertanya dengan nada bisikan.Alice memberikanku satu kursi kosng untuk diduduki, dan dia pun ikut duduk didepanku. Lalu menatapku dengan serius, kali ini aku juga dalam mode serius. Mataku lurus menatap ke Alice yang sepertinya ragu-ragu untuk membuka suara."Apa?""Seperti jadwal, kita disini selama 2 bulan kan"Aku mengangguk, entah kenapa ada perasaan tidak enak yang datang."Tapi dokter Ali mengabari kalau masa bertambah 1 bulan. Yang artinya selama 3 bulan kita disini. Oh... bukan. Yang kumaksud, masa mu
( 4 tahun sebelum koas ) Pt l "Nabilah. Perkenalkan ini adalah Aldo abraham. Dia mantan mahasiswa disini. Sekarang sedang masa koas di Bogor" "Dan Aldo, ini Nabilah. Mahasiswi jenius yang menduduki peringkat setelahmu" Dekan Roy memperkenalkan mahasiswa yang sering diceritakan kepadaku. Dia pintar, dan terlihat... tampan. Sebenarnya aku tidak terlalu tertarik dengan apa yang ditunjukkan Roy padaku. Hanya, untuk menghormati dirinya yang sangat baik hati, membantuk dalam mengerjakan tugas atau jika aku sekedar bertanya sesuatu. Aldo terlihat sebagai pria yang ramah. Dia suka tersenyum. Tangannya yang diulurkan aku jawab. "Nabilah" Kacamata tebal yang menghiasi wajahnya. Dan tubuh jangkung, aku hanya setinggi mulutnya saja. Entah apa tujuan Roy mempertemukan kami. Yang aku tahu, kami berdua merupakan murid kesayangannya. Walaupun Aldo sudah lulus dari kuliah, namun Roy menganggapnya seperti anak kandung se
"Kau mau kemana?" Aku bertanya saat Nanda melangkah ke arah jalan lain, berpisah dari rombongan anak-anak yang baru pulang dari pelajaranku tadi. "Ke sawah bapak" Jawabnya dengan mengangkat rantang putih."Ke sana lagi?" Aku menatap bingung. "Memangnya setiap hari kau kesana?"Nanda mengangguk, mengiyakan."Dini ikut, kak" Andini tiba-tiba mendekat. Jalanan becek membuatnya hampir terpeleset."Pulang Dini, nanti kau dimarahi mamak" Nanda mendorong punggung Dini pelan. "Yaahh. Kak Nanda kenapa boleh kesana? Dini tidak boleh" Dini merajuk sambil melipat tangan di dada."Karena kakak harus bantu bapak di sawah, biar cepat selesai. Sekarang kau pulanglah""Ayo Dini, biar kakak antar pulang" Aku menarik tangan Dini. "Biarkan saja kakakmu, dia mau bantu bapak. Biar jadi anak sukses" Aku nyengir. Lalu Nanda pergi dari hadapan kami. Berjalan cepat menuju ke sawah di tepian gunung."Hati-hati Nanda, jangan t
( 4 tahun sebelum koas ) Pt ll “Itu salah . Setiap gram karbohidrat menghasilkan 4,0 kilokalori atau 16,8 joul. Bukan 4,00” Aku menghapus kembali jawabanku. Hampir semua pertanyaan yang kujawab salah. Dan Aldo mengingatkan. Kalau tidak mungkin nanti ujianku tak akan lulus. Hari ini aku meminta Aldo untuk menjadi guru ku. Konyol memang, tapi mau ke siapa lagi kalau bukan ke cowok tengik macam dia? By the way Aldo sudah jadian dengan teman SMA nya dulu. Namanya Lea, dia cukup menarik. Cantik dan pintar. Dia juga kuliah di fakultas yang sama dengan Aldo, denganku. Hanya saja, koas nya beda rumah sakit. Lea di Jakarta Selatan dan Aldo di Jakarta Pusat. Dan akibatnya waktu untuk bertemu juga tidak banyak. Bisa dibilang jarang. Dan tadi… adalah pertama kalinya aku bertemu dengan Lea. Sikapnya kepadaku sedikit garang. Tatapan matanya woah tajam sekali. “Nah gini dong udah bener semua. Nilai lo 45” “WHAT?! Kejam amat sih” Aku me
"Peluru dari shotgun sangat mematikan. 1 kali tembakan bisa saja membunuh. Tertembak di kaki, atau tangan. Itu saja sudah sangat berbahaya. Apalagi tiga buah tepat di jantung. Tapi tidak ada yang tahu semua peluru itu sudah bergerak kemana. Persentase 99% sudah mengenai organ vital. Operasi berjalan lancar, peluru dapat diambil tapi rongga yang diciptakan pelurunya tidak bisa hilang. Rasa sakitnya masih ada. Dan kemungkinan pasien mengalami kelumpuhan sementara""Tertembak peluru adalah perkara hidup dan mati. Satu tembakan di lengan atau kaki saja sudah bisa membuat nyawa melayang"Aku mendengar suara berat yang sedang berbicara. Sepertinya dia dokter. Mataku masih mengantuk, nafasku berat, dan tanganku tidak bisa digerakkan. Aku tahu ini kelumpuhan. Tapi ini juga kehendak Tuhan.Dadaku sakit. Tapi aku tidak bisa mengaduh atau mengeluarkan suara. Aku juga bisa merasakan sentuhan kulit orang. Tapi aku tetap tidak bisa bangun."Jantungnya lemah. Tena